Mendapatkan perlakuan kasar dari ibunya membuat Violetta Margareth seorang anak kecil berumur 4 tahun mengalami traums berat.
Beam selaku ayah daei Violetta membawanya ke sebuah mall, sampai di mall Violetta histeris saat melihat sebuah ikat pinggang karena ia memiliki trauma dengan ikat pinggang. Renata yang saat itu berada di mall yang sama ia menghampiri Violetta dan menenangkannya, ketika Violetta sudah tenang ia tak mau melepaskan tangan Renata.
Penasaran kan apa yang terjadi dengan Violetta? yuk ikuti terus ceritanya jangan lupa dukungannya ya. klik tombol like, komen, subscribe dan vote 🥰💝
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Violetta histeris
Bram menatap iba kepada anaknya yang sedang tertidur diatas ranjang setelah semua lukanya ditangani oleh dokter, rasa bersalah menyeruak ke dalam hatinya dia begitu merasa tidak berguna dan tidak pantas dipanggil ayah.
"Yan aku merasa gagal menjadi suami dan ayah untuk mereka berdua, lihatlah anakku kini menjadi korban ibunya sendiri." ucap Bram dengan berkaca-kaca.
"Kau tidak gagal, disini kau sudah melakukan yang terbaik untuk mereka, Bilqis lah yang salah bukan kau dia tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk anaknya dan juga tidak bisa menjadi istri yang taat kepada suaminya." ucap Yandi.
Euughhh..
Bik Mirna melenguh kemudian ia membuka matanya, dia melihat sekelilingnya lalu berusaha bangun dari tidurnya. Yandi dan Bram langsung membantu bi Mirna untuk duduk, bik Mirna menahan perih yang ada di punggungnya usai ikut tercambuk oleh Bilqis.
"Bibik butuh sesuatu?" tanya Bram.
"Tidak den, bagaimana keadaan non Vio den?" tanya bik Mirna.
"Vio masih belum bangun bik, terimakasih bibik udah lindungin Vio dari Bilqis kalau gak ada bibik aku gak tahu bagaimana nasib Vio nantinya." ucap Bram.
"Sama-sama den, sudah jadi tugas saya melindungi non Vio dia masih kecil, saya gak bisa tinggal diam lagi sudah lama non Bilqis melakukan semua itu dan dia mengancam saya kalau saya mengadu pada aden dia akan menyilsa non Vio lebih kejam lagi bahkan sampai mati sekalipun dia tidak peduli, maka dari itu bibik selalu diam." ucap bik Marni jujur.
"Ya Allah, kenapa Vio juga menyembunyikan semua ini dari saya bik?" ucap Bram sedih.
"Mungkin dia juga takut den." jawab bik Mirna.
Mata Violetta masih terpejam namun keringat bercucuran di wajahnya, tangannya memegang selimut dengan erat kemudian Violetta tiba-tiba berteriak histeris.
"Aaarrggghhh..cakkiittt..maaf mommy..Vio dak cengaja.." teriak Violetta.
"Sayang hey bangun nak, daddy disini sayang buka matamu." ucap Bram menepuk pipi Violetta agar membuka matanya.
"Huaaa...Cakiiitt..mommy cakiiittt.." Violetta semakin histeris.
"DOKTER..DOKTER.." teriak Yandi.
Dokter datang dan langsung memeriksa kondisi Violetta, semakin lama Violetta semakin histeris sampai Bram dan dokter pun kewalahan. Akhirnya dokter menyuntikan obat penenang kepada Violetta, beberapa menit kemudian Violetta mulai tenang dan kembali tak sadarkan diri.
"Ada apa dengan anak saya dok? Kenapa dia histeris?" tanya Bram.
"Apakah luka yang ada pada tubuh pasien itu di sebabkan oleh kekerasan?" tanya dokter.
"Benar dokter." jawab Bram.
"Sepertinya pasien mengalami trauma yang membuatnya histeris, untuk mengetahui lebih jauh lagi saya sarankan pasien dibawa ke psikiater agar diperiksa secara keseluruhan dan mendapat penanganan yang tepat." ucap dokter memberi saran.
"Ya Allah, terimakasih sarannya dokter." ucap Bram.
Bram memeluk tubuh Violetta dan menumpahkan air matanya, hati ayah mana yang tidak sakit melihat kondisi anaknya seperti ini. Yandi menepuk pundak Bram seolah memberi kekuatan padanya, bik Marni ikut menangis dan ia pun menyalahkan dirinya sendiri karena terlambat mengambil keputusan untuk memberitahu Bram.
"Maafkan saya den, kalau saja saya langsung beritahu aden mungkin non Vio gak akan seperti ini." ucap bik Marni merasa bersalah.
"Tidak bik, ini bukan salah bibik semua ini salah saya karena selalu meninggalkan Vio di rumah, saya yang harusnya berterimakasih pada bik Marni kalau bukan karena bibik mungkin saya tidak akan tau kebenarannya dan Vio mungkin tidak selamat dari siksaan iblis itu." ucap Bram.
Bram menunggu Violetta di rumah sakit sampai ia sadar, bik Marni ikut menemani bersama Yandi. Bram adalah anak yatim piatu, selama ini pamannya lah yang mengurusnya sejak kepergian kedua orangtuanya. Paman Bram adalah seorang karyawan dari salah satu perusahaan, dia adalah ayah Yandi mereka membantu Bram memulai bisnis dari nol dengan biaya seadanya, kedua orangtua Yandi menganggap Bram sebagai anaknya sendiri mereka tak membedakan antara Yandi, Bram dan anaknya yang lain keduanya tulus merawatnya sepenuh hati. Bram adalah anak yang cerdas berkat kecerdasannya dia bisa kuliah tanpa menyusahkan paman dan bibinya, alhasil sekarang ia mulai merintis bisnis bersama Yandi.
Satu tahun kemudian.
Selama satu tahun Bram mengurus semua keperluannya sendiri, dia mnjaga Violetta dibantu oleh bibinya dan juga bik Marni. Bram pun sudah lama resmi bercerai dengan Bilqis, sekarang Bram berbeda dengan Bram yang sebelumnya.
"Bik Marni, Violetta masih dikamar?" tanya Bram.
"Seperti biasanya den, non Vio tidak mau keluar dari kamarnya." jawab bik Marni.
Bram menghela nafasnya panjang, setelah keluar dari rumah sakit akibat disiksa oleh ibunya kini Violetta sering mengurung dirinya sendiri dikamar, tidak mau keluar hanya untuk makan ataupun bermain bersamanya. Violetta seringkali histeris, tantrum bahkan sampai mencelakai dirinya sendiri dan itu terjadi sudah beberapa kali sampai Bram tidak tahu harus berbuat apa. Setiap kali dibawa ke psikiater Violetta tak pernah membuka suaranya, dia hanya diam dan menatap kosong kearah depan.
Selama satu tahun Bram terus bekerja dan selalu menyempatkan waktunya untuk Violetta, kini Bram berhasil menjadi pengusaha sukses di negaranya. Rumah Bram kini jauh lebih besar daripada rumah sebelumnya, banyak pelayan dan penjaga di sekitaran rumahnya. Sekarang Bram adalah raja bisnis, pengusaha terkenal di negaranya.
Ceklek.
"Sayang." panggil Bram.
Bram membuka pintu lalu berjalan masuk menghampiri Violetta yang sedang meringkuk diatas kasur, ia duduk disamping Violetta mengusap rambutnya dengan lembut. Violetta membuka matanya kemudian dengan gerakan cepat dia mendudukkan tubuhnya, tubuhnya begetar ketakutan namun setelah melihat siapa yang duduk disampingnya akhirnya ia bisa bernafas lega.
"Kenapa nak? Kau seperti ketakutan?" tanya Bram.
Violetta menggelengkan kepalanya pelan, dia sama sekali tak bersuara tetapi Bram tetap sabar. Bram terkejut melihat reaksi Violetta tetapi ia berusaha untuk terlihat biasa saja, dia menarik tubuh Violetta kedalam pelukannya.
"Jangan takut, ada daddy disini." ucap Bram.
"Sekarang daddy akan menghabiskan waktu bersamamu, kita pergi ke mall yuk sekalian ke time zone." ajak Bram.
Violetta menganggukkan kepakanya dan tersenyum kecil, Bram menggendong tubuh Violetta turun ke lantai bawah. Bram sengaja mengajak Violetta jalan-jalan keluar agar ia tak selalu mengurung dirinya sendiri di dalam kamar, Psikiater mengatakan kalau Violetta mengalami Depresi/ trauma berat, jadi dokter menyarankan kapada Bram untuk selalu mengajak Violetta berkomunikasi agar Violetta bisa sembuh dari penyakitnya.
"Bik, ayo kita ke mall." ajak Bram pada bik Marni.
"Iya den, tunggu sebentar saya harus membawa obat non Vio takutnya nanti non histeris." ucap bik Marni.
Bram menganggukkan kepalanya, selama ini bik Marni lah yang mengurus Violetta karena anaknya tak mau dengan orang lain Violetta merasa aman jika bersama bik Marni.
Seorang gadis cantik sedang membereskan pakaiannya ke dalam tas sambil menangis, sedangkan wanita paruh baya yang berdiri di depan pintu kamarnya tersenyum puas kearahnya.
"Sok-sok'an mau pergi, hellehh nanti juga balik lagi." cibirnya.
"Diam! Dasar wanita tak tahu diri." sentaknya.
"Berani kau bicara seperti itu padaku hah?! Anak sama ibu sama aja, sama-sama seorang sampah." hinanya.
Gadis yang bernama Renata tak terima ibunya di hina oleh nenek sihir di depannya, dia maju lalu menarik rambut wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu tirinya.
"Lepaskan, dasar anak sampah." ucapnya sambil memberontak.
Seorang pria paruh baya tiba-tiba datang bersama seorang gadis di belakangnya, dia adalah ayah Renata dan juga adik tirinya yang bernama Andin.
"Apa yang kau lakukan Renata?!" tanya Fadlan.
"Lepaskan ibuku!" sentak Andin.
"Aku melakukan apa yang emang seharusnya aku lakukan, dia berani menghina ibuku. Siapapun yang menghina ibuku maka dia akan berhadapan denganku, jika sampai kau membela nenek sihir ini maka aku tidak akan mau tinggal di rumah ini." amuk Renata.
"Mas itu gak bener mas, dia mau aku pisah sama kamu dia gak mau aku sama Andin tinggal dirumah ini, dia tampar aku dan dia juga menghina aku. Kamu jangan marah sama dia mas, kalau emang dia gak mau aku tinggal disini lebih baik aku pergi sama Andin dan angkat kaki dari rumah ini hiks..hiks.." ucap Namira membuat drama di hadapan Fadlan.
Fadlan termakan oleh ucapan Namira, dia menatap tajam Renata kemudian ia menampar dan menyeret Renata keluar dari kamarnya.
Plakk..
"Dasar anak tidak tahu diri! Masih untung aku mau mengurusmu, Namira adalah istriku jadi dia berhak tinggal di rumah ini. Kalau kau mau pergi silahkan angkat kakimu dari rumah ini, aku tidak mau punya anak kurang ajar sepertimu!" berang Fadlan.
"Teganya papa bicara seperti itu dan lebih membela dia daripada aku anak kandungmu sendiri!! Kau pikir selama kau menikah lagi hidupku bahagia hah?! Tidak sama sekali, pekerjaan rumah semua aku yang mengerjakannya, nenek sihir itu tidak memberiku makan dia hanya memberi makanan sisa kepadaku, aku dipukul sampai badanku lebam apa kau peduli semua itu? Ayah macam apa kau ini! Kau bahkan lebih menyayangi anak tirimu daripada anak kandungmu sendiri, aku bekerja sendiri gajipun aku tak menikmatinya mereka mengambil semuanya, APA KAU TAHU SEMUA PENDERITAANKU TUAN FADLAN! MULAI SAAT INI AKU TIDAK AKAN MENGINJAKKAN KAKIKU DIRUMAH INI!!" Renata mengeluarkan semua uneg-unegnya yang selama ini ia pendam sendiri.
Renata menyeret tasnya pergi meninggalkan rumah yang dianggapnya sebagai neraka, sejak ia ditinggalkan oleh ibunya Renata berusaha mandiri namun ayahnya memutuskan menikah lagi dengan wanita yang pernah menjadi selingkuhannya.
"Renata." panggil Fadlan.
Namira langsung mencekal tangan Fadlan, Renata sama sekali tak menggubris panggilan Fadlan dia tetap berjalan keluar tanpa tahu tujuannya kemana. Namira dan Andin tersenyum penuh kemenangan sedangkan Fadlan merasa menyesal telah mengusir Renata, namun penyesalan itu tak berlangsung lama setelah Namira kembali mempengaruhi otak Fadlan.
"Biarkan saja Renata pergi, dia masih labil nanti juga dia bakal balik lagi kesini. Kamu jangan percaya dengan ucapan Renata, walau bagaimanapun dia masih anak-anak mana mungkin aku mamberinya makanan sisa sedangkan kau sendiri seringkali melihatnya kita makan satu meja. Aku mengerti dia berbicara seperti itu karena dia emosi dan wajar saja jika dia menjelekkanku karena dia tidak suka dengan kehadiranku." ucap Namira memasang wajah sedihnya.
"Maafkan Renata ya sayang atas apa yang dia lakukan padamu , jangan dimasukkan kehati ucapan Renata ya lebih baik kau masuk ke kamar dan beritirahatlah, nanti jika dia kembali aku akan menasehatinya." ucap Fadlan.
Namira menganggukkan kepalanya, Fadlan mengajak Namira masuk ke dalam kamarnya kemudian ia juga memberikan sebuah hadiah yang dibelinya saat pulang dari kantor. Andin mendapatkan hp baru sedangkan Fadlan tak pernah membelikan atau memberikan hadiah kepada Renata, jikapun di belikan Andin pasti merebutnya.
Renata menghubungi temannya tetapi temannya sedang berada diluar rumah, jadi terpaksa Renata pergi menyusul temannya.
Bram dan Violetta sudah sampai di mall terbesar di kota B, bik Marni mengekor di belakang Bram mereka berjalan menuju time zone. Bram menggendong Violetta sepanjang jalan, namun di tengah perjalanan Bram merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk pergi ke toilet lalu menyerahkan Violetta kepada bik Marni.
"Bik, aku titip Violetta dulu ya sebentar, jangan kemana-mana Bram mau ke toilet dulu udah gak tahan." ucap Bram.
"Yasudah, sini non Vio sama mbok dulu ya." ucap bik Marni pada Violetta.
Bram langsung pergi terbirit-birit menuju toilet, Violetta di gendong oleh bik Marni namun tatapan Violetta mengarah ke salah satu perempuan yang lewat di depannya. Tubuh Violetta langsung bergetar, keringat mulai bercucuran di wajahnya, wajahnya mulai ketakutan dan akhirnya ia menutup telinganya kemudian berteriak histeris.
"Aaarggghh.. Daddyy...aaaaa..." teriak Violetta.
Bik Marni kewalahan memegangi tubuh Violetta yang mulai berontak, para pengunjung datang mengerumuni Violetta namun tak ada satupun yang membantunya malah merekam aksi Violetta yang berteriak histeris.
Renata sudah sampai di mall, dia mengedarkan pandangannya mencari temannya yang bernama Nurul namun tak menemukannya. Renata mendengar suara anak kecil yang histeris, namun saat ia mencari sumber suara tenyata suaranya berasal dari kerumunan banyak orang. Karena penasaran akhirnya Renata menerobos masuk, dia melihat anak kecil yang histeris dan memberontak dengan tatapannya yang tertuju pada satu arah. Renata mengikuti arah tatapan Violetta yang mengarah pada perempuan yang memakai ikat pinggang, namun fokusnya bukan pada orangnya namun pada ikat pinggang yang dipakainya.
Renata tak tega melihatnya, tanpa berfikir panjang Renata langsung memeluk Violetta dan menenangkannya. Tubuh Renata dicakar dan dipukul oleh Violetta yang terus memberontak namun Renata diam saja tanpa melakukan perlawanan, Bram langsung datang dengan langkah tergesa menghampiri anaknya kemudian dia membubarkan kerumunan orang-orang. Setelah semua orang bubar Violetta berangsur-angsur tenang, Bram mengambil alih Violetta dari tangan Renata namun Violetta tak ingin melepaskan tangan Renata
"Vio maafkan daddy." ucap Bram merasa bersalah karena telah meninggalkan Violetta.
"Kenapa ini bisa tejadi bik? Bukannya bik Marni juga bawa obat?" cecar Bram.
"Tadi non Vio langsung berontak den, dia langsung histeris jadi bibik panik den." ucap bik Marni.
"Mohon maaf tuan sepertinya anak anda trauma dengan sesuatu." ucap Renata.
" Maksudmu?" tanya Bram.
"Tadi pas saya datang, anak anda fokus melihat kearah seseorang dan fokusnya bukan pada orangnya namun pada ikat pinggang yang dipakainya, mungkinkah dia trauma dengan ikat pinggang?" tebak Renata.