Mika, seorang wanita yang dulunya gemuk dan tidak percaya diri, sering menjadi korban bullying oleh geng wanita populer di SMA. Dihina karena penampilannya, ia pernah dipermalukan di depan seluruh sekolah, terutama oleh Dara, ketua geng yang kini telah menikah dengan pria idaman Mika, Antony. Setelah melakukan transformasi fisik yang dramatis, Mika kembali ke kota asalnya sebagai sosok baru, sukses dan penuh percaya diri, tapi di dalam dirinya, dendam lama masih membara. Kini Mika bertekad untuk menghancurkan hidup Dara, gengnya, dan merebut kembali Antony, cinta masa lalunya, dengan cara yang jauh lebih kejam dan cerdas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Momen pertemuan yang dinanti
Begitu Mika memasuki ruangan, keheningan sesaat terasa di sekelilingnya. Beberapa orang yang tidak mengenalinya menoleh, terpesona oleh sosoknya yang anggun dan memikat. Para pria tak bisa menahan diri untuk mencuri pandang, sementara para wanita mulai berbisik-bisik.
Mika tersenyum tipis. Ini baru awal. Ia menyadari betul efek kemunculannya—ia tampak seperti seseorang yang berasal dari dunia lain, jauh dari bayangan siapa pun tentang Mika yang dulu.
Namun, orang-orang dari masa lalunya tidak mengenalinya sama sekali.
Di sudut ruangan, Nisa sedang berbincang dengan Farah sambil meminum wine dari gelas kristal. Ia tertawa, memperlihatkan senyum sok manis seperti yang selalu ia tunjukkan di media sosial. Saat itu, matanya menangkap sosok Mika. Nisa memperhatikan dengan saksama, alisnya sedikit mengerut.
“Itu siapa ya?” gumam Nisa sambil menyikut Farah.
Farah menoleh, lalu ikut menatap Mika. “Gila, siapa pun dia, cantik banget.”
“Kayak pernah lihat di mana gitu…” Nisa berpikir keras, tapi tak bisa menebak siapa wanita misterius itu. Mereka tidak tahu bahwa sosok elegan dan menawan itu adalah Mika yang dulu mereka hancurkan tanpa belas kasihan.
***
Sementara itu, di sisi lain ballroom, Dara dan Antony tiba dengan tampilan sempurna seperti biasa. Dara mengenakan gaun merah marun yang membentuk tubuhnya dengan sempurna, sementara Antony tampil gagah dengan jas hitamnya. Mereka pasangan ideal di mata semua orang—cantik, kaya, dan bahagia.
Dara menikmati setiap momen sorotan, melempar senyum palsu kepada orang-orang di sekitarnya. Namun, di tengah keramaian, matanya akhirnya tertuju pada Mika.
Sejenak, Dara terdiam, alisnya mengernyit. Ada sesuatu yang aneh tentang wanita itu—seolah-olah Dara mengenalnya, tapi tidak bisa mengingat dari mana. Antony pun melirik ke arah Mika dan bergumam, “Dia siapa? Teman seangkatan kita?”
Dara hanya menggeleng, tak yakin.
***
Di dalam hotel yang gemerlap, Mika berjalan menuju toilet dengan langkah santai. Setelah masuk, ia berdiri di depan cermin besar, memeriksa wajahnya yang sudah sempurna, namun tetap ingin menyempurnakan riasannya. Sentuhan lipstik merahnya dipertegas, dan ia memperbaiki eyeliner agar tetap tajam.
Saat Mika puas dengan tampilannya, ia berbalik untuk meninggalkan toilet. Di luar, langkahnya yang anggun tiba-tiba terhenti ketika ia tak sengaja menabrak seseorang.
Tubuh mereka bersentuhan ringan, dan aroma parfum pria itu seketika memenuhi indra Mika—lembut namun maskulin. Mika mendongak, memperhatikan sosok pria yang baru saja ia tabrak. Seorang pria dengan kacamata dan rambut yang sedikit berantakan, tapi tampak tampan dalam kesederhanaannya.
Pria itu tampak terkejut sesaat, lalu dengan cepat melangkah mundur dan meminta maaf dengan sopan.
“Maaf, saya tidak sengaja,” katanya singkat, suaranya tenang namun sedikit kikuk.
Mika menatap pria itu lebih lama. Ada sesuatu tentangnya yang terasa familiar, tapi ingatannya tak bisa menangkap siapa sosok di hadapannya ini.
“Tidak apa-apa,” jawab Mika singkat, suaranya penuh percaya diri, tapi matanya masih berusaha mengingat.
Pria itu mengangguk singkat dan segera berlalu tanpa memandang wajah Mika lebih lama, seolah-olah ia hanya orang asing biasa. Namun, Mika sempat menangkap sesuatu di dalam sorot matanya—seperti ada keraguan atau rasa takut yang ia sembunyikan.
Mika berdiri sejenak, memandangi punggung pria itu yang menjauh di antara tamu-tamu reuni. Hatinya terusik. Siapa dia? Mengapa terasa begitu akrab, namun tetap sulit dikenali?
Beberapa detik kemudian, sosok pria itu sudah menghilang dari pandangan. Mika mencoba mengabaikan kegelisahannya, tapi ada sesuatu yang terus mengusik pikirannya.
Mika menarik napas dalam dan membuang kegelisahannya. Rasa penasaran tentang pria tadi masih menggantung, tapi ia tidak membiarkan pikirannya teralihkan. Malam ini, fokusnya adalah misi untuk menghadapi Dara dan gengnya.
Dengan langkah penuh percaya diri, ia kembali ke ballroom. Kilau gaun hitamnya memantulkan cahaya lampu, dan setiap mata kembali tertuju padanya. Mika tahu, sebentar lagi masa lalunya akan berhadapan langsung dengan sosok barunya.
Ia tersenyum kecil, meneguk sampanye dari gelasnya, lalu mulai mencari sosok Dara, Nisa, dan Farah di tengah keramaian.
***
Mika berjalan anggun di tengah ballroom, sesekali tersenyum tipis pada beberapa tamu yang menyapanya. Aura misterius dan elegan yang ia bawa memikat setiap mata yang memandang. Dara, Nisa, dan Farah yang duduk di salah satu meja memperhatikan sosok Mika dengan penuh rasa penasaran.
"Gue yakin gue pernah lihat dia di suatu tempat," Nisa berbisik sambil memandang Mika yang kini berada tak jauh dari mereka.
"Sama, tapi gue nggak ingat di mana," Farah menimpali sambil menyeruput wine-nya, merasa gelisah tanpa alasan jelas.
Dara yang duduk di tengah menyilangkan tangan di dadanya, memandang Mika dengan tatapan tajam. Sesuatu tentang sosok itu benar-benar mengusiknya—cara Mika berjalan, sorot matanya, dan bahkan senyuman di bibirnya yang terasa familiar tapi tak bisa ia tempatkan di ingatan.
“Kayaknya dia bukan orang sembarangan.” Dara mengerutkan kening, merasa harus mencari tahu.
“Mau gue samperin?” Dara menawarkan, merasa sedikit terganggu karena tak bisa mengingat siapa wanita itu.
Nisa dan Farah hanya saling berpandangan, lalu mengangguk setuju. Dara mengambil gelas wine-nya, berdiri, dan melangkah menuju Mika dengan penuh rasa percaya diri. Ia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian dan tidak suka diganggu oleh rasa penasaran.
Dara menghampiri Mika yang kini berdiri di dekat bar, tampak elegan dan percaya diri. Mika tahu Dara mendekatinya, tapi pura-pura tak menyadari. Ia tetap menyesap sampanye dari gelasnya, senyum tipis masih menghiasi wajahnya.
“Hai,” sapa Dara dengan senyum manis—senyum yang selama ini ia gunakan untuk menyembunyikan kebencian dan manipulasi. “Kayaknya gue nggak asing sama kamu... kita pernah ketemu di mana ya?”
Mika menoleh dengan tenang, mempertemukan pandangan mereka. Tatapannya tajam namun penuh teka-teki. Untuk sejenak, Mika membiarkan Dara terjebak dalam kebingungannya.
“Mungkin kita pernah bertemu... di masa lalu,” Mika menjawab dengan suara lembut namun penuh makna, senyum misteriusnya semakin menambah kesan bahwa ia menyimpan sesuatu.
Dara mengernyit. Ada sesuatu dalam cara Mika berbicara yang terasa familiar, tapi Dara masih belum bisa menempatkan di mana ia pernah mengenalnya. Rasa penasaran Dara semakin kuat.
"Maaf, kamu siapa ya?" Dara akhirnya bertanya, merasa kesal dengan teka-teki yang dihadirkan oleh wanita ini.
Mika memutar gelas sampanyenya perlahan, lalu menatap Dara dengan tatapan penuh kemenangan. Ia tahu saat ini adalah momen yang tepat untuk membuka sedikit identitasnya, cukup untuk membuat Dara tidak nyaman.
“Aku?” Mika tersenyum manis, lalu berbisik pelan, “Mungkin kamu ingat aku sebagai Mika.”
Dara membeku. Nama itu langsung membangkitkan kenangan buruk—Mika yang dulu mereka hancurkan, gadis gemuk dengan penampilan lusuh, yang menjadi bahan tertawaan gengnya selama bertahun-tahun.
“M-Mika?” Dara berusaha memastikan, tapi sulit mempercayainya. Di hadapannya kini berdiri wanita cantik dan penuh percaya diri, sangat berbeda dari Mika yang ia ingat.
Mika meneguk sampanye terakhir dari gelasnya, lalu menatap Dara dengan tatapan tajam. “Kamu benar. Mika yang dulu kalian hina. Tapi yang ini… bukan lagi Mika yang sama.”
Dara terdiam, tak bisa berkata-kata. Di balik senyum Mika, Dara bisa merasakan sesuatu yang berbahaya—kemarahan yang tersembunyi di balik ketenangan dan senyum manis itu.
Dari kejauhan, Nisa dan Farah memperhatikan dengan cemas. Mereka tidak bisa mendengar percakapan Mika dan Dara, tapi ekspresi kaget di wajah Dara memberi sinyal bahwa sesuatu sedang terjadi.