NovelToon NovelToon
AZKAN THE GUARDIAN

AZKAN THE GUARDIAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Reinkarnasi / Cinta Terlarang / Kehidupan alternatif / Kontras Takdir
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: BERNADETH SIA

Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PARA PEREMPUAN PILIHAN

“Bagaimana keadaanmu?” Azkan masih mengkhawatirkan keadaan Laina setelah mimpi buruknya semalam. Bahkan Laina tak menyantap makan malamnya lebih dari dua sendok lalu kembali ke dalam kamarnya hingga pagi. 

“Ya, aku baik-baik saja. Ayo.” Laina sudah siap untuk agenda penting pagi ini. Perkenalan dirinya secara resmi kepada para Perempuan Pilihan dan orang-orang yang bekerja di kantor pemerintahan Pulau Asa, sebagai Perempuan Pilihan ke-8.

“Baiklah kalau begitu.” Azkan melingkarkan tangannya di pinggang Liana seperti biasa, tapi tubuh Liana meresponnya dengan cara yang berbeda. Liana berjengit. Dia menjauh dari Azkan sejauh selangkah dan terus berjalan, menuju lorong lantai tiga, hingga dia sampai di tangga melingkar menuju ke lantai bawah. 

Azkan terkejut, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Laina tak mau menceritakan apa yang dia impikan semalam hingga menangis dan gemetaran seperti itu. Sekarang, dia bahkan berusaha menjaga jarak darinya. Di dalam dirinya sendiri pun, Azkan kebingungan. Apa yang harus dilakukan untuk menghadapi perempuan yang tiba-tiba berubah seperti ini? Azkan tak punya jawabannya.

Di sepanjang perjalanan menuju kantor pemerintahan pun, Laina tak bersuara. Dia terus menatap jendela mobil, dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Azkan berkali-kali menoleh, melirik, menatapnya, tapi tak sedikit pun Laina mengalihkan pandangan. 

Azkan menghela nafas keras. Dia merasa pengap berada di dalam mobil dengan suasana seperti ini. 

Laina mendengar dengusan nafas Azkan. Perasaan bersalah menggelayuti hatinya. Dia tahu kalau sikapnya seharusnya tak seperti ini. Apa yang dia lihat semalam, bisa dibilang adalah mimpi. Itu bukan kenangan yang pernah dia miliki, juga bukan hal yang pasti akan terjadi. Itu hanya gambaran yang muncul dalam mimpi. Anggap saja mimpi buruk. Seharusnya itu yang kulakukan, tapi kenapa aku malah bersikap diam seperti ini? Laina pun kesal terhadap dirinya sendiri. 

“Azkan, apa kau pernah berada di atas kapal bersama seorang perempuan?” akhirnya Laina memutuskan untuk membicarakan hal ini.

“Apa maksudmu?”

“Coba ingat-ingat. Apa kau pernah berada di atas kapal pada malam hari, di tengah lautan yang gelap, bersama seorang perempuan, lalu perempuan itu melompat dan kau juga ikut melompat ke dalam laut bersamanya?” Laina sebenarnya tak yakin apakah pertanyaannya ini tepat. Dia yakin kalau itu bukan mimpi tentangnya. Karena nama perempuan yang disebutkan Azkan bukanlah namanya. Jadi, dia bertaruh pada kemungkinan bahwa itu adalah hal yang pernah terjadi pada Azkan. Sejak berada di pulau ini, Laina melihat segala hal yang mustahil di dunianya dulu. Jadi, hal seperti memimpikan kenangan orang lain yang dekat dengannya, bisa jadi bukan hal yang mustahil kan?

Laina menoleh ke samping, menatap Azkan yang terdiam setelah mendengar pertanyaannya. 

“Apa benar kau mengingat sesuatu tentang kejadian seperti itu?” Laina tak ingin mendengar jawaban iya dari mulut Azkan.

“Apa semalam kau memimpikan kejadian itu?” Azkan tak menjawab Laina.

“Iya. Mimpi itu terlalu nyata untuk dianggap sekedar mimpi. Tapi juga aneh karena aku mendengarmu memanggil nama seorang perempuan yang tak kukenal. Lalu kenapa aku ada di kapal itu bersamamu? Aku seperti menjadi perempuan itu untuk sesaat, dan bisa merasakan semua perasaannya pada waktu itu. Sampai aku, ah tidak, perempuan itu, melompat ke laut dan kau ikut melompat.”

“Jadi, sejak semalam sampai pagi ini, hal itu yang mengganggu pikiranmu?” Azkan menatap lurus jalanan di depannya. Sekarang, dia ingin sekali segera sampai di kantor pemerintahan.

“Iya. Apa mungkin mimpiku itu adalah kenangan tentangmu? Sejak aku datang ke tempat ini, kau adalah orang yang paling dekat denganku dan aku sudah melihat banyak hal mustahil yang menjadi biasa saja di sini. Jadi, apa mungkin, yang muncul di dalam mimpiku itu, adalah tentangmu di masa lalu?” Hati Laina terasa pedih ketika mengatakannya. Dia benar-benar berharap kalau hal itu tidak benar. 

“Tidak, Laina. Kau hanya bermimpi. Sudah, jangan terlalu dipikirkan.” mobil Azkan berhenti di tempat parkir yang sudah hampir penuh. Setelah mematikan mesin mobilnya, Azkan menatap Laina dengan lembut, lalu membelai kepalanya sambil tersenyum. 

“Kau tidak berbohong kan?”

Azkan hanya tersenyum, lalu melepas sabuk pengaman Laina. “Ayo, sudah waktunya menghadiri rapat resmi pertamamu.” lalu Azkan pun keluar dari mobil lebih dulu.

“Selamat pagi, Azkan!” Ardoz, sang Jenderal pasukan militer sudah menunggu Azkan di ambang pintu masuk gedung pemerintahan dengan seragam militer kebanggaannya. Senyumannya begitu cerah ketika melihat sosok Laina yang berdiri di sisi Azkan dalam balutan pakaian resmi berwarna biru laut. 

“Selamat pagi, Laina!” Dia pun menyapa Laina dengan semangat yang sama.

“Selamat pagi, Ardoz.” Laina mengingat namanya karena dia adalah orang pertama yang diperkenalkan Azkan padanya di hari pertama, selain Armana. Ardoz pula yang mengendalikan euforia para prajurit ketika Laina bertemu mereka sebelumnya. Di mata Laina, Ardoz adalah pemimpin yang mengagumkan. Para prajurit begitu akrab dengannya tapi rasa hormat mereka pada Ardoz sebagai seorang pemimpin, juga begitu tinggi.

“Silahkan, semua orang sudah datang dan menunggu,” Ardoz menyingkir ke sisi pintu masuk, agar Azkan dan Laina bisa berjalan masuk lebih dulu kemudian dia mengikuti keduanya dari belakang dalam derap langkah khas seorang prajurit. 

“Apa kau tegang?” Azkan membelai punggung Laina sebelum membuka pintu ruang rapat umum. 

“Sedikit. Aku tidak tahu apa yang akan kuhadapi di dalam sana.”

“Percayalah padaku. Jangan takut.” Sembari tersenyum hangat, Azkan, meraih tangan Laina, menggandengnya memasuki ruang rapat yang sudah dipenuhi orang. 

Semua mata tertuju pada sosok Perempuan Pilihan ke-8 yang rumor tentangnya sudah menyebar ke seluruh pulau. Khususnya tentang dimana Laina tinggal. 

“Selamat pagi, semuanya. Terima kasih sudah datang tepat waktu dan menunggu kedatanganku juga Laina.” Azkan menatap setiap orang yang ada di dalam ruangan, yang segera bangkit berdiri ketika dia berjalan masuk. 

“Duduklah. Ayo kita mulai rapat hari ini.”

Azkan meraih kursi di sisinya, menyilahkan Laina duduk tepat di sisinya, berhadapan dengan semua orang seperti sepasang kekasih menghadapi penilaian keluarga besar. 

Cara Azkan memperlakukan Laina, tak lepas sedikitpun dari perhatian Eveline yang duduk di barisan sisi kanan Azkan, mengikuti bentuk meja rapat mereka yang memanjang hampir seukuran ruang rapat. Azkan tak pernah bersikap seperti itu pada siapapun. Bagaimana bisa?! Apa yang sudah dilakukan perempuan itu sampai Azkan berubah seperti itu? Pasti perempuan itu sudah menggodanya sejak malam pertama kedatangannya ke sini. Aku tidak boleh diam saja melihat Azkan diperdaya perempuan itu.

“Seperti yang sudah kalian tahu, Perempuan Pilihan ke-8 sudah datang. Perkenalkan, Laina, Perempuan Pilihan ke-8” Azkan memperkenalkan Laina dengan rasa bangga dan bahagia. Tepuk tangan orang-orang di dalam ruang rapat menyambut perkenalan Azkan dan Laina pun tersenyum sambil mengganggukkan kepala pada mereka yang menyambut kedatangannya. 

Kemudian Azkan memperkenalkan satu per satu Perempuan Pilihan pada Laina dan juga orang-orang yang bekerja di bawah ketujuh Perempuan Pilihan tersebut untuk mengurus segala hal di Pulau Asa. “Nanti, setelah kita menemukan tugas yang tepat untukmu, kau juga akan memiliki beberapa orang yang bekerja untuk membantumu.”

“Terima kasih, Az.” Azkan terus tersenyum selama rapat dan pandangannya sebagian besar tertuju hanya kepada Laina.

Di rapat resmi pertamanya, Laina hanya bisa menjadi pendengar dari laporan yang diberikan para Perempuan Pilihan terhadap tugas tanggung jawab mereka masing-masing pada Azkan. Juga laporan dari para pekerja lain mengenai keadaan langsung di seluruh pulau. Laina merasa takjub pada Azkan yang sanggup menjawab semua pertanyaan, memberikan solusi pada setiap masalah yang dibicarakan, lalu mengorganisir pekerjaan dengan adil kepada semua orang untuk memaksimalkan hasil yang bisa dicapai. Ketika rapat hampir berakhir, Eveline bersuara lagi.

“Ada sesuatu yang ingin kubicarakan di sini, apa boleh?”

“Silahkan,” Azkan merasa kesal karena rapat tak bisa berakhir sesuai keinginannya, tapi dia tak boleh mengabaikan hak bicara penduduk pulau.

“Kenapa kau tidak membangun rumah terpisah untuk Laina, Azkan? Seperti yang selalu kau lakukan untuk semua Perempuan Pilihan.” suara Eveline bergetar.

“Bukankah keputusan mengenai siapa yang boleh tinggal di dalam kastil pribadiku, adalah keputusan pribadiku? Kenapa kau mempertanyakan kehidupan pribadiku, Eveline?” Azkan mulai tidak suka dengan arah pembicaraan ini.

“Kau sudah bersikap tidak adil, Azkan. Aku dan keenam Perempuan Pilihan yang sudah ada di pulau ini lebih dulu, semuanya tinggal di rumah yang berbeda. Kami tidak boleh sembarangan datang ke kastilmu. Tapi Laina yang baru datang, bisa langsung tinggal bersamamu sejak malam pertamanya di sini.”

“Apa Perempuan Pilihan yang lain juga merasa aku telah berbuat tidak adil?” Azkan menatap barisan tempat duduk para Perempuan Pilihan yang selama ini mendampinginya mengurus pulau. Satu per satu dari mereka, yang bertatapan dengan Azkan, menggelengkan kepalanya.

Joana, Perempuan Pilihan pertama, yang ahli di bidang pengelolaan kekayaan alam, berkata, “Azkan, sebagai Sang Penjaga dan pemimpin tertinggi Pulau Asa, punya hak secara pribadi untuk mengatur kehidupan pribadinya. Aku sebagai Perempuan Pilihan yang sejak awal menemanimu, bisa menerima keputusanmu untuk tinggal bersama dengan Laina. Aku akan tetap melakukan tugasku seperti biasa dan menerima kehadiran Laina sama seperti aku menerima kehadiran Perempuan Pilihan lainnya dan bekerja sama dengan mereka untuk mengurus Pulau Asa.”

“Tapi Joana, kenapa kita tidak boleh masuk ke kastil Azkan sedangkan Laina bisa tinggal di sana? Bukankah hal ini sungguh tidak masuk akal? Aku ingin Laina juga tinggal di rumah terpisah!” Eveline tak lagi berusaha mengendalikan emosi dan nada suaranya yang semakin meninggi.

“Tapi aku ingin Laina tinggal bersamaku, di dalam kastilku.” suara tegas Azkan mengejutkan semua orang. Azkan tak pernah menunjukkan emosinya sejelas ini. Selama ini, dia selalu mengendalikan diri, selalu tampil dalam batasan dimana orang lain tak bisa menerka isi pikiran ataupun perasaannya. Namun saat ini, semua orang bisa tahu kalau Azkan sedang marah. Dan alasan kemarahannya adalah karena Eveline berusaha membuat Laina keluar dari kastil Azkan.

“Memangnya apa yang sudah dilakukan Laina sampai kau seperti ini, Azkan? Apa yang sudah dilakukannya untuk merayumu di malam pertama kedatangannya, sampai kau tidak mau membuatnya tinggal di rumah terpisah?! Apa yang sudah dilakukannya padamu???!!!”

“EVELINE!”

Tubuh Eveline gemetar mendengar bentakan Azkan. Tetapi hatinya masih tidak bisa menerima. Dia masih ingin membuat Laina keluar dari kastil Azkan.

“Apa aku perlu menjelaskan secara gamblang di dalam rapat resmi ini, bahwa aku menyukai Laina sebagai seorang perempuan dan sedang berusaha memenangkan hatinya?” Tatapan mata Azkan begitu tajam menusuk hati Eveline yang semakin marah saat mendengar jawaban Azkan.

“Baiklah kalau begitu.” Azkan berdiri, meraih tangan Laina agar berdiri di sisinya, lalu dia melingkarkan tangannya di pinggang Laina.

“Az, jangan berlebihan,” bisik Laina. Dia tidak ingin suasana menjadi semakin buruk karena masalah ini. Dia merasa tidak masalah kalau memang harus tinggal di rumah terpisah dari Azkan. 

“Sejak Laina datang ke Pulau Asa, aku sudah tertarik padanya. Ini adalah perasaan yang berbeda. Aku tidak pernah memiliki perasaan seperti ini kepada siapa pun. Para Perempuan Pilihan yang sudah datang lebih dulu ke pulau ini dan bekerja membantuku mengurus pulau, selama ini aku memperlakukan kalian dengan hormat sebagai seorang perempuan dan juga rekan kerja. Aku tidak pernah sekalipun menjanjikan hal-hal roamantis atau hubungan personal selain hubungan kerja sama dalam mengurus pulau. Tetapi pada Laina, untuk pertama kalinya, aku ingin memiliki hubungan sebagai seorang pria kepada wanita yang disukainya. Aku sudah mengungkapkan perasaanku pada Laina dan dia belum menerima tawaranku untuk memulai hubungan resmi bersamaku. Jadi, saat ini, aku sedang berusaha memenangkan hatinya. Apakah hal ini menyinggung perasaan para Perempuan Pilihan?” 

“Tidak sama sekali, Azkan.” Perempuan Pilihan kedua, Riana, berusia dua puluh tujuh tahun, menjawab dengan tegas. “Aku mengerti. Kau tidak pernah memberikan harapan palsu apa pun pada kami, dan kami memahamimu. Kami ada di sini sebagai Perempuan Pilihan yang dipilih Dewa, untuk mendampingimu mengurus pulau. Sedangkan keputusan untuk menjadi pendamping hidupmu, itu adalah keputusan pribadimu. Bukan keputusan kami sebagai Perempuan Pilihan.”

“Ya, aku juga setuju dengan Riana, Azkan. Perempuan Pilihan ada untuk Pulau Asa dan seluruh penduduknya. Sedangkan hubungan personal denganmu, itu bukanlah hak yang otomatis didapatkan Perempuan Pilihan. Bagaimanapun juga, hubungan personal antara sepasang kekasih, tak bisa begitu saja ditentukan karena status sebagai Perempuan Pilihan.” Marqia, Perempuan Pilihan ketiga, turut bersuara. 

“Jadi, diantara semua Perempuan Pilihan yang ada, hanya Eveline yang tidak bisa menerima keputusanku untuk kehidupan pribadiku sendiri?” tatapan tajam Azkan tertuju pada Eveline yang wajahnya memerah karena amarah. 

“Untuk para Perempuan Pilihan lainnya, aku berterima kasih pada kalian. Untuk persahabatan yang kita miliki selama ratusan tahun di pulau ini, serta untuk keputusan kalian yang bersedia menghormati keputusan pribadiku. Aku sungguh berterima kasih.” 

“Sebenarnya, aku tidak masalah kalau harus tinggal di rumah terpisah sama seperti Perempuan Pilihan lainnya.” kata-kata Laina menghilangkan senyuman di wajah Azkan.

“Tidak! Aku tidak mengijinkannya. Aku tidak akan membangun rumah untukmu di luar kastil. Aku juga akan melarang semua orang di pulau ini untuk membangun rumahmu.” Azkan yang langsung merajuk seperti anak kecil setelah ratusan tahun menunjukkan wibawa seorang pemimpin, membuat para Perempuan Pilihan menahan tawa mereka. Juga orang-orang lain yang terlibat dalam rapat itu. Rasanya mereka ingin segera mengakhiri rapat dan menyebarkan cerita ini ke seluruh penduduk. Cerita tentang sosok Azkan yang sedang jatuh cinta. 

“Laina, turutilah Azkan.” suara bijak Rosa, Perempuan Pilihan kelima, terdengar setengah tertawa. “Selama ini, Azkan adalah sahabat yang baik bagi kami para Perempuan Pilihan. Sikapnya pada kami, tak pernah membuat kami salah paham akan perasaannya. Dia menunjukkan dengan jelas sebesar apa integritasnya pada hubungan persahabatan yang dia miliki pada kami. Karena itu pulalah, kami setia ada di pulau ini, mendampingi Azkan untuk memberikan kehidupan terbaik pada seluruh penduduk pulau.” Rosa menatap Laina dengan hangat layaknya seorang ibu. “Sekarang, ketika kami melihat sahabat kami jatuh cinta setelah delapan ratus tahun sendirian, tentu saja kami bahagia. Jangan berlama-lama menggantungkan jawaban pada Azkan. Karena kami, mendukungmu. Pasti ada alasan kenapa kau dipilih Dewa menjadi Perempuan Pilihan.” Laina membalas senyuman hangat Rosa dan menyimpan namanya di dalam hati, sebagai seorang teman yang berhati hangat. 

“Tidak! Aku tidak akan pernah mendukung Laina! Aku juga punya hak untuk menjadi pasangan Azkan!” sikap Eveline semakin keterlaluan. Teriakannya terdengar hingga keluar ruang rapat. Padahal, ruang rapat mereka sudah didesain kedap suara agar semua pembicaraan rahasia tidak tersebar ke pihak yang tidak berkepentingan.

“Eveline!” Azkan berusaha menghentikan Eveline.

“Azkan! Apa yang kurang dariku? Aku cantik! Pintar! Aku juga lebih muda darimu, bahkan lebih muda dari Laina! Aku mempesona! Kau tahu sendiri ada berapa banyak pria yang tertarik padaku! Tapi kenapa kau justru memilih seorang perempuan yang baru datang kurang dari seminggu dan langsung memberikan seluruh hatimu kepadanya?! Kenapa?!” saat ini, Eveline telah menjadi tontonan bagi para pekerja di bawah Perempuan Suci.

“Apa aku pernah memperlakukanmu secara spesial?” siapa pun yang mendengar suara Azkan sekarang, bisa merasakan kemarahan Azkan yang siap meledak. Termasuk Laina yang mulai merasa takut meski berdiri di sisi Azkan. Justru, sumber kemarahan terbesar berada tepat di sisinya dengan tubuh besar dan perkasa.

“...” Eveline terdiam. Dia menatap kedua mata Azkan dan merasakan kebencian darinya. Sorot mata Azkan menghancurkan hatinya.

“Tapi aku menyayangimu, Azkan. Dengan sepenuh hatiku, aku mencintaimu dan mengabdi padamu selama seratus tahun di sini.”

“Apa bedanya dengan Perempuan Pilihan yang lain? Apa aku pernah memperlakukanmu secara spesial, lebih dari Perempuan Pilihan lainnya hingga kau bisa salah paham pada perasaanku? Sampai kau merasa kau bisa menjadi pasanganku?” Azkan memicingkan matanya yang dipenuhi amarah.

“Selama seratus tahun ini aku sudah menunjukkan perasaanku dengan sangat jelas kepadamu, Azkan. Apa sekalipun kau tak pernah merasakannya?”

“Aku tahu. Maka dari itu, aku tak pernah sekalipun memintamu bertemu berdua denganku. Selalu ada orang lain bersama kita. Aku juga tidak pernah menerima undanganmu untuk makan berdua atau melakukan apapun yang hanya melibatkan kita berdua. Aku tidak mengatakannya secara langsung padamu karena aku menghargaimu. Setidaknya, aku ingin menjaga perasaanmu sebagai Perempuan Pilihan yang sudah berkontribusi pada pulau ini. Kuanggap kau pun bisa memahami perasaanku berdasarkan bagaimana aku merespon semua perbuatanmu itu.”

“Tapi Azkan,”

“Cukup!”

“Aku tidak mau lagi mendengar omong kosong tentang ini darimu, Eveline. Aku sudah menunjukkan sikap yang jelas kepadamu. Kalau kau masih membutuhkan kejelasan dariku secara langsung lewat kata-kata, maka akan kukatakan sekarang, di hadapan semua orang, bahwa aku tidak pernah memiliki perasaan khusus padamu. Aku tidak pernah memiliki perasaan romantis pada perempuan lain manapun sampai aku bertemu Laina.”

Seluruh ruangan hening. Mereka mendukung Azkan yang akhirnya jatuh cinta, tapi juga merasa prihatin pada Eveline yang ternyata sebegitu dalam mencintai Azkan meski secara sepihak.

“Jangan pernah menemuiku kalau kau masih belum bisa mengatur perasaan pribadimu. Serahkan tugasmu sebagai Perempuan Pilihan pada Rosa dan semua bawahanmu akan dipimpin oleh Rosa sampai kau siap kembali ke posisimu. Kalau kau sudah bisa menerima keputusanku ini dan siap kembali bertugas, kirimkan pesan pada Ardoz. Kau tidak perlu menemuiku secara langsung untuk melapor akan bekerja.”

“Ayo, Laina. Kita pulang,” Azkan melingkarkan lengannya di pinggang Laina, membawanya pergi meninggalkan ruang rapat dan juga gedung pemerintahan pulau yang tiba-tiba terasa menyesakkan. 

“Az, tenanglah.” Laina mengelus punggung tangan Azkan dengan jemarinya ketika mereka sudah duduk di dalam mobil. 

“Maaf, kau pasti takut melihatku marah seperti itu.”

“Iya.” Azkan menatap Laina dengan rasa bersalah yang terlihat jelas.

“Tidak apa-apa, aku akan berusaha untuk memahamimu. Lagipula, kita memang baru mengenal, jadi wajar kalau ada hal-hal baru tentangmu yang mengejutkanku.”

“Terima kasih. Sekarang, ayo kita pulang.” 

Senyuman Laina mengembang bersamaan dengan anggukan kepalanya. 

Perjalanan pulang mereka diiringi oleh kehangatan matahari menuju senja yang dingin. 

Bruk!

“Azkan!!!” Laina hendak meraih tubuh Azkan yang terjatuh ke lantai ruang tamu kastil, tapi usahanya sia-sia. Tubuh besar Azkan menghantam lantai dengan keras. 

“Astaga! Azkan!!!” Armana berlari secepat kilat dari balik pintu ruangan para pelayan. Kepanikan membuatnya tak lagi merasakan lelahnya seharian mengurus kastil besar tempatnya mengabdi selama ratusan tahun.

“Apa yang terjadi, Laina?”

“Aku tidak tahu. Tiba-tiba Azkan pingsan ketika dia sampai di kastil.”

“Apa Azkan sakit?”

“Tidak.” air mata mengenang di mata Laina.

“Ayo, kita bawa Azkan ke kamar dulu.” Armana memanggil beberapa pelayan laki-laki untuk menggotong tubuh Azkan sampai ke dalam kamar. 

“Dadanya, …” gumam Laina sambil menahan tangis setelah masuk ke dalam kamar Azkan.

“Apa maksudmu?” Armana berusaha mendapatkan informasi yang bermakna dari Laina.

“Tadi, Azkan memegang dadanya sambil mengernyit, lalu dia langsung pingsan.”

“Itu tidak mungkin.” wajah Armana mengeras dan memucat.

“Kenapa? Apa itu hal yang buruk? Tolong jelaskan padaku.”

“Azkan telah berbohong hari ini.” kata-kata Armana menusuk hati Laina.

1
anggita
like👍☝iklan. moga novelnya lancar jaya
anggita
Azkan..😘 Laina.
SammFlynn
Gak kecewa!
Eirlys
Aku bisa baca terus sampe malem nih, gak bosan sama sekali!
SIA: Terima kasih sudah mau membaca :)
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!