"Ketika cinta dan kesetiaan diuji oleh kebenaran dan darah, hanya hati yang tahu siapa yang benar-benar layak dicintai." - Kenzie William Franklyn.
•••
Vanellye Arch Equeenza, atau Ellyenza. Perempuan nakal dengan masa lalu kelam, hidup dalam keluarga Parvyez yang penuh konflik. Tanpa mengetahui dirinya bukan anak kandung, Ellyenza dijodohkan dengan Kenzie, ketua OSIS yang juga memimpin geng "The Sovereign Four." Saat rahasia masa lalunya terungkap—bahwa ia sebenarnya anak dari Sweetly, sahabat yang dikhianati ibunya, Stella—Ellyenza harus menghadapi kenyataan pahit tentang jati dirinya. Cinta, dendam, dan pengkhianatan beradu, saat Ellyenza berjuang memilih antara masa lalu yang penuh luka dan masa depan yang tidak pasti.
Akan seperti apakah cerita ini berakhir? mari nantikan terus kelanjutan untuk kisah Kenzie dan Ellyenza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meka Gethrieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ZIELL 3 ; Ikatan Yang Tak Terduga.
..."Cinta itu tidak perlu ada alasan, adanya cinta itu karena tumbuhnya perasaan."...
...- For Ellyenza -...
...●●●...
Di halaman sekolah saat jam istirahat, dalam tengah teriknya matahari siang, halaman sekolah dipenuhi oleh murid-murid yang menikmati waktu istirahat. Di sudut yang sedikit lebih sepi, dekat taman kecil yang sering dijadikan tempat nongkrong oleh para siswa, empat pria berdiri berkumpul. Mereka adalah Kenzie William Franklyn, Jeffry Prince Svetlana, Alard Fannan Atalaric, dan Garry Cashel Finnain—kelompok yang dikenal dengan julukan The Sovereign Four. Kelompok ini memiliki reputasi yang tidak bisa diabaikan di sekolah, dengan masing-masing anggotanya berasal dari keluarga berpengaruh dan memiliki kemampuan yang menonjol di berbagai bidang.
Kenzie, sang ketua OSIS, berdiri dengan postur tegap seperti biasanya, tampak sedang mendengarkan Alard yang berbicara tentang pertandingan basket yang akan datang. Alard, dengan tubuh atletis dan tampilan yang selalu kasual, adalah kapten tim basket sekolah, seorang pria yang sangat kompetitif dan selalu berbicara dengan semangat tentang olahraga.
“Gua yakin kita bisa menang lagi minggu depan. Lawan kita kali ini nggak terlalu sulit, asal kita bisa main tenang,” ujar Alard sambil menyandarkan dirinya ke pohon, sesekali mengayunkan bola basket di tangannya.
Garry, si jenius teknologi dengan kacamata hitam yang hampir selalu bertengger di atas kepalanya, menimpali sambil tersenyum. “Dengan lo di tim, gue nggak terlalu khawatir. Tapi serius, lo harus ajak gue buat nonton. Gue mau tes alat baru gue yang bisa ngukur kecepatan gerakan pemain di lapangan.”
Jeffry, yang dikenal sebagai sosok yang paling rileks dan humoris di antara mereka, hanya tertawa kecil mendengar ucapan Garry. Dengan rambutnya yang sedikit berantakan dan senyum santai, dia tampak tidak terlalu peduli pada pembicaraan serius tentang teknologi atau olahraga. Bagi Jeffry, semuanya bisa dibawa santai, termasuk masalah besar yang mungkin sedang dihadapi temannya.
Dia menepuk bahu Kenzie dengan tangan kanannya. “Gua denger-denger, ada pertemuan keluarga yang lu harus hadirin minggu depan. Udah siap?”
Kenzie mengernyit, sedikit bingung. “Pertemuan keluarga?” tanyanya, merasa ada sesuatu yang dia lewatkan.
Alard tertawa kecil sambil menambahkan, “Lu belum tahu, bro? Orang tua lu udah rencana buat pertemuan besar. Jangan bilang lu nggak dikasih tahu.”
Kenzie menggeleng pelan, bibirnya menipis dalam ekspresi serius yang biasa. “Nggak, gue nggak dengar apa-apa. Tapi kalau mereka ngatur sesuatu, gue yakin itu cuma soal bisnis keluarga.”
Jeffry, yang selalu memiliki cara untuk membuat suasana lebih ringan, tertawa sambil mengangkat bahu. “Ya, bisnis keluarga, atau bisa jadi sesuatu yang lebih pribadi. Siapa tahu mereka mau ngenalin lu ke seseorang.”
Kenzie menatap Jeffry sejenak, lalu menggeleng. “Santai aja, apapun yang mereka rencanain, gue bakal baik-baik aja,” ujarnya, meskipun dalam hatinya ada sedikit kegelisahan yang muncul. Dia tahu keluarganya bisa menjadi sangat manipulatif, tapi dia tidak ingin terlalu memikirkannya sekarang.
Garry, yang lebih sering memikirkan teknologi daripada urusan keluarga, hanya mengangkat alis sambil bersandar di bangku taman. “Apapun itu, gue yakin lo bisa ngatasinnya. Lo selalu bisa kontrol situasi, bro.”
Percakapan mereka terus berlanjut, membahas hal-hal kecil tentang acara sekolah dan pertemuan-pertemuan keluarga yang sering kali rumit. Meskipun ada nada serius dalam percakapan itu, dinamika di antara mereka tetap hangat dan akrab. The Sovereign Four memang dikenal sebagai kelompok yang solid, meskipun mereka sering kali menghadapi tekanan besar dari keluarga masing-masing.
Saat jam istirahat hampir berakhir, mereka beranjak pergi, meninggalkan halaman sekolah dengan suasana yang masih ramai. Kenzie berjalan sedikit di depan, sementara Jeffry, Alard, dan Garry terus berbicara dengan nada santai di belakangnya. Meski obrolan mereka ringan, Kenzie tidak bisa mengabaikan rasa ingin tahunya tentang pertemuan keluarga yang disebutkan Jeffry. Pertemuan apa yang sebenarnya sedang direncanakan oleh keluarganya?
...•••...
Di Perpustakaan Sekolah, suasana perpustakaan sekolah begitu hening, hanya terdengar suara lembaran buku yang dibalik atau sesekali bisikan pelan dari para siswa yang sedang belajar. Di antara rak-rak buku yang tinggi, Ellyenza berjalan pelan, tangannya menyusuri punggung buku yang berjajar rapi. Matanya mencari-cari sesuatu, meskipun pikirannya tidak benar-benar fokus pada buku yang dia lihat.
Saat dia mencapai ujung lorong, pandangannya tertumbuk pada sosok yang sangat dikenalnya—Caramel, saudari kembarnya yang selalu membuatnya merasa jengkel. Caramel duduk di sebuah meja kecil, tenggelam dalam buku tebal di depannya. Penampilannya begitu berbeda dengan Ellyenza—rambutnya terikat rapi, seragamnya sempurna tanpa kerutan sedikit pun, dan wajahnya menunjukkan ketenangan yang kontras dengan sikap Ellyenza yang lebih keras dan acuh tak acuh.
Ellyenza mendekati meja itu dengan langkah ringan, tapi ada aura ketegangan yang langsung terasa begitu dia berdiri di hadapan Caramel. Gadis itu mengangkat wajahnya sejenak, melihat Ellyenza, namun tidak mengatakan apa-apa, hanya kembali fokus pada bukunya. Sikap tenang dan lembut Caramel selalu membuat Ellyenza merasa seperti direndahkan, seolah-olah kehadirannya tidak penting.
Ellyenza mendengus pelan, menyilangkan lengannya di depan dada. “Cobalah belajar untuk menjadi sedikit lebih menarik,” ujarnya dengan nada sinis, “mungkin orang-orang akan mulai melihatmu.”
Caramel tetap diam, hanya menatap Ellyenza dengan tatapan yang sulit dibaca. Meskipun tidak ada kata-kata yang terucap dari bibirnya, Ellyenza bisa merasakan bahwa ejekannya tidak sepenuhnya mengganggu Caramel seperti yang dia harapkan. Sikap dingin dan pasif gadis itu membuat Ellyenza semakin kesal.
“Serius, Caramel,” lanjut Ellyenza, kali ini dengan senyum sinis yang lebih lebar, “gimana bisa kamu hidup dengan penampilan kayak gitu? Nggak heran kalau kamu selalu sendirian.”
Caramel menutup bukunya pelan, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, suaranya tenang namun terdengar tegas. “Apa yang kamu pikirkan tentang aku nggak terlalu penting, Ellyenza. Aku nggak di sini untuk membuat orang lain terkesan.”
Ellyenza mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan jawaban itu. Biasanya, Caramel selalu memilih untuk diam dan mengabaikan ejekannya, tapi kali ini ada sedikit perlawanan dalam suaranya. Meski begitu, Ellyenza tidak menunjukkan kelemahan apa pun. Dia melipat tangannya dan menyeringai.
“Kamu memang selalu membosankan,” jawab Ellyenza dengan nada mengejek, “Nggak heran kalau mama lebih peduli sama aku.”
Pernyataan itu membuat Caramel terdiam. Dia mungkin tidak mengatakannya, tapi Ellyenza tahu bahwa kata-katanya berhasil menusuk. Ada keheningan sejenak di antara mereka sebelum Caramel akhirnya berdiri, mengangkat bukunya, dan menatap Ellyenza sekali lagi sebelum pergi.
“Ellyenza, kamu mungkin berpikir kalau dengan bersikap seperti ini, kamu menang,” kata Caramel pelan, “Tapi kamu salah.”
Tanpa menunggu jawaban, Caramel berjalan meninggalkan perpustakaan, meninggalkan Ellyenza yang masih berdiri di tempatnya. Meski dia tersenyum sinis, ada sesuatu dalam hati Ellyenza yang merasa tidak nyaman dengan percakapan itu. Meskipun dia tidak akan pernah mengakuinya, Caramel selalu berhasil mengusik sisi terdalamnya—sisi yang tidak ingin dia tunjukkan kepada siapa pun.
Setelah Caramel pergi, Ellyenza memandang ke sekeliling perpustakaan yang kembali sunyi. Tidak ada yang melihat interaksi mereka, namun ketegangan itu masih terasa. Ellyenza menarik napas panjang, mencoba mengembalikan ketenangannya sebelum akhirnya melangkah keluar, meninggalkan lorong-lorong buku yang sepi.
...• Bersambung •...