Pak Woto, petani sederhana di Banjarnegara, menjalani hari-harinya penuh tawa bersama keluarganya. Mulai dari traktor yang 'joget' hingga usaha konyol menenangkan cucu, kisah keluarga ini dipenuhi humor ringan yang menghangatkan hati. Temukan bagaimana kebahagiaan bisa hadir di tengah kesibukan sehari-hari melalui cerita lucu dan menghibur ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pak Woto Pamit ke Ladang
Pagi itu, suasana rumah Pak Woto yang sedang dalam proses renovasi kembali ramai dengan suara mesin dan alat-alat bangunan. Pak Woto, yang sudah terbiasa dengan hiruk pikuk renovasi, berjalan mendekati Pak Rahmat sambil mengacungkan jempolnya.
"Pak Rahmat, saya pamit ke ladang dulu, ya. Semangat terus, nih, bangun rumahnya! Saya yakin hasilnya nanti pasti memuaskan!" seru Pak Woto dengan senyum lebar.
Pak Rahmat, yang sedang sibuk memberikan arahan ke para pekerjanya, menoleh dan tersenyum balik. “Siap, Pak Woto! Tenang, nanti pulang dari ladang, rumah sudah makin cakep!”
Sambil melambaikan tangan, Pak Woto bergegas menuju ladang padi. Melihat punggung Pak Woto menjauh, salah satu anggota tim proyek yang bernama Karyo mendekati Pak Rahmat dengan wajah penasaran.
“Pak Rahmat, serius deh, ini proyek segede ini, duitnya dari mana sih? Kok bisa renovasi rumah sebesar ini, padahal Pak Woto kan cuma petani?” tanya Karyo dengan bisik-bisik penuh keheranan.
Para pekerja lainnya yang mendengar pertanyaan Karyo ikut mengangguk, tanda mereka juga sama penasaran. Mereka semua menganggap Pak Woto hanyalah petani biasa yang mengurus ladang padi, tapi proyek renovasi rumah ini terlihat seperti rumah mewah ala sultan.
Pak Rahmat, yang sudah tahu betul seluk-beluk keuangan keluarga Pak Woto, tertawa kecil sebelum menjawab. “Wah, kalian ini kurang update nih soal perkembangan zaman. Memang sih, Pak Woto itu petani. Tapi kalian tahu nggak, penghasilan keluarga Pak Woto sekarang dari mana?”
Karyo dan yang lainnya menggeleng penasaran.
Rahasia Penghasilan Besar Pak Woto
Pak Rahmat tersenyum lebar sebelum melanjutkan. “Jadi begini, sekarang keluarga Pak Woto itu bukan cuma petani biasa. Mereka juga punya channel YouTube, kontennya tentang pertanian. Mulai dari cara menanam padi, merawat ladang, sampai panen. Nggak main-main, penontonnya itu orang luar negeri juga lho!”
Karyo terkejut. “Hah?! YouTube, Pak?! Yang bener? Lha, saya pikir YouTube itu cuma buat anak muda joget-joget sama prank-prank doang.”
Pak Rahmat mengangguk. “Iya, makanya kalian jangan salah sangka. Sekarang yang namanya konten pertanian bisa viral juga, apalagi kalau isinya bermanfaat. Cuma dari satu video bisa dapat gaji puluhan juta. Nah, gaji YouTube mereka udah kayak gaji CEO, bahkan lebih! Bulan kemarin aja mereka dapat hampir 250 juta dari hasil panen, belum lagi dari YouTube.”
Mata Karyo langsung melotot kaget, “Astaga! 250 juta, Pak?! Serius, itu dari panen sama YouTube aja?”
Pak Rahmat tertawa kecil melihat reaksi Karyo yang terkejut. “Betul, Karyo. Makanya, Pak Woto bisa renovasi rumah gede-gedean kaya gini. Uangnya dari hasil kerja keras bertani dan bikin konten pertanian di YouTube.”
---
Para Pekerja Terheran-Heran
Mendengar cerita Pak Rahmat, para pekerja mulai bergumam di antara mereka sendiri. Salah satu dari mereka, Udin, yang selalu suka bercanda, ikut nimbrung.
“Wah, berarti Pak Woto ini bukan petani biasa lagi dong. Dia udah jadi artis YouTube, dong? Kalau gitu nanti kita minta selfie sama dia pas rumahnya udah jadi, biar kita ikut viral juga, hahaha,” ujar Udin sambil tertawa.
Karyo menimpali, “Awas aja, Din. Jangan sampai kamu bikin video pas lagi ngaduk semen terus upload di YouTube. Siapa tau kamu malah jadi viral gara-gara adukan semennya belepotan.”
Mendengar candaan itu, semua pekerja tertawa terbahak-bahak. Suasana renovasi yang tadinya serius mendadak cair dan penuh gelak tawa. Pak Rahmat pun ikut tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan anak buahnya yang selalu bisa bikin suasana jadi ramai.
“Ya udah, kalian kerja yang bener, jangan cuma bercanda. Siapa tau kalian nanti juga bisa ikut sukses kaya Pak Woto,” kata Pak Rahmat sambil menepuk pundak Karyo.
Mereka semua kembali bekerja dengan semangat baru, sambil terus membicarakan betapa luar biasanya keluarga Pak Woto yang bisa menggabungkan usaha pertanian dan teknologi modern untuk menghasilkan pendapatan besar.
Di tengah kehebohan itu, Karyo berbisik pada Udin, “Din, kalau kita nanti udah selesai renovasi, ajak Pak Woto bikin konten pertanian sama kita, siapa tau gajian kita ikut naik! Hahaha.”
Udin mengangguk setuju, “Siap, siap! Pokoknya kita harus sering-sering nongol di video YouTubenya Pak Woto biar ikut viral!”
Mereka berdua tertawa lagi sambil melanjutkan pekerjaan, dengan harapan suatu hari mereka juga bisa ikut merasakan rejeki dari dunia konten seperti Pak Woto.
Pak Woto dan Puthut di Ladang
Pagi itu, Pak Woto sudah berada di ladang, menikmati sejuknya angin pagi yang berhembus di antara padi yang mulai menguning. Sambil memegang cangkul, ia melihat ke arah pohon kelapa di sudut ladangnya. Tiba-tiba muncul keinginan untuk menikmati kelapa muda, seperti dulu ketika dia dan Puthut memetik kelapa muda dan menambah kesegaran hari di tengah pekerjaan ladang.
Dengan cepat, Pak Woto mengeluarkan ponselnya dari saku. “Wah, enak kali ya kalau sekarang minum kelapa muda,” gumamnya. Lalu ia langsung menelfon Puthut yang sedang di rumah.
“Puthut, cepat ke ladang. Bapak butuh kamu sekarang!” seru Pak Woto melalui telepon.
Di seberang sana, Puthut yang sedang santai duduk di teras rumah sambil minum teh langsung tersentak kaget. “Hah, ke ladang? Sekarang, Pak?”
“Iya, sekarang! Jangan lama-lama, ada tugas penting buat kamu!” kata Pak Woto dengan nada tegas.
Tanpa berpikir panjang, Puthut segera menghabiskan tehnya, bergegas mengambil sepedanya, dan melaju cepat menuju ladang.
---
Puthut Sampai di Ladang
Beberapa menit kemudian, Puthut sampai di ladang. Dengan napas sedikit terengah-engah, dia langsung mendekati ayahnya. “Ada apa, Pak? Kenapa buru-buru banget manggil saya?”
Pak Woto yang sedang berdiri di bawah pohon kelapa tersenyum lebar. “Nah, kamu sudah sampai. Cepat, panjat pohon kelapa itu dan petik beberapa buah. Bapak kangen minum kelapa muda kayak dulu.”
Puthut yang mendengar permintaan ayahnya langsung menghela napas panjang. “Pak, kok urusan kelapa muda aja panggil-panggil saya. Kenapa nggak suruh orang lain aja?”
Pak Woto hanya tertawa kecil. “Kamu lupa, Put? Dulu kita sering minum kelapa muda bareng-bareng di sini. Lagian, siapa lagi yang bisa manjat secepat kamu?”
Puthut tersenyum kecil, sedikit teringat momen-momen lucu masa lalu. “Iya, iya, Pak. Tapi janji ya, kali ini nggak ada kejadian lucu kayak dulu.”
Pak Woto mengangkat tangan, “Janji, janji! Ayo, cepetan!”
Dengan sedikit ragu, Puthut mulai memanjat pohon kelapa. Namun, entah karena sudah lama tak memanjat atau karena perutnya masih kenyang, Puthut sedikit kesulitan mencapai puncak pohon.
---
Momen Kocak Memetik Kelapa
Saat Puthut sudah berhasil mencapai bagian atas pohon, dia mulai memetik kelapa muda satu per satu. Tapi tiba-tiba, kakinya tergelincir sedikit. Refleks, dia langsung berpegangan kuat pada batang pohon, tetapi kelapa yang sudah dipetiknya terjatuh.
“Woi, hati-hati, Put! Kelapanya hampir kena kepala Bapak!” seru Pak Woto sambil menunduk menghindari kelapa yang jatuh.
Puthut tertawa dari atas pohon. “Haha, maaf, Pak! Tadi licin soalnya.”
Namun, yang tak disangka-sangka, saat dia hendak memetik kelapa kedua, seekor tupai tiba-tiba melompat dari dahan dan hampir mengenai wajahnya. Puthut yang kaget spontan berteriak.
“Wah, ada tupai! Ada tupai, Pak!” teriak Puthut sambil mencoba menyeimbangkan diri.
Pak Woto yang ada di bawah tertawa terbahak-bahak melihat anaknya panik di atas pohon. “Hahaha, kamu kalah sama tupai, Put? Hati-hati, jangan sampai jatuh ke lumpur lagi kayak dulu!”
Puthut yang masih bergelantungan di pohon hanya bisa menggerutu, “Iya, Pak, saya tahu. Tapi serius, tupai ini hampir bikin saya jatuh!”
Dengan perlahan, Puthut kembali menenangkan diri dan melanjutkan memetik kelapa. Namun, begitu dia hendak turun, kejadian lucu lain terjadi. Dia melangkah terlalu cepat dan terpeleset sedikit saat menuruni batang pohon, dan dengan reflek melompat ke bawah. Namun, lompatannya terlalu pendek sehingga ia langsung mendarat di genangan lumpur sawah di dekat pohon.
“Bruk!” Suara jatuhnya Puthut ke lumpur langsung terdengar keras.
Pak Woto yang melihat kejadian itu hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal. “Hahaha, Put! Kamu basah kuyup lagi kena lumpur! Kayak deja vu aja, ya? Dulu juga begitu!”
Puthut yang kini sudah basah dan berlumpur bangkit dengan kesal tapi tak bisa menahan tawa. “Aduh, Pak. Ini gara-gara tupai tadi! Kalau nggak ada tupai, saya nggak bakal jatuh!”
Pak Woto masih tertawa sambil menepuk-nepuk punggung Puthut. “Sudahlah, yang penting kelapanya sudah ada. Ayo kita minum dulu, setelah itu kamu bisa mandi di rumah.”
---
Momen Minum Kelapa
Setelah kelapa berhasil dikupas dan dibuka, Pak Woto dan Puthut duduk di bawah pohon, menikmati segarnya air kelapa muda sambil tertawa mengingat kejadian tadi. Pak Woto mengangkat batok kelapa dan berseru, “Nah, inilah nikmatnya jadi petani. Bisa minum kelapa muda kapan saja, langsung dari pohonnya!”
Puthut yang masih sedikit kesal tapi tak bisa menahan tawa juga mengangguk. “Iya, Pak. Tapi lain kali saya nggak mau lagi manjat kalau ada tupai!”
Pak Woto hanya tersenyum lebar, “Tenang, Put. Nanti kita undang tupai itu buat ikut panen, biar nggak ganggu kamu lagi!”
Dengan suasana yang penuh tawa dan kegembiraan, mereka berdua menikmati momen sederhana namun berharga di tengah ladang, seperti keluarga petani yang tahu bagaimana menikmati hidup sambil bekerja keras.