Cintailah pasanganmu sewajarnya saja, agar pemilik hidupmu tak akan cemburu.
Gantungkanlah harapanmu hanya pada sang pencipta, niscaya kebahagiaan senantiasa menyertai.
Ketika aku berharap terlalu banyak padamu, rasanya itu sangat menyakitkan. Kau pernah datang menawarkan kebahagiaan untukku tapi kenapa dirimu juga yang memberiku rasa sakit yang sangat hebat ?
~~ Dilara Annisa ~~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda Yuzhi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Akan Melepasmu !
Fikri berbaring sambil memeluk Dilara yang berbaring di sampingnya sambil membelakanginya. Tangan besarnya membelai lembut kepala sang istri. Dilara diam bergeming. Mulutnya terkunci rapat dengan mata dipaksa terpejam.
Sejak pembicaraan mereka tadi dengan Cilla, Dilara hanya diam tanpa meminta penjelasan dari suaminya, tentang siapa sebenarnya anak kecil dan ibunya di mall bersama Fikri waktu itu.
Dilara tidak mau bertanya bukan berarti tidak peduli. Tapi dia ingin suaminya itu menjelaskan dengan sukarela tanpa diminta. Dia ingin kejujuran suaminya. Ditambah lagi perutnya yang semakin intens terasa sakitnya, membuat tubuh Dialara melemah. Jangankan untuk berdebat dengan sang suami, bernapas saja rasanya sangat susah.
" Sayang ! Sudah tidur ? " Tanya Fikri pelan terdengar bodoh di telinga Dilara. Suaminya itu memang tidak peka atau pura-pura tidak tahu kalau Dilara lagi ngambek.
" Kenapa dari tadi diam terus, hmm ? " Astaga...ini orang, manusia atau batu sih ? Andai bisa, Dilara ingin mencakar wajah tampan belahan jiwanya itu.
" Tidur, bang ! Lara capek. " Akhirnya cuma kalimat itu yang keluar dari mulut Dilara dengan suara lirih.
" Oke. Tapi ngadap sini sayang ! Masa abang dikasih punggung ?! " Rengek Fikri kumat manjanya. Dia memang laki-laki dewasa dengan aura ketegasan khas seorang pemimpin, tapi jangan lupa, dia adalah salah satu jenis laki-laki suka manja pada istrinya.
Dilara mendengus pelan lalu membalikkan badannya dengan terpaksa tanpa membuka matanya. Dia masih malas untuk menatap wajah laki-laki yang sialnya sangat dicintainya itu.
" Nah gitu dong. Abang tidak bisa tidur menatap punggungmu. Abang cuma bisa tidur kalau melihat wajah cantikmu. " Kelakar Fikri tidak sepenuhnya bohong. Laki-laki itu memang paling tidak suka tidur hanya menatap punggung istrinya. Menatap wajah cantik nan damai sang istri seolah menjadi terapi nina bobo untuk membawanya ke alam mimpi.
Dilara bergeming. Matanya betah terpejam. Sedikitpun dia tidak terpengaruh dengan gombalan receh sang suami.
" Ra ! Wajahmu pucat. Kamu sakit, sayang ? " Celetuk Fikri tiba tiba sambil menelisik wajah pucat tanpa makeup sang istri.
" Deg "
Dada Dilara berdegup kencang. Dia belum siap kalau Fikri harus mengetahui penyakitnya. " Sstt..tidur, bang. Lara capek makanya pucat. " Sahutnya dengan mata terpejam. Dia tidak ingin membuka matanya. Karena Fikri sangat hapal dengan sorot mata Dilara.
Fikri mengulurkan tangannya mengusap pelan pipi mulus Dilara. " Kamu capek banget yaa ? Apa gara-gara cafemu yang semakin banyak cabang itu ? " Bukannya menuruti perintah Dilara untuk tidur, laki-laki dewasa berumur tiga puluh satu tahun itu malah semakin berceloteh banyak.
Kebiasaan sepasang suami istri ini memang, akan melakukan pillow talk sebelum mereka tidur. Tapi entah kenapa malam ini Dilara seperti enggan berbicara dengannya, bahkan menatapnya pun serasa enggan. Itu yang terlintas di pikiran Fikri.
" Hmm...capek itu sudah biasa untuk mencari hidup. Hidup memang harus secapek itu agar bisa bertahan. " Sahut Dilara ambigu tanpa membuka matanya.
Fikri mengerutkan keningnya. " Apa maksudnya, sayang ? " Tanya Fikri bingung.
" Sst..tidur, bang. Kita harus tidur cepat untuk memaksimalkan istirahat. Biar kuat menghadapi kenyataan untuk esok hari. " Ujar Dilara menutup mulut suaminya dengan telapak tangannya.
Dengkuran halus Dilara tak membuat Fikri ikut terbuai ke alam mimpi. Pria tampan penuh kharisma itu hanya menatap wajah istrinya dalam keremangan cahaya lampu tidur.
" Sabar sayang ! Abang tau saat ini kamu gelisah dan mulai curiga denganku. Tapi sumpah demi apapun, tak sedikitpun abang mengkhianatimu. Abang masih suamimu yang dulu. Tidak sedikitpun rasa ini berubah untukmu. Semua hati abang utuh untukmu seorang. " Fikri bukan tidak peka dengan sinyal dari Dilara. Dia hanya belum siap untuk menjelaskan semuanya.
Fikri bangkit perlahan dari tempatnya dan berjalan menuju balkon kamar. Matanya sangat sulit untuk terpejam. Otaknya terlalu berisik. Laki-laki itu menyalakan sebatang rokok lalu menghirup dalam dalam asap penuh nikotin itu.
" Apa aku sudah mengambil tindakan yang salah ? Aku tidak mau kehilangan Dilara kalau sampai Dilara tau akan hal ini. " Monolog Fikri lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi balkon. Tangannya terangkat memijat pelipisnya untuk mengurangi denyutan di kepalanya.
♡♡♡
" Saya sudah bilang, jangan telpon saya kalau lagi di rumah ! " suara tegas nan dingin menyapa seseorang yang ada di seberang telepon.
" Maaf, Kak ! Tapi Ann merengek mau telpon kakak. Katanya dia rindu. " Sahut orang di seberang sana dengan suara lirih.
Fikri menghembuskan napasnya dengan kasar. Pria itu berdiri di tepi balkon dengan tangan kiri mencengkram erat pembatas balkon dan tangan kanan mengenggam ponsel yang ada di telinga kanannya. Ditatapnya langit malam kota Palu yang nampak sedikit mendung dengan tatapan gusar.
" Tunggu saya telpon ! Lain kali jangan lancang seperti ini ! " Tegas suara bariton itu lagi dengan nada sedikit geram.
" Ayah ! Ann rindu ! " Pekik suara cempreng seorang anak kecil berhasil menginterupsi Fikri.
Fikri terpaku dengan tubuh menegang. " A - Ann ! Ann belum bobo, nak ? Kenapa malam-malam telpon ? " Dengan suara tergagap, Fikri membalas sapaan anak kecil di seberang sana.
" Ann tidak bisa bobo. Ann rindu ayah. Ann lagi demam, Yah ! " Rengek bocah perempuan itu dengan nada manja.
" Nanti Ayah telpon dokter May, supaya Ann bisa diobati sama tante dokter ya, sayang ! Sekarang Ann istirahat, ya ! " Titah Fikri lembut. " Mana Mama ? Ayah mau bicara sama Mama ! " Imbuhnya lagi tapi menegaskan untuk berbicara dengan orang yang dipanggil Mama sama anak kecil itu.
" Baik ayah ! Mama, Ayah mau bicara ! " Ujar anak kecil itu dengan nada lesu.
" I-Iya kak, maaf ! Ann maksa tadi ! " Ucap wanita di seberang dengan suara bergetar takut.
" Jangan melanggar batasan aturan yang saya buat. Saya harap ini yang pertama dan terakhir. Berikutnya, tunggu saya yang hubungi lebih dulu. Se-urgen apapun itu, jangan lancang menghubungi saya ! " Tegas Fikri dengan suara dingin lalu mematikan panggilan sepihak tanpa menunggu tanggapan lawan bicaranya.
Fikri mengusap kasar wajahnya lalu mengacak rambutnya dengan frustasi sambil menatap ponselnya yang sudah menggelap.
" Aargghh...kenapa jadi kacau begini ?! Lama-lama dia jadi makin ngelujak ! " Geramnya sambil membuang napas kasar lalu berbalik hendak masuk ke dalam kamar.
" Deg.. " Jantungnya berdetak kencang seolah mau keluar dari sarangnya ketika melihat sosok anggung sedang berdiri di bingkai pintu dengan raut datar. Tubuh pria itu seketika menegang.
" S-sayang ! Dari kapan kamu di ss-situ ? " Ucapnya dengan bibir bergetar. Wajahnya pucat pasi seolah tidak dialiri darah sama sekali.
Dilara tersenyum manis. " Baru saja, bang. Abang ngapain di situ malam-malam ? Abang tidak tidur ? " Sahut Dilara lembut sambil berjalan anggun ke arah sang suami.
" A-abang lagi cari angin, sayang. Abang tidak bisa tidur. Makanya abang duduk di sini sebentar. Kenapa bangun, sayang ? " Ujar Fikri sedikit lega, ternyata Dilara biasa saja.
" Sepertinya dia tidak mendengar percakapanku tadi di telepon. " Gumam Fikri dalam hati merasa lega.
Dilara menatap wajah Fikri dengan intens lalu mengusap rahang tegas yang ditumbuhi jambang tipis itu. " Wajah abang pucat terlihat panik seperti maling ketangkap basah. Kenapa bang, ada sesuatu ? Lara kebangun karena abang tidak ada di samping Lara. Lara pikir abang kemana. " Kekeh Dilara berkelakar.
" Pu-pucat gimana sih, sayang ? Ti-tidak ada apa-apa. Mungkin pengaruh udara dingin jadi wajah abang jadi pucat. " Tukas Fikri berkelit.
" Ooh..gitu yaa ?! Ya sudah Lara masuk lanjut tidur lagi. Kalau abang mau tidur situ juga tidak apa-apa. " Ucap Dilara lalu berbalik meninggalkan Fikri.
" Eeh..." Sebelum sempat melangkah, Fikri menarik pinggang Dilara. " Abang mau lanjut tidur juga. " Serunya lalu menggendong ala bridal tubuh semampai sang istri.
Dilara terpekik kecil mendapat perlakuan tiba-tiba seperti itu. " jangan digendong, bang. Lara berat ! " Pekiknya sambil memukul pelan dada sang suami.
Fikri terkekeh. " Mana ada berat, sayang. Ini seringan kapas. " Tukasnya lalu melangkah cepat masuk ke dalam kamar.
" Sekarang tidur ! Ini sudah larut. " Ucap Fikri lembut sambil meletakkan pelan tubuh Dilara di atas kasur.
Dilara tersenyum lembut. Sorot penuh riak cinta itu menatap intens ke dalam manik pekat sang suami.
" Terima kasih sudah sayang sama Lara ! " Ucapnya lalu memiringkan tubuhnya berbaring menghadap kanan, memunggungi suaminya.
" Abang juga terima kasih padamu, Lara sudah cinta dan ikhlas menemani abang selama ini. " Tukas Fikri lalu mengecup lembut pucuk kepala Dilara.
Dilara tersenyum getir dengan wajah sendu. Tanpa Fikri sadari tetesan cairan bening sudah membasahi pipi mulus Dilara.
" Aku akan melepasmu, bang ! Aku sadar diri jadi seorang istri. Aku ingin melihatmu bahagia dengan sesorang yang sudah memberimu keturunan. " Batin Dilara sambil menggigit kuat bibirnya agar isakannya tidak lolos dari bibirnya yang terlihat pucat.
Kilasan percakapan sang suami dengan seseorang di telepon tadi, terus menggema dalam benaknya.Dia mendengarnya semua. Bahkan suara samar dari seberang telepon pun sangat jelas tertangkap oleh rungunya.
Dilara kalah. Ya...dia merasa sudah kalah oleh keadaan. Keadaannya yang tidak bisa memberi sang suami keturunan telah membuatnya sadar diri. Dan suara anak kecil yang memanggil sang suami dengan sebutan ayah tadi, berhasil menamparnya dengan telak.
" Aku hanya seorang wanita yang menjadi beban suami. " Jerit batinnya pilu.
lanjut thor
..