Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23
Seno dan Masagena bergerak perlahan di antara reruntuhan kota, tempat debu berterbangan dan bangunan hancur menciptakan labirin menakutkan. Setiap langkah mereka menimbulkan suara gemerisik, seolah mengundang maut yang menunggu di sudut-sudut gelap. Keringat menetes dari dahi Seno, wajahnya pucat dengan ketegangan.
"Jangan bergerak terlalu cepat," bisik Masagena, tangannya meremas pipa besi yang dia pegang. "Kita harus hati-hati. Ini bukan hanya zombie biasa."
Mereka melangkah lebih dalam ke dalam bayang-bayang, merasakan tekanan semakin mendalam. Namun, saat mereka berbalik untuk mengintip jalanan yang lebih aman, rasa ngeri menyergap mereka. Dari kegelapan, sosok-sosok besar muncul, wajah-wajah yang memerah dan badan yang kekar bergerak dengan kecepatan mencengangkan.
"Ini... tidak mungkin," Seno mengucapkan, napasnya tertahan saat melihat zombie-zombie itu. Tubuh mereka lebih besar dan terlihat lebih kuat, gerakan mereka lebih cepat, seolah terlahir kembali dari kengerian. "Apa yang terjadi pada mereka?"
Zombie-zombie itu memuntahkan suara menggeram yang mengerikan, dan Seno merasa gelombang ketakutan mendera jiwanya. Masagena merapatkan tubuhnya ke dinding bangunan yang hancur, berusaha menyatu dengan bayangan. "Kita harus bergerak! Kita tidak bisa menghadapi mereka!"
Setiap gerakan kini diwarnai dengan kehati-hatian. Seno dan Masagena berusaha memanfaatkan bayangan di sekeliling mereka, bersembunyi di antara puing-puing dan reruntuhan. Jantung Seno berdegup kencang, resonansi detak yang seakan terdengar di telinga zombie-zombie itu.
"Ke kiri! Ayo, cepat!" Masagena berbisik, jari telunjuknya menunjuk ke jalan sempit yang mengarah ke lorong gelap. Kepala Seno berputar cepat, memindai lingkungan sekitar, otaknya berputar-putar mencari cara untuk selamat.
Mereka menyelinap ke dalam bayangan, dan sejenak rasa tenang menghampiri. Namun, suasana yang hening itu tak bertahan lama. Suara menggeram yang dalam mengguncang ketenangan malam, menandakan bahwa makhluk-makhluk itu semakin dekat.
Tiba-tiba, salah satu zombie bermutasi menampakkan diri, berlari kencang, tubuhnya bengkak dengan otot yang terlihat mengintimidasi, dan teriakan menggema. "Seno, lari!" teriak Masagena, tangannya terulur, menarik Seno untuk berlari.
Dalam sekejap, suara langkah berat dan cepat terdengar di belakang mereka, membuat bulu roma Seno berdiri. Dia menoleh dan melihat zombie bermutasi itu mendekat dengan kecepatan mengerikan, mata merahnya bersinar dalam kegelapan.
"Astaga! Itu... dia sedang mengejar kita!" Seno hampir tidak bisa bernapas, kaki-kakinya terasa berat seolah tertancap ke tanah. "Kita tidak punya waktu lagi!"
Masagena tidak menjawab, hanya menarik Seno dengan sekuat tenaga, mengarahkan mereka ke arah lorong sempit yang penuh dengan bayangan gelap. "Ayo, cepat! Kita harus sampai ke tempat aman sebelum dia mendekat!" Rasa panik dan ketakutan membara dalam dada mereka, mendorong mereka untuk berlari secepat mungkin.
Namun, saat mereka berlari, suara langkah itu semakin mendekat, resonansi napas berat zombie itu menjadi semakin jelas di telinga mereka. Detak jantung Seno mengalir deras, setiap detak terasa seperti alarm yang membangunkan insting bertahannya.
Saat mereka mencapai batas lorong, Seno berbalik sejenak, dan pemandangan yang menanti membuatnya terhenti sejenak. Satu tangan besar zombie melayang di udara, siap untuk menghancurkan mereka.
"Dia akan menangkap kita!" teriak Masagena, memaksanya untuk berlari lebih cepat lagi, tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dengan keberanian yang semakin menipis, mereka melompat ke dalam kegelapan, berharap bisa melarikan diri dari monster yang mengintai di belakang mereka.
Seno dan Masagena terhimpit di sudut sempit, napas mereka memburu saat suara gemeretak mengerikan dari kaki zombie mutan menggema di udara. Bayangannya menjulang besar, semakin dekat, dan setiap langkahnya menghancurkan puing-puing di sekitar mereka. Keringat mengalir di pelipis Seno, tangannya menggenggam erat pipa besi, sementara Masagena memegang sebatang kayu panjang dengan kedua tangan, siap menghadapi serangan.
Zombie mutan itu menerjang,dengan gerakan yang jauh lebih cepat dari yang mereka duga. "Awas!" teriak Masagena, melompat ke samping, nyaris menghindari tangan besar makhluk itu yang menghantam dinding dengan kekuatan yang cukup untuk meruntuhkan sebagian tembok.
Seno menebas dengan pipa besinya, mengenai bagian samping kepala zombie, tapi hanya berhasil membuat makhluk itu berbalik dengan amarah lebih besar. Wajahnya menegang, matanya memerah, dan rahangnya menggertak keras. "Tidak mempan!" teriak Seno, frustrasi.
"Tetap serang titik lemah!" seru Masagena, meski suaranya terdengar gentar. Dia maju lagi, berusaha memukul lutut makhluk itu dengan keras. Namun, serangannya hanya membuat zombie mutan terhuyung sebentar sebelum kembali berdiri dengan kekuatan penuh.
Saat zombie mutan itu berbalik, matanya yang merah bersinar di bawah sinar remang kota yang hancur. Makhluk itu menggeram keras dan melompat ke arah Seno. Masagena berteriak, "Seno, di belakangmu!"
Seno dengan refleks mengangkat pipa besinya, menangkis serangan makhluk itu, tetapi kekuatan hantaman itu mendorongnya mundur, membuat lututnya hampir menyerah. Darah segar merembes dari luka di lengannya akibat benturan keras tersebut. "Tidak! Aku harus bertahan!"
Dengan satu gerakan cepat, Masagena menyerbu dari samping, menggunakan kayu panjangnya untuk menusuk leher zombie mutan. Kali ini, serangannya berhasil. Makhluk itu meraung kesakitan, darah kental berwarna hitam memercik ke tanah, tapi tidak berhenti bergerak.
Pertarungan semakin sengit, dengan zombie mutan yang tidak mau menyerah. "Dia tidak bisa dihentikan!" Masagena mengeluh, wajahnya penuh keringat, napasnya tersengal.
"Kita harus terus menyerang titik vitalnya!" Seno menjawab, menggertakkan gigi. Tangannya gemetar, tapi dia tahu ini adalah kesempatan terakhir mereka. Dengan segala kekuatannya, dia menusuk perut zombie dengan pipa, membuat makhluk itu terhuyung mundur.
Masagena, dengan napas tersengal dan tenaga tersisa, menghantam kepala zombie berkali-kali. "Ini tidak akan berhenti... sampai kita benar-benar menghancurkannya!" katanya, setiap ayunan penuh dengan kemarahan dan ketakutan.
Zombie itu jatuh ke tanah dengan suara berat, darah hitam mengalir dari luka-luka di tubuhnya. Masagena terengah-engah, matanya masih terbelalak, tak percaya bahwa mereka telah melakukannya. "Apakah... apakah dia sudah mati?"
Seno mendekat, dengan pipa masih di tangan, hati-hati memeriksa tubuh yang tak bergerak itu. "Aku... aku rasa kita berhasil." Tapi sebelum mereka bisa merayakan kemenangan singkat itu, raungan zombie lain terdengar di kejauhan,mengingatkan mereka bahwa ini belum selesai.
"Kita harus pergi sekarang," kata Seno cepat. "Yang lain perlu tahu apa yang kita hadapi."
Mereka berlari secepat mungkin menuju markas, hati mereka masih berdebar kencang, adrenalin yang belum sepenuhnya mereda. Sesampainya di sana, Seno langsung menghentakkan pintu terbuka, wajahnya masih penuh ketegangan. "Kita punya masalah besar."
Gathan, Jasmine, dan yang lain berkumpul di sekitar mereka, ekspresi tegang di wajah-wajah mereka. "Apa yang terjadi di luar sana?" tanya Jasmine, alisnya mengerut.
"Zombie... bermutasi," Masagena berkata dengan napas masih terengah, matanya tak bisa menyembunyikan rasa takutnya. "Mereka lebih cepat... lebih kuat. Apa yang kita hadapi sekarang jauh lebih berbahaya."
Suasana di ruangan itu berubah, ketegangan meningkat. Setiap orang di sana menyadari bahwa ancaman yang mereka hadapi telah berevolusi. Jasmine menggigit bibirnya, "Kalau begitu, kita harus memperkuat pertahanan kita."
Namun, sebelum ada yang sempat merespons, suara gemuruh dari luar mengguncang markas mereka. Seno mendekati jendela, melihat ke luar, dan matanya melebar. "Oh, tidak... mereka sudah datang."
Ratusan zombie, termasuk beberapa yang bermutasi, berkeliaran di sekitar gedung, lebih banyak daripada sebelumnya. Pertahanan yang mereka miliki tidak akan cukup. Kengerian mencekam semua orang, dan di tengah kepanikan itu, satu hal menjadi jelas: waktu mereka semakin menipis.