Tiga tahun menjalin hubungan pernikahan, Gempita mengetahui kalau suaminya telah berselingkuh dengan wanita yang lebih muda.
Dalam situasi seperti ini, ia menghadapi kebingungan. Satu alasan yang tidak bisa diungkap. Apakah bercerai atau mendiamkan perbuatan Melvin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renita april, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman Melvin
Gempi melepas raket di tangan, berlari menghampiri Nindi yang sepertinya terluka parah. Dalam hati, ia puas. Jelas lemparan bolanya mengenai tepat di wajah gadis itu.
Mau macam-macam, Nindi tidak lihat siapa lawannya. Dengan kecantikan, usia, Gempi akui jika wanita itu berhasil merebut perhatian suaminya. Namun, dalam hal lain, wanita itu jelas tidak ada apa-apanya.
"Maaf, ya. Aku benar-benar enggak sengaja." Gempi khawatir, ia memegang lengan Melvin. "Sayang, kita bawa dia ke rumah sakit."
"Kamu tenang dulu. Kita lihat keadaan Nindi." Melvin melepas pegangan tangan istrinya, ia berjongkok, melihat keadaan wajah simpanannya ini. "Biar aku lihat hidungmu."
Nindi menggeleng. "Ini sakit."
"Tisu. Tahan darahnya," sahut Ridwan.
"Air dingin!"
Gempi tidak tahu siapa yang berteriak. Teman-teman Melvin mengerubungi si gadis yang hidungnya terluka karena bola tenis.
"Kita ke rumah sakit saja buat hentikan pendarahannya." Gempi bersuara sembari memandang Nindi yang juga menatapnya. Dari pancaran mata gadis itu, tersirat kemarahan. "Aku beneran enggak sengaja. Maaf, ya."
"Sayang, kamu enggak usah panik begitu." Melvin bangkit berdiri. "Nindi, biar kami antar ke rumah sakit."
"Melvin, kamu antar Nindi ke rumah sakit sendiri aja. Aku beneran enggak enak."
"Loh, kamu pulangnya gimana? Aku enggak mungkin biarin kamu pulang pakai taksi."
"Aku minta jemput Sifa aja nanti."
"Jangan ngerepotin orang. Kita sama-sama ke rumah sakit."
"Kamu aja, deh, Sayang. Kamu tahu sendiri kalau aku enggak suka bau rumah sakit."
"Kok, kalian malah berdebat. Cepat bawa Nindi ke rumah sakit." Ridwan menyela.
"Cepat, Sayang. Bawa Nindi ke rumah sakit."
Melvin mengangguk. "Iya, deh. Ayo, bantu aku bawa dia masuk mobil."
Mata Nindi yang berkaca-kaca, memandang Gempita tajam. Ia tidak terima, apalagi sampai kalah dari wanita kurus ini.
"Maaf, Nindi. Uang kemenangannya akan aku transfer sama Ridwan."
"Masih aja sempat sama taruhannya." Ridwan jadi kesal karena Gempi terkesan tidak simpati terhadap Nindi yang terluka.
Tunggu! Apa ini sengaja? Mungkin Gempi sudah tahu hubungan gelap Melvin, lalu sekarang berencana balas dendam?
"Kenapa kamu menatapku begitu? Aku ini istri Melvin, sahabatmu."
"Ada apa, Gempi?" Melvin memandang sahabat dan istrinya secara bergantian.
"Tidak apa-apa. Cepat bawa Nindi ke rumah sakit."
Melvin jadi curiga pada Ridwan. Ia memandang sahabatnya itu penuh dengan beragam pertanyaan. Tumben sekali Gempi beraksi pada sahabatnya ini, padahal ia tahu jika istrinya enggan untuk terlalu akrab bersama pria lain.
"Enggak apa-apa, Vin. Aku cuma heran aja, Gempi malah enggak ikut ke rumah sakit. Aku lupa jika kamu pernah bilang dia enggak suka ke sana."
"Hidungku terus berdarah. Kapan kalian akan membawaku ke rumah sakit?" Nindi jadi kesal sendiri.
"Iya, kita langsung berangkat."
Gempi melempar senyum pada suaminya yang pergi bersama Nindi. Ia istri baik, bahkan terlalu. Mana ada perempuan lain yang membiarkan suaminya sendiri berduaan dengan wanita lain.
"Itu beneran enggak sengaja?" tanya Ridwan, yang masih saja curiga.
"Kamu berpikir aku sengaja? Memangnya aku ada masalah dengan temanmu itu? Kenal saja baru tadi pagi. Pikiranmu terlalu negatif."
Ridwan juga tahu itu. Kecurigaannya ini tidak mendasar. Jika Gempi tahu tentang hubungan gelap Melvin, maka jelas akan ada yang namanya perang rumah tangga. Buktinya sekarang, Gempi tenang saja.
"Bukannya sudah biasa kalau dalam permainan ada yang cedera?" kata Gempi lagi.
Ridwan mengangguk. "Ya, itu sudah biasa. Tapi, pukulan itu sangat kuat."
"Itu di luar kendaliku." Gempi menyunggingkan senyum tipis, lalu ia melangkah pergi ke bangku tunggu. Lebih baik lekas menghindari Ridwan yang terlihat memuakkan.
Sementara dalam perjalanan rumah sakit, Nindi tidak hentinya mengumpat. Hidungnya sakit, ia beberapa kali mendongak agar darah berhenti mengalir.
"Sialan! Dia pasti sengaja."
Melvin menoleh. "Kamu enggak bisa diam? Dari tadi mengumpat Gempita terus. Dia enggak sengaja menangkis bola sampai terkena hidungmu."
"Enggak sengaja? Jelas dia itu sengaja! Jika hidungku patah, aku akan tuntut dia."
"Apa?" Melvin menggeleng. "Atas dasar apa? Jelas itu hanya pertandingan."
"Kamu dari tadi bela dia terus." Nindi meringis sakit. "Hidungku."
"Makanya diam dulu. Kita sampai rumah sakit."
Yang penting mengobati dulu, setelah itu baru bahas Gempi. Hidung memang sakit, tetapi lebih perih hati yang saat ini ia rasakan. Kekesalan terhadap Gempita serta Melvin yang tidak mau istrinya disalahkan.
Nindi segera ke unit gawat darurat dan ditangani oleh dokter langsung. Ia juga dibawa ke ruang khusus untuk mengecek luka dalam akibat dari lemparan bola. Sekitar satu jam menunggu pemeriksaan, mereka tahu hasilnya.
"Tidak ada tulang yang patah. Memang ada sedikit pembengkakan, tetapi akan lekas pulih. Pendarahannya juga sudah berhenti. Saya akan berikan obat agar lekas membaik." Dokter wanita ini menulis resep, lalu memberikannya kepada Melvin. "Semoga istri Anda lekas sembuh." Dokter ini tersenyum manis.
"Terima kasih, Dokter." Melvin mengatupkan tangan, lalu mengajak Nindi pulang. Setelah keluar dari ruang UGD, barulah Melvin kembali berkomentar, "Tuh, kamu enggak sakit parah. Cuma terkena bola doang."
"Cuma? Kamu, tuh, benar-benar, ya!" Nindi jadi kesal.
"Kita enggak perlu ke Bali, kan? Kamu sakit."
"Enggak mau!" Nindi memajukan bibirnya.
"Makanya, aku ngomong, tuh, didengar. Sudah kubilang jangan pergi ke lapangan, tapi masih nekat."
"Sayang, aku mau pernikahan kita diadakan di Bali."
"Enggak jadi di hotel?"
Nindi menggeleng. "Aku mau di tepi pantai terus kita bisa bulan madu."
"Oh, terserah, sih. Sekalian aja kita cek hotel di sana buat pesta." Melvin mengeluarkan ponsel. "Bentar, aku telepon Gempi dulu."
Nindi berdecak. "Masih aja kamu perhatian."
"Kamu, tuh, apaan, sih?" Melvin kesal kalau sikap Nindi begini terus. "Awal kita jadian kamu santai. Kamu udah tahu aku punya istri dan aku enggak bakal cerai. Sekarang malah marah-marah. Bilang aku enggak adil, enggak sayang, ini dan itu. Kalau kamu masih begini terus, mending kita udahan aja, deh."
"Sayang!" Nindi kaget mendengarnya. "Maksudku bukan begitu, kok."
"Ini peringatan buat kamu. Dari awal aku udah kasih tau resikonya. Aku suka cewek yang nurut. Sekarang, sikapmu malah ngalahin Gempi."
"Aku enggak bakal kayak gitu lagi. Aku janji."
Melvin diam saja, ia beranjak menuju apotek untuk mengambil obat, sedangkan Nindi memendam kemarahan.
"Lihat aja nanti, kamu bakal jadi milik aku seutuhnya." Nindi memang bertekad untuk hamil agar posisinya kuat. Ia juga berharap Melvin menikahinya secara resmi. Sayangnya, itu tidak mungkin.
"Obatnya sudah diambil, ayo, pulang!"
Nindi manut dengan mengikuti kekasihnya ini. Sampai di mobil, Melvin melanjutkan keinginannya tadi dengan menelepon Gempi. Setelah memastikan istrinya berada bersama Sifa, sambungan telepon tersebut diputus.
Melvin menoleh pada kekasihnya. "Ya, udah. Kamu bersihkan dulu dirimu setelah itu, kita belanja."
"Yang bener, Sayang?"
"Iya ...."
Nindi berteriak girang, lalu memeluk Melvin tanpa peduli hidungnya yang sakit. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari belanja.