Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Masih cinta
Nara baru turun ke meja makan setelah waktu menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit. Nara berpikir, semua orang sudah selesai sarapan. Tetapi yang ada, semua keluarga baru akan memulai acara makan pagi tersebut.
Kegiatan makan bersama adalah sesuatu yang mulai Nara hindari dari beberapa hari yang lalu. Karena kegiatan tersebut tidak akan jauh-jauh dari sindiran untuk Nara seperti, tak kunjung memiliki anak dalam kurun waktu lima tahun.
"Eh, Mbak Nara sudah datang," ucap Beta yang menyadari kehadiran Nara lebih dulu.
Nara tersenyum menanggapi. Tatapannya tertuju pada Arjuna yang kini juga sedang menatap dirinya. Semalam, Nara jelas menolak ketika Arjuna akan menyentuh dirinya. Minggu ini bukanlah jatah Nara sehingga dia tidak mau mencuri jatah Nadya.
"Assalamu'alaikum," sapa Nara pada semua yang hanya dijawab oleh suaminya.
"Wa'alaikumussalam. Duduk di sini, Ra," pinta Arjuna sambil menarik kursi di sebelahnya. Nadya sudah duduk di sisi sebelah kiri sedangkan Nara duduk di sebelah kanannya.
Bu Azni melirik sinis pada kedatangan Nara. Tidak ada yang bicara setelahnya. Hanya ada suara denting sendok yang beradu dengan piring. Hingga semua selesai dengan kegiatan sarapan, Bu Azni berdehem pelan.
"Bagaimana rasanya tadi malam, Nad?" tanya beliau lembut, seperti sengaja ingin membuat Nara cemburu.
"Mas Arjuna sangat hebat, Ma," jawab Nadya dengan polosnya. Nara hanya diam sambil menenggak air putih miliknya.
"Ma! Tidak selayaknya hal seperti itu menjadi perbincangan. Bila di bahas, hal tersebut bisa menjadi aib," peringat Arjuna yang memang masih memegang teguh adab baiknya.
Nara tersenyum dalam hati. Sejauh ini, suaminya itu belum pernah melanggar syariat. Oleh karena itulah Nara tidak bisa menggugat hanya karena di poligami. Karena Arjuna tetap bersikap adil.
"Kamu mulai pandai menasehati Mama sekarang?" tanya Bu Azni tidak terima.
Nara menghela napas lelah lalu beranjak lebih dulu. Dia tidak ingin menyaksikan drama ibu mertuanya di pagi hari. Hal tersebut sudah cukup membuat Nara jengah. Karena pasti dirinyalah yang akan Disangkut-pautkan serta disalah-salahkan.
"Pasti gara-gara istri mandulmu itu."
Nah kan. Baru saja Nara berpikir demikian, suara sang Ibu mertua kembali terdengar.
"Mengapa selalu Nara yang Mama salahkan? Tidakkah Mama berpikir jika Nara tak kunjung memiliki anak karena tertekan hidup bersama Mama?" tanya Arjuna yang kini mulai berani mengemukakan pendapat.
Selama ini, Nara mengetahui jika Arjuna tidak ingin mendebat sang Mama. Kini, hal itu sedang terjadi tetapi sudah terlambat bagi Nara. Dulu, Arjuna selalu diam ketika ibunya mengolok-olok Nara.
"Kamu—"
"Aku pamit dulu, Mas. Aku ingin bertemu teman lamaku," pamit Nara sebelum perdebatan itu semakin panjang.
"Biar Mas yang antar kamu," ucap Arjuna yang kini sudah berdiri dari duduknya. Secepat kilat Nara menggeleng.
"Tidak perlu, Mas. Hari ini kamu masih milik Nadya. Aku tidak bisa membiarkan kamu menemaniku. Temani saja Nadya," jawab Nara lalu menyalami tangan Arjuna.
Tidak memiliki pilihan lain, Arjuna pasrah dan membiarkan Nara pergi. Arjuna hanya mengantarkan sampai ambang pintu. Hari ini dia masih dalam masa cuti karena pernikahan keduanya.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Arjuna bisa melihat raut Nara yang berbinar ketika melihat layar ponselnya. Nara tidak tahu mengapa istrinya itu terlihat sangat bahagia.
"Sebenarnya kamu ingin bertemu siapa sampai harus sebahagia itu?" gumam Arjuna menatap nanar kepergian Nara.
Sedangkan Nara, dia tersenyum ketika mendapat pesan dari Dissa yang mengatakan jika temannya itu sudah sampai. Nara merasa konyol karena kebiasaan Dissa sejak dulu belum berubah. Yaitu, datang setengah jam lebih awal.
Nara:
Ya sudah. Pesankan makanan untukku juga ya. Aku masih lapar dan sengaja makan sedikit.
Setelah mengirim balasan tersebut, Nara segera melajukan motor menuju restoran Sunda tempat Dissa berada.
Tidak berapa lama, motor pun tiba. Setelah mencari nomor meja yang Dissa pesan, akhirnya Nara bertemu dengan teman lamanya itu.
"Apa kabar, Ra? Aku sangat merindukanmu. Sudah lama juga kita tidak bertemu," ucap Dissa sambil menyambut kedatangan Nara dengan memeluknya.
Nara balas memeluk Dissa hangat. "Aku baik, Dis. Semoga kamu baik juga ya," jawab Nara yang mendapat anggukan penuh senyum dari Dissa.
"Berhubung makanan sudah datang, kita makan dulu ya, Ra." Dissa berucap sambil menatap deretan makanan yang sudah tersaji.
"Aku turut sedih dengan keputusan suami kamu, Ra," ucap Dissa untuk pertama kalinya, setelah acara makan itu selesai.
Nara tersenyum tipis. "Terimakasih, Dis."
"Jadi bagaimana? Apakah ada lowongan pekerjaan yang cocok untukku?" tanya Nara tidak ingin pembahasan tentang suaminya berlanjut. Dissa menghela napas kasar. Sadar jika Nara tidak ingin melanjutkan pembahasan.
"Aku ada lowongan pekerjaan di sebuah perusahaan. Hanya saja, apa kamu yakin jika suamimu akan mengizinkan?" tanya Dissa sangsi.
Nara tercenung. Pembahasan tentang Nara yang ingin bekerja semalam tidak berakhir baik. Suaminya itu tetap teguh pada pendiriannya, tidak ingin Nara bekerja.
"Aku yakin, suami kamu tidak mengizinkan," tebak Dissa yang memang benar adanya.
"Tetapi, aku butuh hiburan ketika jatah istri kedua suami ku tiba, Dis. Aku tidak sanggup bila terus melihat keduanya bersama," jawab Nara dengan tatapan mata kosong.
Dissa menghela napas panjangnya. Seakan ikut merasakan sesak yang Nara alami. Dissa tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi Nara.
"Kamu sangat kuat, Ra. Aku tidak yakin jika ada di posisi kamu, akan sanggup menghadapi." Dissa berucap kagum.
"Manusia diuji sesuai porsi kemampuannya masing-masing, Dis. Walau aku merasa tak mampu, nyatanya aku kuat sampai hari ini," jawab Nara tersenyum mengingat lima tahun yang sudah berlalu.
"Kalau kamu butuh teman untuk bercerita, aku siap menyediakan telinga, Ra. Jangan sungkan untuk berbagi bebanmu padaku," ucap Dissa benar-benar tulus.
"Terima kasih, Dis. Untuk masalah pekerjaan, aku akan bicarakan lagi dengan Mas Arjuna. Sebenarnya, aku tidak diizinkan untuk bekerja dan aku tidak bisa melanggar aturan tersebut. Aku bisa mendapat dosa karena tidak menuruti perintah suami demi kebaikan," jelas Nara panjang lebar.
Dissa terdiam menatap Nara lamat-lamat. Tangannya terulur menyentuh punggung tangan Nara yang berada di atas meja. "Apakah cinta dari suami kamu masih tetap sama?" tanya Dissa ragu-ragu.
Nara kembali tercenung. "Aku tidak tahu. Sejauh ini, tidak ada yang berubah dari sifat maupun sikap Mas Arjuna, Dis. Dia masih sama. Masih menjadi Arjuna yang Nara kenal. Dia adil dalam bersikap," jawab Nara.
"Lalu kamu? Apakah masih mencintai suami kamu?"
Dengan cepat, Nara mengangguk. "Aku masih sangat mencintai Mas Arjuna, Dis. Aku bahkan takut ketika suamiku sedang dekat dengan Nadya. Aku takut kehilangannya."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...mampir juga kesini yuk 👇👇...