Rania terjebak dalam buayan Candra, sempat mengira tulus akan bertanggung jawab dengan menikahinya, tapi ternyata Rania bukan satu-satunya milik pria itu. Hal yang membuatnya kecewa adalah karena ternyata Candra sebelumnya sudah menikah, dan statusnya kini adalah istri kedua. Terjebak dalam hubungan yang rumit itu membuat Rania harus tetap kuat demi bayi di kandungannya. Tetapi jika Rania tahu alasan sebenarnya Candra menikahinya, apakah perempuan itu masih tetap akan bertahan? Lalu rahasia apakah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6 Ingin Hidup Tenang
Rania tersentak dari tidurnya, membuatnya langsung terbangun dengan deru nafas memburu. Melihat seseorang yang duduk di dekatnya bukan orang yang ditakutinya, membuat Rania dapat bernafas lega.
"Kamu kenapa nak? Tidurnya sampai keringetan gini," tanya Neneknya khawatir.
"Nenek kapan pulang?"
"Sudah dari satu jam lalu, kamu tidur nyenyak banget."
Tidur? Bukankah Ia pingsan?
"Em apa dia ada di sini?" tanya Rania.
"Dia siapa?"
Rania merasa tidak sanggup walau hanya menyebutkan namanya saja, "Di rumah ini saat Nenek pulang, apa ada orang selain aku?"
"Tidak, Nenek tidak lihat siapa-siapa. Nenek cuma lihat kamu sendirian di kamar."
Sepertinya Candra langsung pergi, baguslah jadi Neneknya pun tidak melihat. Kembali terbayang saat kejadian tadi saat pria itu datang, membuatnya dilanda panik sampai pingsan karena terlalu syok dan takut. Rania bahkan masih bisa merasakan tubuhnya gemetar.
"Kamu sakit ya?" tanya Neneknya, "Sudah minum obat belum?"
"Aku gak papa kok Nek."
"Tapi wajah kamu pucat banget, cuma emang gak panas."
"Aku mau mandi, terus makan malam," ucap Rania beralasan.
"Ya sudah, Nenek juga mau goreng ikannya dulu. Nenek tunggu di dapur ya."
"Hm."
Setiap melihat tubuh telanjangnya di cermin yang ada di kamar mandi, selalu membuat Rania mual sendiri. Ia bahkan masih mengingat sentuhan Candra saat pemerkosaan itu, pria itu menyentuh setiap inci kulitnya. Rania sampai meneteskan air mata, merasa malang sendiri.
"Rania, tadi Nenek ketemu Pak Rudi," ucap Ima.
"Apa dia bilang sesuatu?"
"Katanya kamu berhenti kerja di villa itu ya, kenapa? Padahalkan kamu baru kerja beberapa hari di sana."
Rania menggigit bibir bawahnya merasa gugup, "Aku gak betah kerja di sana," jawabnya pelan.
"Gak betah kenapa? Bukannya di sana enak ya, bisa tidur di tempat yang bagus dan nyaman."
Villa nya memang nyaman, tapi pemiliknya yang membuat Rania tidak nyaman. Hubungannya dengan Candra awalnya biasa saja, tapi saat kejadian malam itu membuatnya jadi takut sendiri. Membuat Rania memutuskan tidak kembali.
"Villa nya besar, aku merasa kewalahan kerja di sana," ucap Rania berbohong.
"Begitu ya, Nenek pikir kamu kenapa-napa. Ya sudah tidak apa, jangan terlalu dipaksakan juga kalau terlalu capek."
"Nanti aku akan cari kerja di tempat lain lagi."
"Terserah kamu mau kerja atau enggak."
"Enggak Nek, aku harus kerja."
Kalau saja Rania masih bekerja di Villa itu, gajinya yang besar mungkin bisa membuatnya menghidupi keluarga, jadi Neneknya pun tidak perlu bekerja. Tetapi sayangnya sekarang Ia sudah berhenti, bahkan baru bekerja di sana pun beberapa hari.
"Kamu gak mau coba cari kerja ke kota?" tanya Neneknya.
"Aku gak bisa tinggalin Nenek jauh-jauh."
Ima tersenyum tipis, "Kamu ini selalu saja memikirkan Nenek, memang cucu yang baik."
Setelah makan malam, Rania merenung duduk diam di halaman belakang. Ia ingin menghilangkan memori kelam itu, tapi tidak bisa dan malah terus terbayang. Rania berharap Candra itu tidak menemuinya lagi, karena Ia benar-benar ketakutan. Rania hanya takut kejadian kedua terulang.
"Sudah malam, ayo tidur. Jangan di luar, udaranya dingin," tegur Neneknya di ambang pintu.
Rania menoleh, "Iya Nek, sebentar lagi. Nenek tidur duluan saja."
"Kamu jangan tidur terlalu malam ya."
"Iya."
Hari berlalu dengan cepat, keadaan Rania pun sudah semakin membaik. Ia pun sudah mendapat pekerjaan di sebuah pabrik makanan ringan, membuatnya dapat mensibukan diri dan tidak terlalu larut dalam kesedihan itu. Dirinya yang beberapa hari lalu pemurung, perlahan senyumannya pun kembali.
Sore itu sepulang dari pabrik, Rania berencana mengunjungi kebun teh tempat dimana Neneknya bekerja. Ia juga menyapa warga lain yang akan pulang dari sana, semua terlihat ramah kepadanya. Rania lalu melambaikan tangan melihat Neneknya itu dari kejauhan, sambil memanggilnya dengan suara keras.
"Rania, kenapa kamu kesini?" tanya Neneknya.
"Hehehe main aja, sekalian jalan-jalan ke kebun teh."
"Begitu ya. Kamu sudah pulang kerja?"
"Sudah kok, Nenek juga sudah, kan?"
"Sudah, yuk kita pulang sekarang."
Rania lalu membawakan bingkisan yang dibawa Neneknya. Wanita paruh baya itu bilang jika makanan di sana adalah pemberian dari bosnya, katanya oleh-oleh dari kota sekalian upahnya yang sudah cair. Rania tentu ikut senang mendengar itu.
"Wah kue kering Nek, kelihatan enak," ucap Rania setelah melihat isinya.
"Iya, kita makan sama-sama aja."
"Baik banget bosnya Nek, apa semua pekerja dikasih?"
"Iya, semuanya."
"Royal juga bos Nenek itu."
"Memang, dia juga baik. Masih muda, tampan, sukses lagi."
"Oh ya?"
"Iya, tapi dia bukan orang sini, orang jauh."
Neneknya lalu akan mandi lebih dahulu, sedangkan Rania akan mencicipi makanan ringan itu dahulu. Ada tiga macam kue kering di sana, dan Ia memakannya lumayan banyak. Selain karena enak juga sedang lapar.
"Jangan terlalu banyak makan, kan belum makan malam," tegur Neneknya yang sudah kembali.
Rania terkekeh kecil, "Habisnya kuenya enak, kalau di desa jarang banget ada yang jual kue begini. Buat juga pasti susah."
"Nenek merasa kamu agak gemukan sekarang. "
"Masa sih?"
"Iya, kamu juga jadi sering makan, kan?"
"Iya, aku ngerasa mudah lapar sekarang. Mungkin karena capek kerja, jadi butuh isi tenaga lebih."
"Hahaha ada-ada saja kamu, tapi gak papa, yang penting sehat."
Neneknya lalu mengambil alih toples-toples kue itu, membuat Rania merengek karena masih ingin mencicipi nya. Tetapi Neneknya beralasan bukan pelit, hanya khawatir Ia terlalu kenyang lalu nanti tidak makan malam.
"Ya sudah, nanti besok Nenek minta tambahan kue deh buat kamu ke Pak bos."
"Emang gak papa?"
"Pak bos bilang gak papa, malahan dia yang bilang gitu."
"Asik, minta banyak ya Nek kalau bisa."
"Hahaha iya-iya, untung aja dia baik banget."
"Kalau boleh tahu, emangnya bos Nenek itu siapa?"
"Namanya Pak Candra, dia orang Jakarta."
Ukhuk!
Rania tersedak makannya sendiri mendengar itu, bahkan beberapa butiran kue yang sudah dikunyahnya sampai muncrat. Neneknya yang melihat Ia terbatuk-batuk segera memberikan segelas air.
"Ya ampun Rania, makannya pelan-pelan dong," ucapnya Neneknya.
Setelah menghabiskan segelas air itu, Rania mengatur nafasnya yang menburu, "Siapa namanya tadi?"
"Candra, dia Bos muda pemilik kebun teh tempat Nenek bekerja."
Tidak salah lagi, sepertinya Candra itu dengan orang yang memperkosanya adalah orang yang sama. Rania lalu melirik kue di meja, perlahan perutnya bergejolak merasakan mual.
"Jadi makanan itu juga dari dia?"
"Iya, dia yang ngasih. Kamu kenapa sih Rania?"
"Hweek."
Rania segera berlari menuju kamar mandi merasa akan muntah, tapi sayangnya tidak ada yang keluar, hanya air liur saja. Rasa mual itu malah semakin menjadi, membuat kepalanya pusing dengan tubuh yang tidak enak.