Felicia, seorang mahasiswi yang terjebak dalam hutang keluarganya, dipaksa bekerja untuk Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam, sebagai jaminan pembayaran utang. Seiring waktu, Felicia mulai melihat sisi manusiawi Pak Rangga, dan perasaan antara kebencian dan kasih sayang mulai tumbuh di dalam dirinya.
Terjebak dalam dilema moral, Felicia akhirnya memilih untuk menikah dengan Pak Rangga demi melindungi keluarganya. Pernikahan ini bukan hanya tentang menyelesaikan masalah utang, tetapi juga pengorbanan besar untuk kebebasan. Meskipun kehidupannya berubah, Felicia bertekad untuk mengungkapkan kejahatan Pak Rangga dan mencari kebebasan sejati, sambil membangun hubungan yang lebih baik dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Pengorbanan
Mentari pagi tak mampu menerangi kesedihan yang menyelimuti rumah sederhana Pak Budi. Suasana mencekam masih terasa, beban hutang yang tak terbayarkan kepada Rangga masih menghantui keluarga kecil itu. Pak Budi terlihat lesu, Ibu Ani terlihat pucat pasi, dan Lusi, dengan matanya yang sembab, mencoba untuk tetap tegar.
Beberapa hari telah berlalu sejak ultimatum Rangga. Pak Budi telah mencoba segala cara untuk melunasi hutangnya, namun semuanya sia-sia. Ia telah menjual beberapa asetnya, namun itu masih belum cukup untuk menutupi hutangnya yang membengkak. Ia merasa semakin terpojok dan tak berdaya.
Rangga, dengan sikapnya yang dingin dan tanpa ampun, menegaskan tuntutannya. Ia tidak mau tahu alasan Pak Budi. Ia hanya ingin uangnya kembali. Dan, jika Pak Budi tidak mampu membayar, ia akan mengambil tindakan lain. Tindakan itu, yang paling mengerikan, adalah mengambil Lusi sebagai jaminan.
Pak Budi telah menolak berkali-kali, mencoba untuk bernegosiasi, menawarkan berbagai solusi lain. Namun, Rangga tetap bersikeras. Ia mengatakan bahwa ia tidak tertarik dengan aset Pak Budi yang lain. Ia hanya menginginkan Lusi.
Suatu sore, Rangga datang ke rumah Pak Budi. Ia datang bersama beberapa orang suruhannya, wajah-wajah yang terlihat garang dan mengintimidasi. Suasana di rumah Pak Budi menjadi semakin tegang. Pak Budi berusaha untuk tetap tenang, namun ia merasa sangat takut.
"Pak Budi," kata Rangga, suaranya dingin dan tanpa ampun. Ia menatap Pak Budi dengan tatapan tajam. "Saya sudah memberikan Anda waktu yang cukup. Namun, Anda tidak mampu membayar hutang Anda. Oleh karena itu, saya akan mengambil tindakan lain."
Pak Budi mencoba untuk membantah, mencoba untuk bernegosiasi. Namun, Rangga tidak mau mendengarkan. Ia tetap bersikeras untuk mengambil Lusi sebagai jaminan.
"Saya tidak mau tahu alasan Anda, Pak Budi. Saya hanya ingin mengambil Lusi," kata Rangga, suaranya semakin dingin. Ia menunjuk Lusi, yang terlihat ketakutan.
Ibu Ani memeluk Lusi erat-erat, mencoba untuk melindunginya. Ia memohon kepada Rangga untuk tidak mengambil Lusi. Ia mengatakan bahwa Lusi adalah anak perempuannya satu-satunya, dan ia tidak akan membiarkan Rangga memisahkan mereka.
Namun, Rangga tidak terpengaruh oleh permohonan Ibu Ani. Ia tetap bersikeras. Ia mengatakan bahwa ia tidak peduli dengan perasaan Ibu Ani. Ia hanya ingin uangnya kembali.
Pak Budi, tak berdaya, akhirnya menyerah. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia tidak mampu melawan Rangga dan orang-orang suruhannya. Ia hanya bisa pasrah.
Dengan hati yang hancur, Pak Budi menyetujui permintaan Rangga. Ia membiarkan Rangga membawa Lusi pergi. Lusi menangis tersedu-sedu, memeluk ibunya erat-erat. Ibu Ani juga menangis, tak mampu menahan kesedihannya. Pak Budi hanya bisa menatap mereka dengan mata berkaca-kaca, merasa hancur dan bersalah.
Lusi dipaksa meninggalkan rumahnya, keluarganya, dan semua yang dikenalnya. Ia dibawa pergi oleh Rangga dan orang-orang suruhannya. Ia merasa sangat sedih dan putus asa. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Ia hanya bisa berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ia duduk di dalam mobil Rangga, menatap ke luar jendela, air mata terus mengalir di pipinya. Ia merasa sangat kesepian dan terisolasi. Ia merasa telah kehilangan segalanya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa pasrah pada takdir. Kegelapan malam semakin terasa mencekam, mencerminkan keputusasaan yang menyelimuti hatinya.