~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pindah Rumah
Semua orang yang ada di meja makan bersiap untuk mendengar apa yang ingin di katakan Fajar.
“Katakanlah”.
“Pa aku dan Jingga ingin tinggal mandiri di rumahku sendiri”.
Pak Angga menatap Fajar dan Jingga secara bergantian.
“Kenapa tidak di sini saja, kamu kan sering pulang malam kasian Jingga jika harus di rumah sendirian tidak ada temannya”.
“Tidak Pa, di sana banyak pelayan yang juga akan menemani Jingga jika aku sedang bekerja dan harus pulang larut malam”.
“Kenapa harus tiba-tiba seperti ini?”, kini Bu Nadin membuka suaranya.
“Aku dan Jingga ingin belajar mandiri, menjalani pernikahan hanya berdua saling mengenal satu sama lain”, jawabnya dengan begitu tenang dan santai satu kakinya bergerak menyenggol-nyenggol kaki Jingga yang ada di bawah meja makan seakan sebagai isyarat.
“Bukankah benar begitu Jingga?”, kini Fajar bertanya pada Jingga untuk membenarkan ucapannya.
"Oh iya MA Pa benar yang di katakan Mas Fajar kami ingin belajar untuk hidup mandiri”.
Pak Angga kembali menatap keduanya, mencoba mencari kebenaran di raut wajah mereka berdua. Ia menarik nafas dalam-dalam mencoba menimbang-nimbang permintaan putranya.
“Jika memang seperti itu keputusan kalian, baiklah Papa setuju”.
“Fajar ingat kamu harus menjaga Jingga dengan baik, perlakukan dia dengan baik karena Jingga adalah istrimu, jika tidak Papa tidak akan segan-segan untuk memberimu hukuman, ingat itu!’, ucap pak Angga sekaan memberikan ancaman pada putranya Fajar.
Bukan tanpa alasan, Sungguh Pak Angga masih belum sepenuhnya percaya dengan sikap Fajar dan melepas Jingga untuk tinggal dengannya.
Bu Nadin tak memberikan pendapatnya, sudut matanya sudah berembun akan melepas kepergian Fajar putra satu-satunya. Sebenarnya bu Nadin tak rela jika harus tinggal terpisah dengan anaknya, meski keduanya tidak terlalu dekat namun naluri seorang ibu ketika akan berpisah dengan anaknya pasti akan bersedih.
“Tenanglah Ma, aku dan Jingga akan sering berkunjung ke sini”.
“Jadi kapan kalian berdua akan pindah?”.
“Hari ini juga Ma, aku dan Jingga akan pindah ke rumah kami”.
Tak butuh waktu yang lama keduanya lekas bersiap untuk meninggalkan rumah utama, tak banyak barang yang di bawa Fajar mengingat di sana semuanya sudah tersedia dengan lengkap. Hanya Jingga saja yang membawa satu tas ransel tuanya.
***
Sepanjang perjalanan tak ada obrolan yang berarti di antara keduanya, Fajar yang fokus dengan mengendarai mobilnya, sementara Jingga menatap jalanan dari balik jendela kaca mobil.
Hening, benar-benar hening.
Perjalanan dari rumah orang tua Fajar menuju rumahnya cukup jauh kira-kira membutuhkan waktu dua jam perjalanan, ia sengaja mencari rumah yang lumayan jauh dari kediaman orang tuanya agar mereka tak sering berkunjung ke sana dan tentunya agar lebih bebas menjalankan apapun yang ia mau.
📞Berdering....
📞Berdering....
Suara panggilan masuk berasal dari vibrasi ponsel yang ada di saku celana Fajar. Tak butuh waktu yang lama ia menepikan mobilnya dan memanggil ulang nomor yang menghubunginya.
“Iya sayang aku sedang dalam perjalanan”.
“Iya tunggu sebentar lagi, aku sudah tidak tinggal di rumah Papa, aku akan tinggal di rumah ku sendiri”.
“Love you sayang”.
Tanpa rasa sungkan dan canggung Fajar menerima telfon dari wanita lain, dan dengan begitu jelasnya mendeklarasikan kata-kata sayang untuk kekasihnya itu, sedang di sampingnya ada istri yang halal untuknya.
Jingga diam saja seolah tak terjadi apa-apa, sebisa mungkin ia mencoba untuk terlihat tenang.
Fajar mengambil selembar kertas yang ada di kantongnya dan menyerahkan pada Jingga.
“Cepat turun cari alamat rumah itu sendiri, aku ada urusan”.
“Tapi tuan” ucap Jingga dengan terbata-bata”.
“Turun!”.
“Tuan saya.....”, Jingga belum menyelesaikan ucapannya.
“Aku bilang turun Upik abu!!!”, kini Fajar meninggikan suaranya dan dengan paksa mendorong tubuh Jingga untuk keluar dari mobilnya.
Benar saja Fajar melakukan hal itu karena Maura kekasihnya meminta untuk di jemput saat itu juga.
Rasa cinta yang besar pada Maura membuat Fajar rela melakukan apa saja, asalkan kekasihnya bahagia.
Jingga yang menerima perlakukan kasar dari suaminya lekas turun dari mobil dengan membawa tas ranselnya, ia berjalan tak tau arah ke mana, maklum Jingga anak rumahan. Meskipun usianya sudah dua puluh tahun tapi ia tak pernah keluar dari rumah selain ke pasar dan sekolah.
“Mutiara Tidar Blok A no 123”. Tangan Jingga gemetaran kala membaca alamat tersebut.
“Ini di mana?, aku sekarang di mana?”. ucapnya dalam hati dengan perlahan melangkahkan kakinya namun tak tahu arah tujuannya.
Kini ia menghampiri segerombolan orang yang sedang duduk di pinggir jalan bertanya di mana alamat itu.
“Ini masih sangat jauh mbak, kira-kira satu jam perjalanan naik bus, setelah itu naik ojek untu masuk wilayah perumahannya”.
“Trimakasih Pak”, jawabnya dengan membungkukkan badannya.
Dengan langkah yang gontai Jingga mengikuti arahan dari orang-orang yang memberi tahunya hanya saja ia tak naik bus melainkan jalan kaki.
Jingga kembali melangkahkan kakinya di bawah panasnya sang surya dan keringat yang mulai bercucuran di keningnya, rasanya begitu lelah sudah dari tadi berjalan tak kunjung menemukan titik terang.
Ia tertegun, bagaimana bisa Fajar meninggalkan ia sendirian di sini, sementara ia sama sekali tak membawa uang sepeserpun.
Sesekali sudut matanya berembun kala rasa lelah mendera ketika berjalan, kaki terasa begitu sakit tiada terkira sudah lebih dari sepuluh kilo Jingga berjalan kaki siang itu.
Jingga benar-benar merasa sendiri di dunia ini tanpa sanak saudara, tanpa ada yang peduli dengannya.
Aku benar-benar sebatang kara tak ada yang peduli denganku. Seandainya saja orang tuaku masih ada mungin saat ini juga aku akan berlari untuk memeluknya memohon pertolongan dan perlindungan dari mereka.
Jingga kemabli melanjutkan langkahnya dengan putus asa, pernikahan yang di kiranya akan memberikan kebahagian namun nyatanya kesakitan yang ia dapat.
Ia kembali menapaki jalan dengan sisa-sia tenaganya, hingga suara adzan pun terdengar olehnya.
Jingga menghentikan langkahnya, tepat berada di depan masjid besar yang tak jauh dari tempat ia berdiri saat ini.
Allah.
“Ya aku masih punya Allah”.
Jingga kembali menyebut nama Allah di tengah ke putus asanya mencari alamat yang di berikan Fajar padanya.
Jingga ingin menumpahkan segala rasa pada Sang Pencipta mengadu di atas sajadah. Langkahnya beralun menuju tempat suci itu.
Tubuhnya bergetar dan kakinya membeku teringat akan sebuah ayat yang selama ini menjadi penguat untuknya.
...Allah tidak membebani seorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari kebijakan yang di kerjakannya dan ia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Qs. Al Baqarah ayat 286)....
.
.
.
.
.
Jangan lupa like komen dan subscribe kakak 😊