Arvania tidak menyangka jika pernikahan yang ia impikan selama ini menjadi pernikahan yang penuh dengan air mata.
Siksaan demi siksaan ia terima dari suaminya. Namun bodohnya Vania yang selalu bertahan dengan pernikahan ini.
Hingga suatu hari Vania tidak mampu lagi untuk bertahan, ia memilih untuk pergi meninggalkan Gavin.
Lalu bagaimana dengan Gavin yang telah menyadari perasaan cintanya untuk Vania setelah kepergiannya?
Akankah Gavin menemukan Vania dan hidup bahagia?
Ataukah Gavin akan berakhir dengan penyesalannya?
Ikuti kisahnya di
Pada Akhirnya Aku Menyerah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon swetti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semakin Sayang Semakin Kejam
Tiga bulan telah berlalu, sikap Gavin semakin menjadi terhadap Vania. Seperti malam ini, hanya karena Vania tidak membawakan payung ke mobil Gavin, Gavin menyiksanya. Gavin marah karena ia harus kehujanan dari garasi ke rumahnya.
Ia mendorong tubuh Vania ke lantai lalu menarik rambutnya kasar. Ia juga tidak segan menampar Vania membuat Vania merasakan perih pada pipinya.
" Ampun Mas! Hiks... Maafkan aku! Aku tidak mendengar suara klakson mobilmu." Ucap Vania menunduk.
" Bagaimana kau tidak mendengarnya hah? Apa kau tuli?" Bentak Gavin.
" Maaf Mas." Ucap Vania.
" Aku memencet klakson hingga berkali kali, pada dasarnya saja kamu yang malas, apa kamu sudah tidak mau tinggal di sini? Kalau memang itu yang kamu mau, aku akan menceraikanmu dan mengembalikanmu ke orang tuamu yang sudah menjadi gelandangan." Teriak Gavin.
Deg...
" A... Apa?" Vania memberanikan diri menatap Gavin.
" Aku sudah membuat ibu dan ayahmu menjadi bangkrut, cafe dan rumahnya di sita oleh pihak Bank, saat ini mereka menjadi gelandangan di jalanan, apa kau ingin menambah beban mereka dengan perpisahanmu?" Vania menggelengkan kepala.
" Tidak Mas jangan lakukan itu! Tapi kenapa semua aset papa di sita Bank? Selama ini papa tidak punya hutang kan?kantor Tanya Vania heran.
" Mahar dua milyar yang aku berikan kepada ibumu, aku masukkan ke tagihan hutang kedua orang tuamu, dan selama tiga bulan ini mereka tidak mengangsurnya, mereka juga tidak sanggup membayar hutangnya jadi Bank terpaksa harus menyitanya." Ucapan Gavin membuat Vania semakin menderita.
" Bagaimana kejutan dariku? Menarik bukan?" Gavin tersenyum sinis.
" Kau benar benar di butakan oleh balas dendam Mas, bahkan aku dan papa yang tidak tahu apa apa menjadi sasaranmu, aku akan bertahan di sampingmu untuk mengurangi rasa sakitmu selama ini karena perbuatan ibu tiriku, walaupun kau membenciku tapi aku mencintaimu Mas, rasa cintaku inilah yang kelak akan menyadarkanmu, aku yakin suatu saat nanti kau bisa menyayangiku seperti kau menyayangi Sandia." Batin Vania.
" Lalu sekarang dimana orang tuaku Mas?" Tanya Vania.
" Aku tidak tahu, sekarang siapkan air hangat! Aku mau mandi! Kau tidak perlu tahu keadaan krang tuamu sekarang." Ucap Gavin.
" Baiklah Mas!" Sahut Vania.
Vania segera masuk ke kamar mandi menyiapkan air hangat untuk Gavin.
" Mas air hangatnya sudah siap." Ucap Vania.
Gavin masuk ke dalam kamar mandi, saat ia hendak masuk ke dalam bath up, ia tersenyum licik.
" Vania." Panggil Gavin.
" Iya Mas." Sahut Gavin.
" Coba kau masuk ke dalam bath up!" Titah Gavin.
" Memangnya kenapa Mas?" Vania menatap Gavin.
" Sudah masuk aja nggak usah banyak nanya!"
Byur...
Gavin mendorong Vania hingga terjebur ke dalam bath up.
Awh Mas, panas sekali!" Pekik Vania hendak beranjak namun Gavin menahan dadanya.
" Mas aku mohon biarkan aku bangun! Aku tidak kuat Mas! Airnya panas sekali hiks!" Lagi lagi Vania hanya bisa terisak.
" Teruslah menangis Vania, karena air matamu merupakan kebahagiaan untukku." Ucap Gavin tersenyum smirk.
" Mas ku mohon!" Vania menatap Gavin dengan tatapan sendu.
Entah kenapa melihat mata itu membuat Gavin merasa iba. Namun lagi lagi bayangan penderitaan ibunya terlintas di depan mata.
" Aku tidak akan melepaskanmu!" Bentak Gavin.
Gavin menarik Vania keluar dari bath up lalu ia mendorong kepala Vania masuk ke dalam bath up yang airnya cukup panas.
Vania terus menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, ia tidak mampu menahan panas pada wajahnya dan ia juga tidak bisa bernafas di dalam air.
" Ya Tuhan... Beri aku kekuatan!" Batin Vania.
Setelah puas menyiksa Vania, Gavin pergi meninggalkannya. Ia mandi di kamar tamu.
Gavin mengguyur tubuhnya di bawah shower.
" Kenapa jika aku melihat sorot matanya, aku menjadi tidak tega padanya, aku tidak boleh lemah! Aku tidak boleh merasa kasihan padanya, aku harus terus menyiksanya sampai dia menjadi gila... Tapi mata itu... Benar kata Sandia kalau sorot mata Vania mirip dengan sorot mata mama, sorot mata yang penuh dengan cinta, mama... Ya... Aku harus mengunjunginya besok." Monolog Gavin.
Selesai mandi Gavin kembali ke kamarnya. Ia melirik Vania yang sudah rapi di atas tempat tidur. Ia segera naik ke atas ranjang masuk ke alam mimpinya.
Sinar matahari masuk ke kamar Gavin melalui celah celah korden. Vania mengerjapkan matanya. Ia menoleh ke samping menatap Gavin yang masih memejamkan matanya.
Walaupun Gavin sering menyiksa Vania, tapi dia membiarkan Vania tidur satu ranjang dengannya, karena setiap malam Vania harus melayani hasra*tnya kecuali malam tadi.
" Aku yakin kalau sebenarnya kau orang yang baik Mas, hanya saja saat ini hatimu di butakan oleh dendam, aku bisa melihat rasa bersalahmu setelah menyiksaku melalui matamu, semoga kau bahagia." Batin Vania.
Vania turun dari ranjang menuju kamar mandi, ia segera mandi dan menyiapkan baju ganti untuk Gavin. Setelah itu Vania ke dapur untuk memasak makanan.
Sampai Vania selesai memasak, Gavin tidak kunjung ke bawah membuatnya heran.
" Kenapa Mas Gavin belum juga turun? Padahal biasanya dia sudah rapi, apa mungkin dia belum bangun ya? Astaga aku harus membangunkannya, atau dia akan marah lagi." Ujar Vania dalam hati.
Vania segera kembali ke kamarnya. Dan benar saja kalau Gavin belum bangun dari tidurnya. Ia menghampiri Gavin di ranjangnya.
" Mas bangun!" Ucap Vania.
Gavin tidak bergeming. Vania memberanikan diri untuk mengguncang bahunya.
" Mas bangun sudah siang!" Ucap Vania.
" Engh." Gavin hanya melenguh tanpa membuka matanya.
" Kenapa dengan Mas Gavin ya? Apa dia sakit?"
Vania menempelkan tangannya ke dahi Gavin.
" Astaga Mas Gavin demam, badannya panas sekali." Gumam Vania terkejut.
" Aku akan mengompresnya!" Vania kembali ke dapur untuk mengambil air hangat.
" Kak dimana Kak Gavin?" Tanya Sandia duduk di kursinya.
" Kau makanlah duluan Sandia! Kakakmu belum bangun, dia demam." Sahut Vania.
" Apa? Kak Gavin demam?" Pekik Sandia.
" Iya." sahut Vania.
Vania kembali ke kamarnya, sedangkan Sandia mengambil makanannya.
" Astaga aku lupa! Kak Gavin nggak suka di kompres pakai kain." Ucap Sandia.
Sandia segera berlari ke kamar Gavin, namun sepertinya dia terlambat.
" Apa yang kau lakukan hah?" Gavin membuang washlap yang ada di dahinya.
Ia menatap nyalang ke arah Vania.
" Kamu pikir aku anak kecil hah? Berani beraninya kau mengganggu tidurku."
Byurrr....
Gavin menyiram Vania dengan air kompresan.
Brak...
Gavin membuang baskom nya ke sembarang arah.
" Aku tidak suka kau menempelkan sesuatu di dahiku, apalagi kain sialan itu, ambilkan aku obat! Aku akan sembuh jika meminumnya." Ucap Gavin.
" Baik Mas, tapi aku ambilkan makanan dulu ya! Kau harus makan sebelum minum obat." Vania segera berlalu keluar.
Di depan kamar ia menghentikan langkahnya, ia menatap Sandia sambil mengusap air matanya .
" Kak."
Vania menuruni tangga menuju dapur tanpa mempedulikan Sandia. Sandia hanya bisa menghela nafasnya saja.
" Bagaimana aku bisa membantumu keluar dari sini kak, jika kau sendiri bersikeras untuk tetap bertahan di rumah ini, semoga Kak Gavin segera menyadari kesalahannya dan kalian bisa hidup bahagia tanpa adanya dendam melainkan cinta." Monolog Sandia meninggalkan kamar Gavin.
Vania kembali dengan membawa makanan dan segelas air putih untuk Gavin.
" Makan dulu Mas!" Vania memberikan nampannya kepada Gavin.
Dengan kesal Gavin menerimanya.
" Kau ganti bajulah! Aku tidak mau kau sakit dan menyusahkan aku nantinya." Ucap Gavin dingin.
" Iya Mas." Sahut Vania.
Vania mengambil baju ganti lalu menggantinya di kamar mandi.
Gavin mulai makan, ia mengerutkan keningnya saat merasakan masakan Vania.
" Kenapa rasanya seperti masakan mama ya? Selama ini aku sama sekali tidak pernah menyentuh masakannya, aku tidak menyangka dia bisa masak seenak ini." Gumam Gavin mengunyah makanannya.
" Ah aku tidak boleh terlena hanya karena masakannya, aku tetap harus membuatnya menderita di sini, aku akan lihat sampai kapan kau mampu bertahan hidup bersamaku Vania." Monolog Gavin tersenyum smirk.
Jangan lupa like koment vote dan 🌹nya buat author ya...
Terima kasih untuk readers yang selalu mensuport author semoga sehat selalu...
Miss U All...
TBC....
maaf aku skip aja soalnya menurutku balasan Vania ke gavin gak sebanding sama siksaan Gavin ke Vania soalnya Vania sudah sakit fisik dan mental kalau orang normal paling sudah gila berhubung ini novel ya maha ciptaan author
tapi q coba mau mampir cerita author yang lain
Semoga sukses trus buat author jangan liat yang comen yang buruk buruk" tetep semangat bikin cerita buat para penggemar authornya semangattt /Pray//Pray//Pray/