Arden membenci wanita gendut yang merupakan teman masa kecilnya. Permusuhan itu semakin menjadi ketika Kayla bertunangan dengan pria bernama Steve. Selain kebencian, ada yang aneh dari sikap Arden ketika bertatapan dengan Kayla. Hasrat untuk memiliki wanita itu timbul dalam benaknya.
Sekuel dari Istri Rasa Simpanan.
Follow IG : renitaria7796
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renita april, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bermain Bersama
Makan siang bersama selesai. Rencana mengenai hubungan kerja Kayla di perusahaan Arden juga sudah diputuskan. Kayla akan bekerja mulai hari esok atas rekomendasi dari Kevin.
Masalah keputusan sepihak itu tidak mendapat protes dari Arden selaku wakil dari sang ayah. Sebagaimanapun Kevin dan Elena membanggakan Kayla, Arden tetap membisu.
"Besok, kamu datang ke kantor. Lapor dulu pada bagian personalia. Dia akan menunjukkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasimu," kata Kevin.
Kayla tersenyum. "Terima kasih, Om."
"Jangan sungkan. Kamu sudah Om anggap anak sendiri," sahut Kevin seraya tertawa yang diikuti oleh Dean serta Elena.
Aretha dan Davin cuma tersenyum, sedangkan Arden tidak menunjukkan raut wajah apa pun. Sedari tadi hanya diam saja. Jika menyangkut Kayla, Arden akan bersuara yang paling pertama. Kayla juga merasa aneh. Pagi tadi, Arden protes, lalu siang ini bersikap tidak biasa.
"Kamu setuju, Arden?" tanya Kevin.
Arden mengangkat bahu. "Terserah Papa. Kan, itu perusahaan Papa."
"Dia mulai lagi," kata Elena.
"Arden protes salah, diam juga sama. Mama dan Papa maunya apa, sih?" Arden beranjak dari duduknya kemudian melangkah pergi.
"Arden!" seru Kevin.
Arden memutar diri menghadap Kevin. "Apalagi?"
"Di sini ada Om Dean."
"Maaf, Om Dean. Arden naik ke kamar."
"Kamu!" bentak Kevin.
"Sudahlah, Kev. Biarkan Arden," kata Dean.
Bahu Kevin merosot pasrah, ia melambaikan tangan agar Arden lekas menghilang dari hadapannya. Aretha ingin menyusul, tetapi Davin mencegahnya.
"Biarkan saja, Are. Dia perlu sendiri," sahut Davin.
"Anak itu salah paham lagi," kata Elena.
"Arden bilang dia sudah punya pacar," cetus Davin.
Kevin dan Elena menoleh pada menantunya. Termasuk Dean dan Aretha. Sementara Kayla sedikit kaget. Setahunya Arden tidak tertarik memiliki hubungan serius terhadap lawan jenis.
"Yang benar, Sayang?" tanya Elena.
Davin mengangguk. "Iya, Ma. Tadi dia bilang sendiri."
"Syukurlah. Sudah waktunya anak itu menikah," sahut Kevin.
"Kenapa dia tidak membawa pacarnya kemari?" tanya Aretha.
"Nanti ada saatnya, Sayang. Aku rasa Arden akan memperkenalkan kepada keluarga saat ia yakin dengan gadis itu," ucap Davin.
"Kita doakan saja agar Arden segera melepas masa lajangnya," sahut Dean.
"Bagaimana menurutmu, Kay?" tanya Aretha.
Kayla tersentak. "Apa?"
"Arden dan kekasihnya."
Kayla mengedik. "Entahlah. Semoga dia cepat menyusul. Tapi, bukannya Arden akan ke Amerika?"
"Beberapa bulan lagi," jawab Kevin, lalu melanjutkan perkataannya, "Arden harus menyelesaikan urusannya di sini dulu."
...****************...
Arden mendapat balasan pesan dari Lauren kalau wanita itu bersedia menemani dirinya untuk bersenang-senang nanti malam. Arden juga sudah izin kepada Elena dan Kevin jika dirinya akan melewatkan makan malam bersama.
Sebagai orang tua, Kevin dan Elena mengizinkan putranya. Arden sudah sangat dewasa, tahu membedakan yang mana kebaikan dan keburukan untuk diri sendiri, tetapi tetap saja, baik Kevin serta Elena selalu memberi petuah yang membuat telinga Arden panas mendengarnya.
Pukul tujuh malam, Arden sudah pergi ke apartemennya sendiri. Berdiam di sana sembari mengumpat Kayla tidak akan membuat ia dimarahi oleh Elena maupun Kevin.
"Lihat, Kay. Aku sama sekali tidak peduli padamu. Kamu sendiri yang memutuskan hubungan kita," ucap Arden sembari mengusap foto masa kecil mereka.
Pukul sembilan malam, Arden datang menjemput Lauren. Ia bersiul melihat penampilan seksi wanita itu. Andalan Lauren adalah bralette yang dibalut dengan blazer, dipadukan dengan celana berbahan karet mengkilap warna hitam.
Lauren langsung memberi kecupan di bibir sebagai tanda pertemuan, dan pria itu segera membuka pintu mobil, menyilakan sang wanita masuk ke dalam. Setelah itu ia menyusul.
"Apa kita langsung saja?" tanya Arden.
"Aku akan ikut ke mana pun kamu membawaku."
Arden tertawa. "Kita langsung ke kelab. Kebetulan temanku datang dari Amerika. Aku akan memperkenalkannya kepadamu."
"Apa dia tampan?" tanya Lauren.
"Pastinya, tetapi malam ini kamu bersamaku. Jangan meniduri pria yang baru kamu temui."
Lauren memeluk Arden. "Tentu, Sayang."
Mobil melaju menuju kelab malam yang semalam Arden kunjungi. Sahabat Arden bernama Miles telah datang ke Indonesia untuk liburan, dan ini saatnya untuk bersenang-senang bersama.
Baru sampai di parkiran kelab, kepala Lauren sudah goyang-goyang. Arden menariknya, mengecup bibir Lauren dengan rakus. Keduanya menghabiskan waktu di dalam mobil selama lima belas menit hanya untuk saling membelit.
"Kita perlu minum," kata Arden.
"Aku membiarkan blazer-ku di dalam mobil," kata Lauren.
"Oke," jawab Arden.
Keduanya turun dari dalam mobil. Arden merangkul pinggang Lauren dan bersama-sama masuk ke dalam kelab yang telah bising dengan suara musik.
"Di mana temanmu?" teriak Lauren. Suara bising musik memungkinkan Lauren bicara dengan sedikit keras kepada Arden. "Apa belum datang?"
"Sebentar, aku telepon dia."
Arden mengecek ponsel dan menemukan pesan dari Miles. Sahabatnya itu sudah berada di kelab yang mereka janjikan. Arden mencari-cari keberadaan temannya itu, dan bola matanya terhenti di sebuah meja dengan kerumunan wanita.
"Dia sudah datang. Ayo ke sana," ajak Arden.
Dugaan Arden memang benar. Miles berada di tengah kerumunan para gadis. "Kamu baru datang sudah dikerumuni banyak wanita."
Miles beranjak dari duduknya, memeluk Arden dengan erat. "Apa kabarmu? Aku sengaja datang karena merindukanmu."
Arden mengedik. "Baik, beberapa bulan aku akan pulang."
Miles melirik Lauren. "Wanitamu?"
"Lauren," jawab Arden.
Miles dan Lauren saling berkenalan. Arden duduk, dan Lauren tidak mengizinkan wanita lain mendekat pada prianya. Ia langsung duduk di pangkuan Arden.
"Berapa lama kamu liburan?" tanya Arden.
"Sebenarnya bukan liburan juga. Ada bisnis di sini," jawab Miles. "Aku menunggu seorang teman. Mungkin sebentar lagi akan datang."
"Siapa?" tanya Arden.
"Cuma kenalan di MMS Corp."
Arden mengangguk. "Aku traktir kamu minum sebagai tanda pertemuan dan persahabatan kita."
"Dengan senang hati. Sayang sekali Davin tidak ada di sini."
"Jangan menganggunya. Kakak iparku akan punya anak lagi," kata Arden.
"Tidak akan," jawab Miles.
Selagi menunggu teman Miles yang akan datang, Arden bercengkerama bersama Lauren. Begitu juga sang sahabat yang tidak mau kalah sama sekali.
Arden menekan-nekan kedua bagian indah Lauren, bibirnya menjelajah ke tulang selangka wanita itu.
"Hai!" tegur seorang pria.
Miles menoleh pada sosok pria yang ia kenali. "Hai!" Miles beranjak dari duduknya, memeluk laki-laki itu seperti yang ia lakukan kepada Arden tadi. "Maaf, aku sedikit sibuk."
"Tidak masalah."
"Duduklah," Miles menyilakan.
Arden masih tidak menyadari kedatangan dari teman Miles, ia sibuk memberi Lauren kenikmatan.
"Hei! Hentikan dulu aktivitasmu itu. Temanku datang," kata Miles sembari melempari Arden dengan kacang kulit.
Arden mengangkat wajahnya, menatap Miles dan pria itu memperkenalkannya kepada lelaki yang baru saja datang.
Arden memandang pria itu. "Steve!"
Bersambung