mengikuti perjalanan Kaelan, seorang remaja yang terjebak dalam rutinitas membosankan kehidupan sehari-hari. Dikelilingi oleh teman-teman yang tidak memahami hasratnya akan petualangan, Kaelan merasa hampa dan terasing. Dia menghabiskan waktu membayangkan dunia yang penuh dengan tantangan dan kekacauan dunia di mana dia bisa menjadi sosok yang lebih dari sekadar remaja biasa.
Kehidupan Kaelan berakhir tragis setelah tersambar petir misterius saat dia mencoba menyelamatkan seseorang. Namun, kematiannya justru membawanya ke dalam tubuh baru yang memiliki kekuatan luar biasa. Kini, dia terbangun di dunia yang gelap dan misterius, dipenuhi makhluk aneh dan kekuatan yang tak terbayangkan.
Diberkahi dengan kemampuan mengendalikan petir dan regenerasi yang luar biasa, Kaelan menemukan dirinya terjebak dalam konflik antara kebaikan dan kejahatan, bertempur melawan makhluk-makhluk menakutkan dari dimensi lain. Setiap pertarungan mempertemukan dirinya dengan tantangan yang mengerikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raven Blackwood, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemegahan Ibukota Arcaellia
Setelah berhari-hari perjalanan bersama rombongan petualang itu, akhirnya ibu kota mulai tampak di kejauhan. Dari balik kabut tipis dan pepohonan yang semakin jarang, bangunan-bangunan besar dengan dinding kokoh mulai terlihat. Benteng tinggi mengelilingi seluruh kota, tampak menjulang dengan megah seolah menjadi penjaga abadi yang menghalangi segala bahaya dari luar. Aku berdiri sejenak di puncak bukit kecil yang kami lalui, menatap ibu kota dengan pandangan penuh antisipasi.
Ibu kota Arcaellia, tempat di mana kekuatan, intrik, dan ambisi bertemu. Aku pernah mendengar cerita tentang kota ini dari Takashi saat masa pelatihan, namun sekarang, melihatnya secara langsung, aku menyadari bahwa ceritanya hanya sepenggal dari kemegahan yang sebenarnya.
Kami mendekati gerbang utama, di mana antrian panjang orang-orang, pedagang, dan petualang berbaris untuk memasuki kota. Gerbang itu sendiri sangat besar, dibuat dari kayu ek yang tebal, dilengkapi dengan ukiran-ukiran rumit yang menggambarkan sejarah panjang kerajaan. Setiap ukiran seolah menjadi pengingat bagaimana kota ini bertahan dari serangan demi serangan, dari perang hingga bencana.
Di depan gerbang, beberapa penjaga berseragam berdiri tegap. Mereka memeriksa satu per satu identitas orang yang hendak masuk. Setiap orang diminta menunjukkan kartu identitas atau sertifikat asal mereka sebelum diizinkan melangkah lebih jauh. Sementara itu, beberapa penjaga lain berjaga di menara pengawas di atas gerbang, matanya tajam mengamati setiap gerakan.
“Ayo kita masuk,” ujar salah satu dari petualang rombongan kami.
Aku melangkah mendekat, mengikuti arus orang yang berbaris. Saat tiba giliranku, seorang penjaga muda yang tampak sigap menghentikanku dengan tatapan penuh kecurigaan. Dia memandangku dari atas sampai bawah, kemudian bersuara dengan nada tegas.
“Identitasmu?” tanyanya sambil mengulurkan tangan. “Tanpa kartu identitas, tidak ada yang diizinkan masuk.”
Aku menatapnya sesaat sebelum menjawab, “Aku seorang pengembara. Kartu identitasku hilang dalam perjalanan.”
Penjaga itu menatapku lekat-lekat, mencoba mencari tahu apakah aku berbohong atau tidak. Aku tahu, dengan penampilanku yang mungkin sedikit berantakan setelah perjalanan panjang, mereka bisa saja mencurigai niatku. Setelah beberapa detik yang terasa lebih panjang dari seharusnya, dia berbicara lagi.
“Kalau kau tak punya kartu identitas, kau harus membayar uang tebusan untuk masuk,” katanya tegas, sambil menunjuk papan di sebelahnya yang menjelaskan aturan tersebut.
Aku ingat kembali apa yang Takashi pernah ajarkan kepadaku tentang sistem uang di dunia ini. Mata uang di kerajaan ini terdiri dari koin tembaga, perak, dan emas, dengan nilai yang bervariasi. Koin tembaga adalah yang paling umum digunakan untuk transaksi kecil, seperti membeli makanan atau barang kebutuhan sehari-hari. Koin perak digunakan untuk pembayaran yang lebih besar seperti menyewa kamar penginapan, sedangkan koin emas jarang digunakan oleh rakyat biasa karena nilainya yang sangat tinggi biasanya dipakai oleh bangsawan atau pedagang kaya.
“Kau harus membayar sepuluh koin perak,” lanjut penjaga itu, suaranya datar tapi penuh otoritas.
Aku mengangguk dan merogoh kantong di pinggangku, berpura-pura mengambil uang dari situ, padahal yang kulakukan adalah menarik koin perak dari penyimpanan bayangan. Di dalam penyimpanan ini tersimpan begitu banyak harta yang aku sendiri belum bisa mengukur nilainya. Ada emas, barang berharga, dan koin yang bisa digunakan di mana saja. Takashi pernah berkata bahwa harta dalam penyimpanan itu begitu banyak sehingga aku bisa hidup mewah seumur hidup jika menginginkannya. Namun, aku tak pernah benar-benar memperhitungkan seberapa besar nilainya bagi diriku, yang lebih berharga adalah kekuatan dan kebebasan, bukan harta benda.
Aku menyerahkan sepuluh koin perak kepada penjaga, yang menerimanya dengan anggukan singkat. “Silakan masuk,” ujarnya, sambil memberi isyarat pada pintu gerbang besar di belakangnya.
Aku melangkah masuk ke ibu kota, dan seketika itu pula pemandangan yang lebih hidup dan dinamis terbentang di depanku. Jalanan berbatu di depan mataku dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk, pedagang yang menawarkan barang dagangan mereka, anak-anak berlari di antara kerumunan, serta beberapa pengamen yang memainkan alat musik sederhana. Suara hiruk pikuk kota ini menciptakan suasana yang benar-benar berbeda dari desa-desa kecil yang telah kulalui sebelumnya.
Aku terpesona sejenak, mengamati kehidupan di dalam kota ini. Setiap sudutnya dipenuhi aktivitas, mulai dari pasar yang ramai hingga rumah-rumah yang berderet rapi di sepanjang jalan. Di kejauhan, aku bisa melihat menara-menara tinggi yang menjulang, seolah menandai tempat penting di dalam kota. Istana kerajaan yang tampak seperti titik pusat dari semua ini berdiri megah di atas bukit kecil, dikelilingi oleh dinding-dinding tinggi dan benteng yang tampak lebih kokoh dari apa pun yang pernah kulihat.
Setelah berjalan sejenak menyusuri jalan utama, pikiranku mulai fokus pada tujuan berikutnya: menemukan tempat untuk beristirahat. Hotel atau penginapan adalah tempat pertama yang harus kucari sebelum mulai menjelajahi kota lebih jauh.
Aku berbelok di salah satu sudut jalan dan menemukan sebuah penginapan dengan papan kayu yang menggantung di depan pintunya, bertuliskan: “Penginapan Bintang Tiga”. Bangunan itu tampak sederhana tapi bersih, dengan dinding dari batu abu-abu dan jendela-jendela kecil yang terlihat hangat dari luar.
Aku melangkah masuk, disambut oleh aroma kayu bakar dan suara riuh rendah dari para tamu di lobi. Seorang wanita setengah baya yang tampak ramah berdiri di belakang meja resepsionis, tersenyum saat aku mendekat.
“Selamat datang! Ingin memesan kamar?” tanyanya ramah.
Aku mengangguk. “Ya, berapa biayanya?”
“Lima koin perak per malam, termasuk sarapan,” jawabnya.
Aku kembali berpura-pura merogoh kantong, padahal sekali lagi, aku mengambil beberapa koin perak dari penyimpanan bayangan. Menyerahkan lima koin itu, aku mendapatkan kunci kamar dari wanita tersebut.
“Terima kasih. Nikmati istirahatmu, ya!” katanya dengan senyum tulus sebelum aku melangkah menaiki tangga menuju kamarku.
Kamar di lantai atas itu sederhana namun nyaman. Sebuah tempat tidur kayu dengan kasur empuk terletak di pojok ruangan, disertai dengan jendela kecil yang menghadap ke jalan utama. Aku membuka jendela tersebut dan membiarkan angin dingin musim gugur masuk, menyejukkan ruangan yang agak hangat.
Setelah meletakkan barang-barangku di meja kecil di sudut ruangan, aku duduk di tempat tidur, membiarkan tubuhku beristirahat sejenak. Mataku tertuju pada pedang yang kubawa pedang pemberian Takashi yang terbungkus dengan rapi. Meski sederhana, pedang itu memiliki arti yang dalam bagiku. Setiap goresan di gagangnya seolah menceritakan kisah-kisah yang telah kulalui bersama Takashi.
Namun kini, perjalanan baruku baru dimulai. Ibu kota Arcaellia bukan hanya pusat dari kerajaan ini, tetapi juga tempat di mana orang-orang terkuat dari seluruh dunia datang dan bersaing. Dan entah bagaimana, takdir telah membawaku ke sini, di tengah rencana besar yang mungkin belum sepenuhnya kumengerti.
Sementara itu, aku masih mengingat percakapan para petualang di perjalanan tentang Turnamen Kualifikasi turnamen yang hanya diadakan setiap tiga tahun sekali untuk menentukan siapa yang layak masuk dalam jajaran 100 orang terkuat di dunia. Para petualang itu bercerita bahwa setiap kali ada tempat yang kosong di jajaran itu, maka akan dibuka kesempatan bagi petarung-petarung baru untuk mendapatkan token peringkat.
“Ada lima token yang diperebutkan tahun ini,” salah satu petualang berkata.
Itu berarti ada lima orang yang kehilangan posisinya di daftar tersebut, entah karena mereka mati, pensiun, atau menghilang. Dan turnamen ini adalah cara untuk mengisi kekosongan itu, kesempatan bagi mereka yang ingin memulai dari bawah dan menantang orang-orang terkuat.
Setiap detail dari percakapan itu masih terngiang di kepalaku. Aku tahu, turnamen ini bisa menjadi peluang bagiku untuk membuktikan kekuatanku, untuk membuat namaku dikenal di seluruh penjuru dunia. Namun, sebelum itu, aku harus bersiap-siap.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, membiarkan kelelahan menenggelamkanku
Pagi itu, aku membuka mata dengan sedikit rasa kantuk yang masih tersisa. Suara hiruk-pikuk ibu kota mulai terdengar dari luar jendela. Keramaian yang sama seperti kemarin malam, namun kali ini lebih ramai dan penuh semangat. Aku bangkit dari kasur dan menghela napas panjang, mempersiapkan diri untuk menghadapi hari baru.
Setelah merapikan diri, aku turun ke lobi penginapan untuk mencari sarapan. Makanan sederhana sudah disiapkan roti panggang dan semangkuk sup hangat. Penginapan ini memang bukan yang terbaik, tapi sudah cukup nyaman untuk seorang pengembara seperti diriku. Aku mengambil tempat di sudut ruangan, memperhatikan sekeliling sambil menikmati sarapan.
Orang-orang di sekitarku sibuk berbincang. Kebanyakan dari mereka adalah petualang, beberapa lainnya adalah pedagang. Namun, satu topik yang sering muncul dari percakapan mereka adalah turnamen yang akan segera diadakan. Turnamen itu akan menjadi pusat perhatian bagi semua orang di ibu kota. Hanya mereka yang memiliki ambisi besar atau rasa penasaran yang mendalam yang rela datang jauh-jauh untuk menyaksikan atau bahkan berpartisipasi.
“Apa kau dengar? Darius ‘The Stormbreaker’ akan ikut bertarung di turnamen kali ini,” kata seorang pria bertubuh kekar di meja sebelah. Matanya berbinar penuh antusiasme saat menyebut nama itu.
“Benarkah?” temannya yang duduk di seberangnya terlihat tak kalah terkejut. “Darius? Aku pikir dia sudah pensiun setelah pertarungan terakhirnya tiga tahun lalu.”
“Dia belum menyerah rupanya. Orang seperti Darius tidak akan pernah mundur dari kesempatan untuk mendapatkan lebih banyak kejayaan.”
Aku diam-diam mendengarkan percakapan mereka. Darius ‘The Stormbreaker’, nama yang tidak asing lagi di dunia petualang dan prajurit. Dia dikenal sebagai salah satu petarung terkuat yang pernah ada, dan keterampilannya dalam mengendalikan badai serta petir adalah legenda. Mengingat kemampuanku yang juga berkaitan dengan petir, ada sedikit rasa penasaran yang muncul. Apakah Darius memiliki kemampuan yang mirip denganku? Dan jika iya, apakah aku bisa mengalahkannya?
Pertanyaan itu menggantung di benakku, namun aku segera menepisnya. Masih terlalu dini untuk membuat perbandingan. Bagaimanapun juga, aku belum pernah bertemu langsung dengannya, dan segala sesuatu tentang kekuatannya mungkin saja hanya rumor yang dibesar-besarkan.
Namun, jelas bahwa turnamen ini akan menjadi medan pertarungan bagi para petarung terbaik. Jika aku ingin berpartisipasi dan membuat namaku dikenal, aku harus bersiap sebaik mungkin. Tidak hanya sekadar bertarung, tapi juga memahami kekuatan lawan dan menemukan kelemahan mereka.
Setelah menyelesaikan sarapan, aku berdiri dan keluar dari penginapan, berjalan menuju pasar utama kota. Pikiranku masih tertuju pada turnamen, namun kali ini aku lebih fokus untuk mengenal lebih jauh tentang ibu kota ini.
Jalanan mulai dipenuhi oleh berbagai macam orang petualang, pedagang, hingga penduduk setempat yang sibuk dengan aktivitas harian mereka. Suasana kota begitu hidup, dengan suara riuh rendah yang saling tumpang tindih. Ada berbagai kios yang menjual segala macam barang, dari persenjataan hingga ramuan penyembuh.
Aku berhenti sejenak di depan salah satu kios ramuan, tapi kemudian tertawa kecil dalam hati. Untuk apa aku membeli ramuan penyembuhan? Dengan kemampuan regenerasi super yang kumiliki, luka-luka kecil dan besar akan sembuh dengan sendirinya dalam hitungan detik. Aku tidak butuh ramuan semacam itu, namun tanpa disadari, insting petualang lamaku hampir membuatku membeli sesuatu yang sama sekali tak berguna bagiku sekarang.
Aku menarik napas dalam, mengingatkan diri bahwa meskipun peran ramuan sudah tidak lagi relevan untukku, ada banyak hal lain yang masih harus kupelajari tentang dunia ini. Kehidupanku telah berubah drastis sejak aku mendapatkan kekuatan super ini, tapi aku harus tetap menjaga kesadaran diri. Mungkin yang paling sulit dari semuanya adalah tidak lupa bahwa meskipun aku bisa sembuh dari luka-luka, itu tidak membuatku kebal terhadap kematian. Pertarungan di turnamen nanti akan membuktikan seberapa jauh kekuatanku bisa bertahan.
Aku melanjutkan langkahku, menelusuri pasar yang ramai. Meskipun ibu kota ini penuh dengan orang-orang, sistem di dalamnya tetap teratur. Ada jalan-jalan utama yang menghubungkan pasar dengan distrik-distrik penting lainnya, seperti Distrik Prajurit, tempat para petarung dan petualang sering berkumpul untuk berlatih atau mencari pekerjaan. Di sisi lain, Distrik Bangsawan adalah rumah bagi keluarga-keluarga terhormat yang memiliki kekayaan dan pengaruh besar di kerajaan ini.
Matahari mulai naik, menyinari seluruh kota dan memancarkan kehangatan. Bangunan-bangunan di ibu kota terlihat kokoh, terbuat dari batu yang dipahat dengan indah. Istana kerajaan bisa terlihat dari hampir setiap sudut kota, berdiri megah dengan menara yang menjulang tinggi ke langit. Kesan pertama yang kurasakan adalah bahwa ibu kota ini benar-benar pusat peradaban di dunia ini tempat di mana kekuatan, kekayaan, dan pengetahuan berkumpul.
Namun, meskipun aku mulai menikmati penjelajahan ini, aku masih perlu memastikan bahwa aku punya tempat untuk menginap malam ini. Meski penginapan di mana aku bermalam cukup nyaman, aku ingin mencari tempat yang lebih baik, mungkin dengan fasilitas yang lebih lengkap. Menyusuri jalan-jalan yang lebih besar, aku bertemu dengan penjaga pintu gerbang dari sebuah penginapan mewah.
Setelah menanyakan tarifnya, aku menyadari bahwa biayanya tidak murah. Namun, aku tidak khawatir. Aku merogoh kantongku seolah-olah sedang mencari uang, padahal sebenarnya aku menarik emas dari penyimpanan bayangan yang kumiliki. Ini adalah salah satu kemampuan paling berguna yang pernah kudapatkan dari petualangan masa lalu. Dengan penyimpanan bayangan, aku bisa menyimpan harta benda dalam jumlah tak terbatas tanpa harus membawa beban fisik apa pun.
Penjaga itu menerima koin emas tanpa banyak bicara dan mengantarku ke dalam. Penginapan ini benar-benar mewah. Interiornya dihiasi dengan ukiran-ukiran artistik dan lampu kristal yang berkilauan. Aku disambut oleh pelayan yang dengan cepat membawakan kunci kamarku.
Sesampainya di kamar, aku membiarkan diriku terjatuh di atas tempat tidur yang empuk. Pemandangan dari jendela kamarku menghadap langsung ke pasar yang masih sibuk meskipun hari sudah mulai sore. Begitu banyak aktivitas di kota ini, dan begitu banyak rahasia yang belum terungkap.
Satu hal yang pasti, aku harus tetap waspada. Turnamen ini mungkin akan menjadi titik balik dalam hidupku, dan aku tidak tahu siapa saja yang akan kuhadapi. Tapi untuk saat ini, aku akan menikmati sedikit ketenangan sebelum badai besar datang.
Di luar, suara langkah kaki orang-orang dan hiruk pikuk pasar semakin mereda saat malam tiba. Aku menutup mata, membiarkan tubuhku beristirahat. Aku siap untuk apa pun yang akan datang esok hari.
coba cari novel lain trus cek buat nambah referensi 🙏