🏆 Juara 3 YAAW 2024 Periode 2🏆
"Permisi Mas, kalau lagi nggak sibuk, mau jadi pacarku?"
———
Daliya Chandana sudah lama memendam rasa pada sahabatnya, Kevin, selama sepuluh tahun. Sayangnya, Kevin tak menyadari itu dan malah berpacaran dengan Silvi, teman semasa kuliah yang juga musuh bebuyutan Daliya. Silvi yang tidak menyukai kedekatan Daliya dengan Kevin mengajaknya taruhan. Jika Daliya bisa membawa pacarnya saat reuni, ia akan mencium kaki Daliya. Sementara kalau tidak bisa, Daliya harus jadian dengan Rio, mantan pacar Silvi yang masih mengejarnya sampai sekarang. Daliya yang merasa harga dirinya tertantang akhirnya setuju, dan secara random meminta seorang laki-laki tampan menjadi pacarnya. Tak disangka, lelaki yang ia pilih ternyata seorang Direktur baru di perusahaan tempatnya bekerja, Narendra Admaja. Bagaimana kelanjutan kisah mereka?Akankah Daliya berhasil memenangkan taruhan dengan Silvi? Atau malah terjebak dalam cinta segitiga yang lebih rumit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Sebab-Akibat
Ren menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang kost. Sampai beberapa menit, mereka terdiam cukup lama di dalam mobil. Daliya melirik Ren yang duduk di sebelahnya dengan gelisah. Kenapa lelaki ini sedari tadi diam saja?
Menyadari tak ada pergerakan di antara mereka, Daliya berinisiatif untuk melepas seatbelt dan menoleh ke arah Ren.
"Terimakasih karena sudah mengantarkan aku pulang. Berkat kamu, hari ini aku bersenang-senang," Daliya berkata sambil tersipu malu. Bayangan saat dirinya dan Ren hampir berciuman membuatnya pipinya merona.
Berbeda dengan Daliya, Ren masih setia menatap jalanan di depannya. Ia bahkan tidak menoleh sama sekali saat menjawab ucapan gadis itu.
"Hm," Begitu saja balasannya.
Daliya mengernyitkan dahi. 'Hm'? Kenapa jawabannya hanya seperti itu?
Tak ambil pusing, Daliya lantas beranjak keluar dari mobil. Suatu hal yang aneh karena biasanya Ren akan membukakan pintu untuknya, tapi kali ini lelaki itu masih tetap berdiam diri di tempat.
Baiklah, mungkin saja dia capek, Daliya menghibur diri. Ia pun berjalan melewati bagian depan mobil. Awalnya, Daliya berniat untuk mengetuk kaca tempat Ren berada, dan mengucapkan terimakasih lagi. Tapi, belum sampai niatnya itu terlaksana, Ren sudah menancap gas mobilnya dan pergi dari sana.
"Hah?" Daliya terbengong-bengong. "Apa-apaan ini?"
Sampai di kamar, Daliya masih terus kepikiran tentang perubahan sikap Ren yang terasa janggal. Terakhir kali, Ren bersikap seperti itu karena Daliya melakukan kesalahan. Jadi, pertanyaannya sekarang, kesalahan apalagi yang sudah dirinya perbuat? Rasa-rasanya semua masih baik-baik saja sampai dirinya dan Ren tadi hampir berciuman.
"Tunggu," Daliya sontak bangkit dari kasur. "Apa jangan-jangan mulutku bau?"
Daliya mengangkat telapak tangannya setinggi mulut dan membiarkan napasnya tertinggal di sana, lalu ia hirup baunya dengan hidung. Ia lakukan hal itu berulang kali untuk memastikan penciumannya tidak salah.
"Nggak kok," Daliya merasa yakin. "Jadi, dimana salahnya?"
Jawabannya, tidak ada yang salah dengan diri Daliya. Justru, yang bermasalah saat ini adalah Ren. Setelah lelaki itu meninggalkan Daliya di depan gerbang kost, ia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan tak jauh dari sana. Wajahnya tegang dan gelisah, karena semenjak tadi ia sibuk menahan sesuatu yang mendesak-desak di balik celananya.
"Oh My God," Ren mendesis sambil menyandarkan kepalanya pada kursi mobil. "Apa sekarang aku sudah mulai tidak waras?"
Ren meremmas rambutnya dengan frustasi. Ada alasan kenapa sedari tadi dirinya tak menatap Daliya. Lebih tepatnya, ia tak berani. Ren takut jika menatap gadis itu, maka insting predatornya akan kembali muncul. Tadi saja Ren sudah hampir kelepasan mencium Daliya. Jika saja Ren tidak segera bertindak, bisa-bisa terjadi sesuatu yang lebih besar.
"Apa Daliya akan membenciku?" Ren mulai kepikiran. "Pasti sekarang dia menganggap ku seorang ba*jingan," keluhnya lagi. Sembari menghela napas berat, Ren kembali menghidupkan mesin mobilnya dan membelah jalanan ibukota di malam hari. Sepulang dari sini, ia harus segera mandi untuk membersihkan otaknya.
...----------------...
Daliya menatap ponselnya dengan lesu. Sejak semalam, tidak ada satupun pesan dari Ren. Apalagi sekarang adalah hari minggu, jadi mereka tidak bisa bertemu di kantor. Solusi satu-satunya adalah Daliya harus menghubunginya duluan.
Ren, apa kamu baik-baik saja?
Daliya mulai mengetik. Tepat sebelum ia menekan tombol kirim, Daliya kembali menghapus pesan itu.
"Aneh nggak sih, kalau tiba-tiba nanya begitu?" Pikir Daliya. Ia kemudian mengetik ulang pada kolom chat.
Ren, aku khawatir. Kenapa kamu nggak ada kabar?
"Jangan deh, kesannya terlalu genit," Daliya sibuk menghapusnya lagi. Ia terdiam lama untuk memikirkan kalimat apa yang harus ia tulis.
Ren, apa semalam kamu pulang dengan selamat?
Daliya menatap lamat-lamat pesan itu dan mengeja kalimatnya satu persatu. Setelah ia yakin tak ada yang aneh, dengan segera ia menekan tombol kirim.
Tak butuh waktu lama sampai kedua centang berwarna abu itu berubah menjadi biru. Daliya menunggu sambil memeluk bantal gulingnya. Harap-harap cemas.
Ting!
Daliya terperanjat. Dengan kekuatan kilat, ia meraih ponsel yang tergeletak di depannya. Membaca isi pesan balasan dengan jantung berdegup kencang.
Pak Narendra
Ya
"What?" Senyum Daliya berangsur-angsur berubah menjadi sungutan kesal. "Apa-apaan cowok ini? Jadi sekarang dia jual mahal, gitu?" Daliya melempar ponselnya ke atas kasur dengan dongkol.
"Fine! Aku juga akan melakukan hal yang sama!" tekadnya.
Sebenarnya, apa yang terjadi pada Ren?
Oke, kita akan kembali ke situasi beberapa menit yang lalu, dengan berpindah lokasi ke kamar apartemen Ren. Saat Daliya sedang berusaha merangkai kata untuk mengirim pesan kepada Ren, lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Ia berulang kali menulis pesan pada kolom chat, lalu dihapus, kemudian menulis lagi, lalu dihapus lagi. Begitu terus sampai tiba-tiba ada notifikasi pesan masuk dari Daliya.
"Huwaaaa!" Ren terperanjat kaget. Saking kagetnya, ia sampai terjatuh dari atas kasur springbed-nya yang seharga puluhan juta. Sambil merintih kesakitan, lelaki 29 tahun itu bangkit dan mengambil ponselnya.
Calon Istriku
Ren, apa semalam kamu pulang dengan selamat?
Tanpa sadar, senyum di bibir Ren merekah. Sia-sia saja ia overthinking semalaman, karena ternyata wanita itu tidak membencinya seperti yang ia pikirkan. Ren kemudian mulai menulis pesan balasan dengan penuh semangat.
Ya
Baru dua huruf tertulis, tiba-tiba ada telepon masuk dari Mama Anita. Ren yang terkejut sontak menekan tombol kirim.
"Hah? Ya ampun, kepencet!" Ren panik. Ia bermaksud untuk menghapus pesan itu, tapi dalam sekejap pesannya berubah menjadi centang biru, tanda pesan sudah dibaca.
"Loh, ya ampun!" Ren buru-buru hendak mengetik pesan lagi, tapi telepon dari sang mama kembali muncul. Merasa kesal, akhirnya Ren mengangkat telepon itu.
"Ha—"
"REN! KAMU DARI MANA AJA SIH DARI TADI SUSAH BANGET DI TELEPON! KAMU NGGAK LUPA KAN KALAU HARI INI HARI ULANG TAHUN PAPA KAMU! KAMU HARUS UDAH SAMPAI RUMAH DALAM LIMA MENIT! TITIK!"
"Buset!" Ren seketika menjauhkan ponsel dari telinganya. Bisa-bisa gendang telinganya pecah kalau diteriaki seperti itu. "Jangan teriak-teriak kenapa sih, Ma?"
"HEH, ANAK DURHAKA! MAMA TUH NGGAK BAKAL TERIAK-TERIAK KALAU DARI TADI KAMU BALAS PESAN MAMA! CEPETAN DATENG, KALAU NGGAK MAMA SUNAT PUNYA KAMU SAMPAI HABIS!" ancam Mama Anita masih dengan nada tingginya.
"Jangan dong Ma, Ren belum nikah!"
"MAKANYA CEPETAN DATENG!"
"Iya, iya, astaga Mama...," Ren akhirnya beranjak menuju kamar mandi. Sebelum itu sebenarnya Ren sudah kepikiran untuk mengetik pesan lanjutan pada Daliya. Tapi, mengingat ancaman Mama Anita yang akan memotong belalainya sampai habis jika tak sampai rumah dalam lima menit membuat Ren bergidik.
"Nggak apa-apa deh, besok aku jelasin aja semuanya di kantor," pikir Ren.
tulisannya juga rapi dan enak dibaca..
semangat terus dlm berkarya, ya! 😘
ujian menjelang pernikahan itu..
jadi, gausah geer ya anda, Pak Direktur..