Dia bukannya tidak sayang sama suaminya lagi, tapi sudah muak karena merasa dipermainkan selama ini. Apalagi, dia divonis menderita penyakit mematikan hingga enggan hidup lagi. Dia bukan hanya cemburu tapi sakit hatinya lebih perih karena tuduhan keji pada ayahnya sendiri. Akhirnya, dia hanya bisa berkata pada suaminya itu "Jangan melarangku untuk bercerai darimu!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Geisya Tin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Tidak lama setelah itu, teleponnya berbunyi, ada nama Regan tertera di layar.
“Regan!” seru Shima dengan mata yang berbinar-binar. Dia mengelap mulutnya dengan tisu dan segera menerima panggilan.
Telepon dari Regan adalah harapannya, selama hampir tiga pekan ini Regan tidak bisa dihubungi. Antara kesenangan dan kesedihan, itulah kisah yang dituliskan oleh Regan di hatinya.
“Regan! Kapan kamu pulang?” Itu ucapan Shima begitu videonya dengan jelas menangkap wajah tirus Regan di layar.
Dia tidak bertanya kabar, sebab kalau Regan menelepon itu artinya dia sehat, kan?
Pria di layar ponsel memalingkan muka sambil menyembunyikan senyuman pahit di bibirnya. Luka itu tidak ada, yang ada hanyalah rasa sakitnya. Kalau saja bukan nyawa ayah dan bisnis keluarga yang menjadi taruhannya, dia akan memperjuangkan Shima.
Namun, selalu saja ada pihak yang mengorbankan hatinya demi seseorang bisa bahagia. Mungkin, dialah yang harus berkorban dan Shima adalah orang yang harus bahagia.
Semua yang dilakukan Regan sudah seperti ini, dia yakin Deril tidak mungkin menyakiti Shima untuk kedua kalinya. Tindakan pria itu jelas menunjukkan bahwa, dia masih mencintai mantan istrinya.
“Shima, aku baru saja mulai studi dan penelitian, acaraku di sini masih panjang!”
“Kamu apa kabar? Aku harap kamu memang senang di sana, Regan!”
“Itu harapanku juga buat kamu, dan aku di sini baik-baik saja ... gimana kabar kamu sekarang? Kata Andi kamu sudah gak ngeluh lagi belakangan ini, apa itu benar?”
Shima diam, kemudian, mengangguk. Dia mengingat terakhir kali bertemu Andi, sebelum pergi ke desa. Andi bilang boleh melakukan perjalanan, dengan berbagai syarat. Dia sudah melakukan semuanya dan belum pergi ke rumah sakit lagi, semenjak kembali ke Surala.
“Kamu masih di mana? Ini bukan di rumah—“ ucapan Regan terputus dan dia mengamati keadaan yang terlihat di belakang layar Shima.
“Aku kerja, aku sehat Regan, kamu jangan kuatir, kamu harus belajar sungguh-sungguh di sana! Biar aku gak kecewa sudah kamu tinggalin pas lagi butuh-butuhnya!” Mata Shima berkaca-kaca saat bicara.
“Maafkan aku kalau kamu kecewa, soalnya undangan studiku masuk pas banget kamu mau kemoterapi! Aku ... gak mungkin menolak!”
“Hmm ...! Begitukah?”
“Iya! Aku juga gak ingin seperti ini, kalau bisa aku ingin dampingi kamu sampai selesai kemoterapi! Tapi, kesempatan seperti ini biasanya gak akan datang dua kali!” Regan berkata dengan tenang tanpa beban, tidak menyebutkan atau menyalahkan orang lain sama sekali.
“Seenggaknya kamu pamit dulu kenapa?” Shima berkata sambil mengenang saat dia datang ke ruangan Dokter Regan, namun yang menyambutnya adalah Dokter Andi.
“Ya, aku salah ... gak pamitan sama kamu waktu itu. Jangan marah!”
“Gimana kalau aku marah?”
Apa yang bisa aku katakan biar kamu gak kesal lagi sama aku?”
Seharusnya memang seperti itu, seseorang harus pamit jika hendak pergi. Mengucapkan kata-kata yang bisa membuat perasaan lebih baik hingga, perpisahan tidak membuat hatinya sakit.
Namun, Regan tidak begitu, dia pergi tanpa berpamitan dan nomornya tidak bisa dihubungi. Sekarang muncul dengan raut wajah seolah sebelumnya, tidak pernah terjadi apa-apa.
Di saat yang sama, seorang wanita berparas ayu dengan lesung pipi, muncul di belakang Regan dan menyapanya.
“Hai, Re! Kamu masih telepon siapa?”
Shima mengerjapkan matanya beberapa kali, perempuan itu sangat cantik.Dia seperti sebuah lukisan yang keluar dari bingkainya.
Regan menoleh pada wanita itu dengan senyuman yang belum pernah dilihat Shima. Dia tidak segan memperkenalkan Shima dan wanita berjilbab ungu yang bernama Safina. Lalu, menyebutkannya sebagai teman biasa.
"Dia Shima, temanku di Surala, dan ini Safina, dia orang yang pertama kali jadi temanku begitu aku sampai di sini!" ucap Regan.
“Aku kira dia pacarmu! Aku baru saja mau berdoa, semoga kalian bahagia!” kata Shima.
Regan dan Safina tertawa kecil di layar, tampak keduanya saling melempar pandangan yang sulit diartikan. Setelah itu, Regan berpamitan dan mengucapkan kata, sampai jumpa di lain kesempatan.
Tak lupa dia berpesan agar Shima menggunakan waktunya, dengan baik untuk menjalani pengobatan. Kesehatan sangat penting untuk orang yang menghargai sebuah nyawa.
Dalam hati Shima bersyukur jika Regan sudah menemukan tambatan hatinya. Waktu dua tahun pendidikan itu tidak lama, siapa tahu Regan menikah dengan Safina di sana.
Rekan-rekan kerja Shima mulai berdatangan, tepat di saat wanita itu mengakhiri panggilannya dengan Regan.
“Eh, lihat! Aku dapat undangan dari Nona Karina!” kata wakil manajer sambil menunjukkan sebuah kartu sebesar buku tulis, berwarna emas dengan kotak coklat kecil di atasnya.
“Wah! Undangan apa itu Bu Nina?” tanya Lela begitu antusias.
“Undangan ulang tahun anaknya yang pertama!”
Shima masih membersikan bekal makan siangnya dan memasukkan handphone ke dalam tas. Tiba-tiba kotak bekalnya jatuh.
Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar di hatinya. Dia tidak pernah lupa, hari ulang tahun Freya, sama dengan hari di mana dia kehilangan calon bayinya.
Namun, dia tidak memikirkan semua yang dia dengar lantas melanjutkan bekerja setelah selesai memasukkan kotak ke tempatnya semula.
“Kalau anak Karina boleh hidup, kenapa anakku harus mati, Tuhan?” katanya dalam hati.
Ya. Kenapa harus dia yang keguguran, kenapa Deril harus menolong Karina?
Kenapa?
Kenapa ada kejadian seperti itu di dunia, di mana orang yang lahir dan yang mati terjadi secara bersamaan, seperti sedang bertukar nyawa. Namun, dilihat dari penjelasan berdasarkan apa pun juga, tidak ada yang namanya pertukaran nyawa.
Tiba-tiba mata Shima seolah berkilau dengan kilatan cahaya yang tidak biasa. Dia belum pernah melihat sesuatu dengan tatapan seperti itu. Ada api dendam yang membara tersimpan di matanya.
“Tadi, Nona Karina juga bilang, dia akan mengumumkan sesuatu saat pesta ulang tahun, jadi rugi kalau gak datang!” kata wakil manajer lagi sambil menikmati coklat dari kartu undangan tadi.
“Wah, Nona Karina memang murah hati, belum datang saja sudah dikasih coklat enak begini!”
Di antara semua orang, ada yang ikut mencicipi coklat, ada juga yang cuek.
“Kira-kira pengumuman apa ya, dari Nona Karina?” tanya Lela, dia yang paling semangat dengan gosip soal Karina.
“Siapa tahu pengumuman dia mau tunangan sama Pak Deril, atau mau nikah malahan!” kata wakil manajer.
“Iya juga ya! Tapi yang diundang cuman manajer sama Bu Nina!”
Bu Nina yang disebut Lela adalah nama wakil manajer pemasaran.
“Eh, itu cuma pesta ulang tahun anak umur satu tahun! Gak harus ngundang semua karyawan juga!”
“Wajar sih, kalau yang datang kalangan atas saja, tempatnya di kapal pesiar Dedesamsa!” Lela berkata sambil mengamati kartu undangan sekali lagi.
“Apa? Yang benar saja? Ini mewah sekali untuk pesta ulang tahun bayi!” rekan kerja yang lain mulai ikut bergabung dan melihat kartu undangan secara bergantian.
“Ya!”
“Wakil manajer! Kamu harus datang, rugi kalau gak!” kata salah satu dari mereka .
Shima menyimak semuanya dan Lela memberinya sebutir coklat. Shima menerima dan membuangnya ke tempat sampah.
“Jadi, kalian pikir mereka, Deril dan Karina, mau menikah?” Shima hanya mampu mengucapkan kata-kata itu dalam hatinya.
Ternyata, Karina datang hanya untuk membagikan undangan itu pada, para petinggi perusahaan saja. Dia terlalu berlebihan, pasti biaya pesta itu menggunakan uang Deril.
“Eh, kenapa manajer gak balik lagi ke sini? Jangan-jangan manajer kena marah asisten Candra gara-gara dia!” kata orang yang duduk di samping Lela.
Namun, Lela yang diajak bicara hanya mengangkat bahunya tanda dia tidak tahu.
Shima tetap meneruskan pekerjaan, ingin segera keluar dari lingkungan yang membosankan. Namun, dia harus menyelesaikan misinya terlebih dahulu.
Pada saat jam pulang kantor, Shima keluar ruangan tepat waktu. Dia merapikan kerudungnya sambil melangkah ke pintu. Semua orang melihat ke arahnya dengan takjub.
“Kamu mau ke mana Shima?” tanya wakil manajer.
“Mau pulang, ke mana lagi memangnya,.bukannya sekarang sudah waktunya pulang kantor?”
Wakil manajer berdiri dan menatap Shima sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Aku baru melihat ada pegawai baru yang seperti ini, semua temanmu masih menyelesaikan pekerjaan dan para senior juga belum pulang! Tapi kamu mau keluar duluan?”
“Apa itu dilarang? Tapi aku gak lihat ada peraturan kantor seperti itu!” Shima berkata dengan lembut dan sopan, mengingat Nina adalah orang yang lebih tua.
Ucapannya memang terdengar egois, tapi dia hanya menyampaikan apa yang dia pikir benar.
“Shima, apa kamu gak punya empati dan takut di pecat padahal baru saja bekerja?”
“Aku gak takut dipecat, buat apa mereka menerimaku bekerja di sini kalau pada akhirnya aku dipecat? Aneh! Lagi pula, pekerjaan itu bisa dilanjutkan besok saja.”
Wakil manajer itu geleng-geleng kepala, akhirnya membiarkan Shima pulang lebih dulu sebelum dirinya.
Sampai di sisi jalan, Shima melihat ada Bentley hitam terparkir tidak jauh darinya. Dia tahu itu mobil bos yang sepertinya sengaja menunggu.
Namun, Shima pura-pura tidak melihatnya dan menelepon Nadisa. Mereka sudah berjanji untuk pulang bersama sambil berbelanja kebutuhan rumah. Setelah pulang dari desa, sekarang gantian Nadisa yang tinggal dengan Shima.
Saat Nadisa datang dengan motornya, Shima langsung melambaikan tangan dengan gembira. Sementara mobil hitam itu, tetap di sana dan pemilik mobil menurukan kaca jendela sampai setengahnya. Tampak wajah Deril yang tampan itu cemberut.
Setelah beberapa saat di jalanan, barulah Bentley hitam itu menyalip motor Nadisa dengan kecepatan tinggi.
“Hai! Ahk!" Teriak Nadisa.
semoga mendapatkan lelaki sederhana walaupun tidak kayak raya tapi hidup bahagia
aku cuma bisa 1 bab sehari😭