NovelToon NovelToon
Adara'S Daily

Adara'S Daily

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Alunara Jingga

Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ayah II

"Apa kabar, Yah?" sapaku.

"Baik, kamu gimana?"

"Aku baik, sangat baik. Jadi, ada apa ayah meminta bertemu?" tanyaku to the point.

"Ayah minta maaf, Aya. Selama ini ayah sudah berbuat tak adil padamu. Pulanglah, nak, itu rumahmu juga."

"Rumah ayah, bukan rumahku," koreksiku cepat. "Bukankah dulu ayah bahkan tega mengusirku dari rumah kalian?" sambungku.

"Ayah minta maaf, Ya. Saat itu ayah tengah diliputi amarah. Pulanglah."

"Jangan khawatir, yah. Aya baik-baik aja walaupun ga tinggal dirumah ayah. Bahkan tanpa uang ayah, Aya bisa hidup sampai sekarang. Bahkan bisa sekolah hingga luar negeri. Terima kasih, yah. Karena kejadian itu, Aya jadi banyak pengalaman hidup. Bahkan di negara orang pun Aya bisa bertahan, meski part time sana sini, tapi Alhamdulillah cukup."

"Dan maaf yah, Aya ga bisa pulang, itu bukan rumah Aya. Lagipula habis ini Aya harus ke Malang buat kerja. Mulai senin depan Aya sudah bekerja, yah. Jadi kalo ayah ngajak Aya ketemu cuma buat nyuruh pulang, Aya ga bisa."

Ayah terdiam setelah aku berkata panjang lebar. Aku masih menunggunya untuk berbicara. Kemana wajah sangarnya yang dulu selalu meneriakiku saat aduan demi aduan dari Hana diterimanya mentah-mentah tanpa menanyakan kebenarannya. Walau kasar, ayah memang tak pernah main tangan, itu yang membuatku masih menaruh hormat pada beliau. Andai main tangan, mungkin tak tersisa apapun lagi untuknya.

Sejak mengusirku secara tak langsung, ayah tak pernah mencari tahu tentangku. Seolah tak mau tahu aku hidup atau bahkan sudah mati. Aku hidup dari belas kasihan orang sekitarku, hingga aku bangkit, aku akhirnya mulai sadar diri. Aku mencari kerja sampingan sepulang sekolah, walau ditentang Ibu dan yang lain. Hanya Mas Dwi yang setuju dan bahkan membantuku mencari iklan lowongan kerja. Susah memang, tapi aku harus hidup dan membuktikan aku bisa tanpa ayah.

Aku suka menggambar sketsa, dan aku paling suka menggambar gaun. Sampai suatu hari, gambar yang ada di kamarku di lihat Mbak Neni, ia tertarik dan memberikan sketsa tersebut ke temannya yang memiliki butik. Tante Indri menyukainya, bahkan mengajakku bekerja sama, aku mendesain, beliau yang akan membuat desainku menjadi nyata. Tentu ku setujui, selain karena memang aku suka, itu juga menghasilkan uang.

Aku berhenti kerja part time, dan fokus untuk memperbaiki nilaiku untuk kedepan. Cukup bersedihnya, masa depanku masih panjang.

Akhirnya, setelah satu tahun, aku berhasil menyelesaikan SMA ku dengan nilai ujian yang nyaris sempurna. Memulai masa kuliah yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Ternyata Andi ada disini, aku bertemu dengannya ketika ospek, aku tetap tersenyum ramah, walau bikin eneg. Formalitas senior dan junior. Tak ada hambatan berarti, aku harus menstabilkan nilaiku agar beasiswaku tak tercabut. 3,5 tahun waktuku kuhabiskan dibangku perkuliahan.

Lulus dengan predikat cumlaude dan iseng mendaftar beasiswa di Korea University dengan departemen yang sama, ekonomi dan bisnis. Aku mendapat kesempatan wawancara, dan voila, aku kembali menjadi mahasiswa. Butuh banyak persiapan, TOEFL dan IELTS ku mencukupi, aku harus dituntut mampu untuk berbahasa korea dengan baik dan benar karena mempunyai batas skor minimal semacam TOEFL dan IELTS. Aku berhasil dan kembali mengulang kejadian masa SMA.

Aku bersyukur, di negara ini dipermudah untuk bekerja part time. Kali ini aku bekerja di butik Mrs. Lee Ji In, beliau menyukai sketsa gaunku, dan butik ini adalah butik khusus bridal, sesuai passion ku.

Lulus dengan predikat cumlaude kembali ku dapatkan, wisuda tanpa didampingi keluarga maupun kerabat pernah ku rasakan. Saat itu Mas Dwi tak bisa mendampingi. Hari itu bertepatan dengan hari wawancaranya sebagai dosen. Tak apa, lagipula aku sudah terbiasa dengan kesendirian. Byan saat itu sudah bertugas di Papua, akhirnya, sahabat cengengku itu berhasil menjadi tentara, seperti inginnya. Wulan mengabarkan akan menikah dengan Ojik, ternyata hubungan mereka berlanjut ke jenjang yang lebih serius.

Aku mendisain sendiri gaun pengantin untuk Wulan. Mrs. Lee mengijinkanku untuk menggunakan peralatannya. Setelah selesai, aku membawa gaun setengah jadi untuk ku selesaikan setelah bertemu Wulan agar sesuai dengan badannya. Setelah hampir empat tahun tak bertemu, ku rasa banyak perubahan darinya, walau tak banyak. Mrs. Lee sekali lagi dengan baik hati memberiku satu bulan ijin cuti mengingat selama bekerja dengan beliau, tak pernah sekalipun aku menggunakan cuti ku.

Bahkan saat kepulanganku saat itu, aku hanya bisa menatap dari jauh sosok yang ku sebut ayah. Ternyata beliau masih sangat sehat bahkan untuk sekedar membuatku kembali mempertebal rasa sakit dan rindu sekaligus. Di seberang sana, beliau tengah tertawa dan mengusak penuh sayang rambut Hana. Ah, sejak saat itu aku mati rasa, saat dengan terang-terangannya ular itu lagi-lagi mengeluarkan bisanya.

"Mau apa lu disini? Masih inget lu punya orangtua? Dasar anak durhaka! Udah, yah, tinggalin aja, paling mau minta duit, dulu sok kuat ninggalin rumah. Udah ga laku lagi lu jual diri di Korea?" Tajam lidahnya sungguh membuat luka yang ada bertambah dalam.

"Bukan urusan lo sih sebenarnya, lagi pula, gue disini bukan buat ketemu lo ato Bapak lo kok. Tenang aja, gue masih laku kok, karya gue masih dicari disana. Gue masih punya banyak duit, nah, lo abisin aja duit bapak lo, ga peduli."

"Halah, lacur ya tetep aja lacur, sok-sok an banyak uang juga hasil ngelont*."

Plak

"Jaga ucapan lu kalo ga mau lidah tajam lu gue tarik paksa dari tempatnya!" Aku terkejut, ternyata Wulan dan Rahma sudah berdiri di depanku, membelaku yang tak memiliki pertalian darah sama sekali, sedang disini, dihadapan mataku ada seseorang yang bahkan masih ku panggil ayah, bahkan seakan enggan untuk melihatku, apalagi membelaku.

"Kalo dia ga jual diri, gimana mungkin dia bisa bertahan sampe belasan tahun tanpa uang, dan --- "

"Stop! jangan samakan Ara denganmu, set*n! Ara punya kemampuan untuk hidup mandiri tanpa harus mengemis dan menjilat sepertimu! Sekali lagi kau nyocot, tak keprak lambemu!" Kali ini Rahma yang maju membelaku, cukup sudah, aku benar-benar kecewa dengan ayah.

"Sudah, Ma, Lan, gausah diladeni, ga bakal selesai. Mending sekarang masuk yuk, aku ada janji temu sama orang didalem. Oh iya, Yah,terima kasih karena masih sehat sampai hari ini, sehat terus, Yah, makan yang teratur, biar besok ayah bisa liat Ara sukses tanpa campur tangan ayah. Terima kasih sudah menjadikan Ara anak yang kuat. Bahagia terus ya, Yah. Ara pamit." Aku menyeret Rahma dan Wulan untuk menjauh dari dua orang penoreh luka itu.

Dan hari ini, aku bertemu dengan ayah lagi setelah tiga tahun. bukan tak mau memaafkan, aku sudah memaafkan, sungguh. Bagaimanapun juga ini adalah suratan takdir dari Sang Maha Pemberi Hidup, hanya saja untuk kembali lagi seperti dulu rasanya aku tak sanggup. Rasaku telah mati, untuk membayangkannya pun aku tak pernah. Semuanya terasa asing, sangat asing. Hingga aku memutuskan menyudahi pertemuan aneh ini.

"Sudah ya, Yah. Aya pamit, mau balik ambil barang bawaan. Ntar malem Aya udah harus berangkat. Sehat-sehat ya, Yah, jangan lupa bahagia." Aku meninggalkan ayah tanpa menoleh dan menunggu jawabannya. Jujur, aku lelah, aku hanya ingin sendiri. Sepertinya, mengasingkan diri di hutan adalah pilihan terbaik.

"Tunggu, Aya! Tidak bisakah kita memperbaiki semuanya? Memulai dari awal layaknya keluarga? Bagaimanapun juga, kamu masih tanggung jawab Ayah," ujarnya sambil menahan langkahku.

"Tanggung jawab? Demi apa? Wah, ternyata hidupku ada yang bertanggung jawab. Lalu, untuk apa aku bersusah payah diluar sana? Udahlah, Yah, wake up! Tanggung jawab Ayah udah bukan aku lagi, ada anak lain yang bergantung hidup sama Ayah. Aku bisa hidup kok tanpa dukungan Ayah. Udah ya, aku pulang, takut ga keburu waktunya. Thanks for funny day, Yah. See you and have a great day!"

Aku selesai dengan semua sakit yang tertoreh oleh seseorang yang ku panggil Ayah. Muak, mengapa hanya diam dan diam yang selalu di lakukan saat terpojok. Aku juga ingin mendengar pembelaan atas segala sikap diam Ayah selama ini. Mengapa dengan teganya beliau menelantarkanku, tanpa bertanya kabar, tanpa mau tahu keadaanku diluar sana. Lalu, apa yang tersisa darinya? Rasa hormat dalam hal apa?

Aku tersenyum masam, apa yang ku harapkan dari pertemuan ini? Aku lelah bila terus berhadapan dengan Ayah, apa yang Ayah inginkan dariku? Mengapa Ayah lebih memilih keluarga barunya? Sudahlah, akupun enggan berpikir lebih jauh. Cukup menjalani hidupku sekarang, dengan ataupun tanpanya, takkan mengubah apapun.

Tak butuh waktu lama, aku sampai di rumah, mengemasi barang-barang yang akan ku bawa nanti. Tak banyak, hanya beberapa helai baju, laptop, kamera, sandal, perlengkapan mandi juga buku jurnal dan klasifikasi yang sudah ku susun sedemikian rupa. Usai berkemas, aku segera mandi. Bertepatan dengan selesainya persiapanku, terdengar suara mesin yang amat ku kenali.

"Adara?! Udah siap?" tanyanya.

"Siap, Mas. Ayo, biar ga telat."

"Lagian kenapa mendadak sih, Jule?! Untung jadwal sore ku kosong, bisa nganter. Kamu kok tega ninggalin Mas?" Azis, adik lelaki Mbak Neni itu sibuk menata carrier milikku yang lebih pantas disebut daypack.

"Pengen aja gitu, sesekali bikin rusuh, biar gak flat," sahutku sambil tertawa, ia hanya mendelik kesal.

"Jangan kesel gitu sih, ntar dartingnya kumat," sambungku lagi. Ia tak menjawab, hanya mendengkus pelan.

Jalanan masih lumayan lengang, mengingat jam pulang kantor masih tersisa empat puluh menit lagi. Sepanjang jalan, aku melepaskan sesakku akibat bertemu Ayah tadi dengan mengadakan karaoke mini di mobil Mas Azis. Dia tak protes, sepupuku yang berprofesi sebagai dokter itu tahu, aku sedang dalam mode tak ingin di ganggu.

Mungkin kakaknya sudah memberi tahu bahwa aku bertemu Ayahku. Ia tahu dan paham, karena memang begitulah aku jika sedang dalam suasana hati yang tak menyenangkan. Ku nikmati satu jam ini dengan melemaskan pita suaraku. Sesekali ia menawariku minum, tentu ku terima dengan senang hati, hingga akhirnya kami sampai di pintu masuk Bandara Internasional Lombok. Good bye, bad memories.

1
Anjan
gitu dong, ngaku!
Anjan
Slice of life nya dapat banget, humornya juga dapet. Semangat, Kakak author!
Anjan
enteng kali si jule
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!