Raina cantika gadis berusia 23 tahun harus menerima kenyataan jika adiknya sebelum meninggal telah memilihkannya seorang calon suami.
Namun tanpa Raina ketahui jika calon suaminya itu adalah seorang mafia yang pernah di tolong oleh adiknya.
Akankah Raina menerima laki-laki itu untuk menjadi suaminya?
Apakah Raina dapat bahagia bersama laki-laki yang tidak dia kenal?
Ikuti kisah mereka selanjutnya, ya!
Jangan lupa untuk follow, like dan komentarnya!
Terima kasih 🙏 💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Keinginan fikri
Arsenio, tidak menanggapi perkataan Fikri. memilih melanjutkan pekerjaannya, merakit senjata. dia pun melirik ke arah Fikri, yang sejak tadi memperhatikannya. "Apa kamu ingin membantu ku," tanyanya acuh.
Fikri tersenyum senang, mendekati arsenio. "Memangnya aku boleh ikut membantu, bang?"
Arsenio tersenyum tipis, melihat kearah Fikri. dia pun, mengangguk sebagai jawaban.
Dengan senang hati, Fikri membantu arsenio. mereka terlihat seperti adik kakak, yang sangat kompak saat sedang serius mengerjakan perakitan senjata. bahkan arsenio terkejut, ketika melihat Fikri yang langsung paham merakit senjatanya.
Dia tidak percaya, jika pemuda polos di hadapannya bisa melakukan hal yang tidak semua orang bisa melakukannya. "Apa kamu menyukainya?" tanya arsenio dingin.
Fikri menganggukkan kepalanya. "Aku sangat menyukainya, bang. Ternyata merakit senjata, tidak susah seperti yang aku bayangkan."
Arsenio mengangguk pelan, setuju dengan apa yang di katakan oleh Fikri. dia merasa, jika kepribadiannya dengan Fikri hampir sama. mereka berdua merakit senjata, tanpa ada orang yang mengganggu mereka. sampai waktu tidak terasa, sudah pukul dua pagi.
"Selesai." seru Fikri, dengan mata yang terlihat mengantuk.
Arsenio bangkit dari duduknya. "Beristirahatlah. Besok aku akan mengantar mu ke desa," ucapnya tegas.
"Baik, bang. Terima kasih atas ilmunya." Setelah mengatakan hal itu, Fikri pun pergi ke kamarnya untuk beristirahat. sebab saat ini dia merasakan, jika seluruh tubuhnya sangat sakit.
Begitu pun, dengan arsenio yang pergi untuk istirahat. sebab besok, dia harus mengantarkan Fikri ke desanya.
***
Siang ini, arsenio sudah bersiap untuk mengantarkan Fikri ke desa. namun dia terlihat cemas, melihat keadaan Fikri yang tidak seperti biasanya.
"Apa kamu baik-baik saja, fik?" Arsenio menatap Fikri lekat.
Fikri mencoba tersenyum, tidak ingin membuat arsenio khawatir kepadanya.
"Aku baik-baik saja, bang. Mungkin ini akibat aku tidur terlalu larut," jawabnya berbohong.
Padahal saat ini, Fikri merasakan seluruh tubuhnya sakit tak tertahankan. namun sebisa mungkin dia menahannya, sebab tidak ingin sampai arsenio mengetahui tentang penyakitnya ini. Fikri takut jika arsenio tahu keadaannya, maka arsenio akan menyuruhnya untuk berhenti bekerja.
Arsenio mengangguk pelan, meskipun hatinya curiga pada Fikri yang terlihat tidak baik-baik saja. namun karena Fikri berhasil meyakinkannya, maka arsenio tidak mempertanyakan lagi keadaannya Fikri.
Di dalam mobil, suasana sangat hening. sesekali arsenio, melihat ke arah Fikri yang terlihat kesakitan.
"Apa kamu baik-baik saja, Fikri?" tanyanya khawatir.
Fikri pun menoleh. "Aku baik-baik saja, bang. Hanya saja aku merasa, jika kepala ku sedikit pusing."
Arsenio pun, memberikan obat pereda nyeri yang selalu dia simpan di mobil, untuk situasi darurat. dia pun, menyuruh Fikri untuk meminumnya.
Fikri tersenyum senang, mendapatkan perhatian dari arsenio. dia pun yakin, jika sebenarnya arsenio adalah orang yang baik.
"Terima kasih, bang," ucap Fikri tulus.
Arsenio mengangguk pelan, sebagai jawaban. dia pun, kembali fokus mengemudikan mobilnya.
"Bang, apa aku boleh menanyakan sesuatu?" Fikri yang terlihat ragu pun, memberanikan diri untuk bertanya.
"Apa yang ingin kamu tanyakan?"
Fikri menatap arsenio. "Apa, abang sudah mempunyai pendamping?"
Mendengar pertanyaan Fikri membuat arsenio, seketika menghentikan mobilnya.
"Kenapa, kamu menanyakan hal itu?" Arsenio menatap tajam Fikri, yang seketika ketakutan.
"Ti- tidak bang. Lupakan saja." Fikri pun, menundukkan kepalanya. dia terlalu takut, jika melihat sikap arsenio seperti itu.
Arsenio pun, melajukan kembali mobilnya. dia tidak habis pikir, jika Fikri akan menanyakan hal sensitif seperti itu. masalahnya, arsenio sama sekali tidak tertarik untuk mencari pasangan. sebab keluarganya yang hancur, membuatnya berprinsip tidak akan menikah bahkan mencintai seseorang.
Keadaan di dalam mobil kembali hening, sampai tidak terasa mobil arsenio pun sampai di depan rumah Fikri.
"Terima kasih bang, sudah mengantarkan aku pulang. Apa abang, tidak ingin mampir dulu?" ucap Fikri tersenyum.
"Tidak. Aku harus segera pergi." jawabnya dingin.
Fikri pun mengangguk pelan, namun sebelum arsenio pergi Fikri pun kembali berkata," Bang, maafkan perkataan ku tadi. Sungguh, aku tidak bermaksud membuat mu marah."
Arsenio melirik sekilas pada Fikri, yang tertunduk. "Tidak perlu di bahas. Jaga dirimu, baik-baik. Dan ingat, besok lusa aku akan menjemput, mu." balasnya acuh.
Fikri pun, mengangkat kepalanya dan tersenyum. "Terima kasih bang. Hati-hati di jalan."
Arsenio pun tersenyum tipis. dia pun melajukan mobilnya meninggalkan Fikri, yang menatap kepergian mobil arsenio yang semakin menjauh.
Memastikan mobil arsenio sudah pergi jauh, Fikri pun segera masuk dalam rumahnya. dia menjatuhkan dirinya di ranjang kecilnya, merasakan seluruh tubuhnya semakin sakit.
"Kakak, kapan pulang? Aku ingin bertemu dengan kakak, untuk yang terakhir kalinya..." lirihnya terisak.
Tak berselang lama, ponsel Fikri pun berdering. dia segera mengambilnya, dan melihat siapa nama yang tertera di layar ponselnya. "Kakak." ucapnya bahagia.
"Halo. Assalamu'alaikum, kak." sapa Fikri, menahan sakit.
"Halo. Wa'alaikumussalam, Fikri. Bagaimana, keadaan mu di sana? Apa kamu baik-baik saja?" Terdengar suara kakak Fikri, yang terdengar sangat mengkhawatirkannya.
Fikri tersenyum senang. "Aku baik-baik saja, kak. Kakak, tidak perlu mengkhawatirkan aku seperti itu."
Terdengar helaan nafas, dari seberang telepon. "Syukurlah Fikri, kakak senang. Oh... iya Fikri. Kakak mau memberitahu mu, kalau minggu depan kakak akan pulang. Jadi nanti, kita bisa bersama-sama lagi. Dengan begitu, kakak bisa merawat mu dengan baik."
Fikri tersenyum getir, mendengar perkataan kakaknya. dia merasa ragu, jika dirinya dapat bertemu lagi dengan kakaknya. sebab Fikri tahu, jika penyakit pada tubuhnya kini sudah sangat parah.
"Aku senang, kakak akan pulang. Aku tunggu, kakak di rumah." balasnya, dengan suara yang bergetar.
Setelah selesai berbincang, mereka mengakhiri panggilannya. seketika Fikri pun menangis sejadi-jadinya, membayangkan jika kakaknya pulang ke rumah dan melihat kondisinya, yang sangat mengkhawatirkan.
Fikri pun, mengambil ponselnya dan merekam dirinya sambil mengucapkan, kata-kata untuk kakaknya.
"Kak, aku sangat bahagia memiliki sosok kakak, penyayang seperti mu. Aku senang, karena kakak selalu mengkhawatirkan ku. Aku hanya mau bilang, jika kakak melihat video ku ini. Berarti aku, sudah tenang dan tidak merasakan sakit lagi." Sejenak Fikri menahan nafas, yang terasa sesak.
Dia pun membersihkan darah, yang kembali mengalir dari hidungnya. "Aku minta maaf, karena belum bisa menjaga kakak dengan baik. tapi kakak tidak perlu khawatir, karena aku akan meminta bang arsen untuk menjaga kakak, untuk ku."
Fikri tidak bisa menahan tangis, bahkan saat ini keadaannya terlihat mengkhawatirkan. hidungnya pun, terus saja mengeluarkan darah tanpa henti. "Oh iya kak, aku mempunyai seorang abang. Dia sangaaat baik pada, ku. Aku berharap, dia bisa menjaga kakak untuk ku. Bahkan Aku berharap, kakak mau menikah dengannya. Dengan begitu aku bisa tenang, meskipun harus meniggalkan kakak untuk selamanya."
Fikri yang sudah tidak kuat menahan rasa sakit dan sedihnya pun, langsung mengakhiri rekamannya. dia pun membaringkan tubuhnya, sambil memeluk ponselnya erat. entah sampai kapan dia bisa bertahan, sedangkan Fikri merasa jika tubuhnya hari ke hari, semakin lemah.
"Tuhan. Berikan aku waktu sampai aku bisa melihat kakak ku menikah, dengan orang yang bisa menjaga dan membahagiakannya."
Setelah mengatakan hal itu, Fikri pun jatuh pingsan. kondisinya sangat memprihatinkan, apalagi saat ini di rumahnya dia hanya tinggal sendiri.