Jessy, 30th seorang wanita jenius ber-IQ tinggi, hidup dalam kemewahan meski jarang keluar rumah. Lima tahun lalu, ia menikah dengan Bram, pria sederhana yang awalnya terlihat baik, namun selalu membenarkan keluarganya. Selama lima tahun, Jessy mengabdi tanpa dihargai, terutama karena belum dikaruniai anak.
Hingga suatu hari, Bram membawa pulang seorang wanita, mengaku sebagai sepupu jauh. Namun, kenyataannya, wanita itu adalah gundiknya, dan keluarganya mengetahui semuanya. Pengkhianatan itu berujung tragis—Jessy kecelakaan hingga tewas.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Ia terbangun beberapa bulan sebelum kematiannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketidakpedulian Bram, Kepanikan Chika
Siang itu, Jessy tengah duduk di tepi ranjang, merapikan selimut yang sedikit berantakan. Pintu kamarnya diketuk pelan sebelum terbuka, memperlihatkan sosok Fina yang membawa segelas minuman dengan senyum manis di wajahnya.
"Mbak Jessy, aku bawakan minuman segar. Aku tadi melihat mbak lelah, jadi aku pikir ini bisa membantu," ucap Fina, suaranya lembut di telinga Jessy.
Jessy menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. Tanpa curiga, ia menerima gelas itu. Dingin. Menyegarkan. Sama sekali tidak ada yang aneh.
"Terima kasih, Fina," ujarnya sebelum meneguk isinya perlahan.
Fina tetap berdiri di depan pintu, menunggu hingga Jessy menghabiskan minumannya. Begitu gelas kosong, Fina mengambilnya kembali, senyum di bibirnya semakin melebar.
"Mbak istirahat ya, aku pamit dulu," katanya sebelum melangkah keluar, menutup pintu dengan lembut.
Awalnya, tidak ada yang terasa aneh. Namun, beberapa menit kemudian, perut Jessy mulai terasa tidak nyaman.
Perih.
Seperti ada pisau yang mengiris bagian dalam perutnya.
Jessy meringis, tangannya refleks mencengkeram perutnya yang terasa semakin sakit. Denyutan panas menjalar cepat, seolah ada sesuatu yang meracuni tubuhnya.
"A-apa ini…?" gumamnya, suaranya tercekat di tenggorokan.
Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Dadanya sesak, dan rasa sakit itu semakin menjadi-jadi.
Dengan sisa tenaga, Jessy merangkak ke tepi ranjang, berusaha meraih ponselnya. Jari-jarinya gemetar, napasnya memburu, tubuhnya mulai melemas.
Dengan napas terengah-engah, Jessy menggenggam ponselnya erat. Tangannya gemetar saat ia menekan nomor suaminya. Setiap detik yang berlalu terasa menyiksa. Perutnya masih perih, seolah ada sesuatu yang tengah menggerogoti dari dalam.
Tersambung.
"Halo, sayang? Ada apa?" suara Bram terdengar dari seberang. Terdengar biasa saja, tanpa kekhawatiran.
Jessy mencoba berbicara, tetapi suaranya lemah. Rasa sakit itu begitu menyiksa.
"M-mas… aku sakit… perutku sakit sekali…" suara Jessy bergetar. Matanya mulai berair, tubuhnya semakin melemah.
Hening.
Bram tidak langsung merespons. Ada jeda beberapa detik sebelum ia akhirnya bertanya dengan nada bingung, "Sakit? Kok tiba-tiba? Tadi baik-baik saja, kan?"
Jessy menutup matanya erat, mencoba menahan gelombang nyeri yang semakin menggila. "Aku nggak tahu… perutku sakit banget…"
Di ujung sana, Bram mendesah.
"Ah, paling cuma masuk angin. Tidur aja dulu, nanti juga baikan," ucapnya santai.
Jessy tercekat. Masuk angin? Tidur saja?
"Mas… tolong pulang… aku beneran nggak kuat…" suaranya hampir seperti bisikan, penuh kesakitan dan keputusasaan.
Tapi Bram hanya terkekeh kecil. "Sayang, jangan manja. Aku lagi sibuk nih. Istirahat aja, nanti aku pulang kalau udah selesai."
Klik.
Panggilan berakhir.
Jessy menatap layar ponselnya dengan pandangan nanar. Air mata mengalir di pipinya, bercampur dengan keringat dingin yang membasahi wajahnya. Lututnya melemas, rasa sakit itu semakin menggila.
Dengan tangan gemetar, ia berfikir, siapa lagi yang bisa ia hubungi?
Chika.
Jessy segera menekan nomor sahabatnya. Setiap detik menunggu sambungan terasa seperti selamanya. Akhirnya, suara familiar itu terdengar.
"Halo? Jess? Ada apa?"
Suara Chika terdengar ceria, tetapi begitu mendengar desahan napas berat dari seberang, nada suaranya langsung berubah khawatir.
"Chika…" suara Jessy hampir tak terdengar. "Aku sakit… perutku sakit banget…"
Hening sejenak. Lalu suara Chika terdengar panik.
"Sakit? Sejak kapan? Kamu di mana sekarang? Jessy, kamu denger aku, kan?"
Jessy berusaha menjelaskan dengan sisa tenaganya. "Baru saja… Aku dirumah.. Chika, aku nggak kuat…"
Terdengar suara benda jatuh dari seberang telepon. Chika pasti sedang terburu-buru.
"Jess, dengar aku. Jangan panik. Aku ke sana sekarang juga! Jangan tutup teleponnya!"
Air mata Jessy jatuh tanpa suara. Setidaknya ada seseorang yang peduli.
Suara klakson mobil berbunyi kencang di depan rumah. Chika datang.
Tanpa membuang waktu, ia keluar dari mobil dan berlari menuju pintu. Tangannya mengetuk keras, bahkan hampir menggedor.
Pintu terbuka, memperlihatkan seorang wanita cantik dengan senyum lembut yang terasa palsu. Fina.
"Kamu siapa?" tanya Fina dengan nada sopan tapi dingin.
Chika tak peduli. Tanpa menunggu jawaban lebih lama, ia menerobos masuk.
"Jessy! Di mana Jessy?!" Suaranya bergema di ruang tamu, membuat Molly yang sedang duduk di sofa melirik dengan sinis.
"Apa-apaan kamu ini, kak? Tidak tahu sopan santun?" Molly mendengus.
Chika menoleh tajam, tatapannya penuh amarah. "Aku nggak peduli soal sopan santun! Aku ke sini buat sahabatku, bukan buat kalian!"
Ia langsung berlari ke kamar Jessy, membuka pintu tanpa ragu.
Di sana, Jessy tergeletak lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, tangannya memegang perutnya yang terasa melilit. Keringat dingin membasahi dahinya.
"Ya Tuhan, Jessy!" Chika buru-buru mendekat, menggenggam tangan sahabatnya yang terasa dingin. "Kamu kenapa?"
Jessy sudah nyaris kehilangan kesadaran ketika Chika menggenggam tangannya. Wajah sahabatnya semakin pucat, napasnya Tersengal.
"Aku bawa ke rumah sakit ya!" kata Chika cepat, berusaha membantu Jessy berdiri.
Namun, langkahnya terhenti ketika dua orang menghadang di depan pintu kamar.
"Kamu mau bawa menantuku ke mana?!" suara mama Ella melengking, matanya menyipit curiga.
"Jelas ke rumah sakit, Tante! Dia sakit parah, lihat sendiri deh!" Chika melotot, suaranya penuh emosi.
"Alah, paling juga masuk angin. Kamu ini kebanyakan drama! Kak Jessy nggak perlu ke rumah sakit!" Molly menimpali, menatap Chika dengan tatapan meremehkan.
Chika mengepalkan tangannya.
"Drama? Dia hampir pingsan, Molly! Kalian ini gimana sih? Masa nggak peduli sama kakak iparmu sendiri?"
Ella mendengus. "Kalau sakit, ya istirahat aja di kamar! Nggak usah lebay!"
Chika menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan kebodohan mereka.
Namun, sebelum ia bisa menjawab, suara lembut terdengar dari belakang.
"Mungkin memang benar, Tante. Mbak Jessy mungkin beneran sakit." ucap Fina dengan lembut.
"Kamu ini, Jessy itu pasti pura-pura. Lagipula jadi perempuan kok lemah sekali." ucap Mama Ella.
Chika menatap wanita itu dengan tatapan curiga.
"Kamu siapa?" tanya Chika, nada suaranya dingin.
Fina menunduk, menggigit bibirnya, seperti anak kecil yang ketakutan.
"Aku Fina... Sepupu jauh Mas Bram... Aku di sini karena butuh tempat tinggal... Aku nggak punya siapa-siapa lagi..." Suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca.
Molly langsung melotot ke arah Chika. "Tuh, kan! Gara-gara kamu teriak-teriak, kak Fina jadi ketakutan!"
Ella juga ikut-ikutan menatap Chika dengan tajam. "Kamu ini tamu nggak tahu sopan santun ya?! Baru datang langsung mau bawa menantuku pergi!"
Chika hampir tertawa mendengar tuduhan itu.
"Kalian ini waras nggak sih?! Jessy sakit, aku mau bantu dia! Kok malah pada sibuk bela orang asing?"
"Kak Fina bukan orang asing!" Molly menyela. "Dia keluarga! Lebih pantas tinggal di rumah ini dibanding orang luar!"
Orang luar?
Kata itu menyengat telinga Chika.
Ia menoleh ke arah Jessy yang kini semakin lemas di pelukannya. "Jessy adalah menantu di rumah ini, bukan orang luar! Kalau kalian nggak mau peduli, ya udah! Aku tetap akan bawa dia ke rumah sakit!"
Chika mencoba melewati mereka, tetapi Fina tiba-tiba berdiri di depannya, menghalangi jalan.
"Tolong jangan kasar, Kak Chika... Aku cuma nggak mau rumah ini ribut..." katanya dengan suara lembut, membuatnya terdengar seperti korban tak berdosa.
Chika mendengus.
"Minggir!"
Namun, ketika ia mendorong bahu Fina dengan pelan, tiba-tiba wanita itu terjatuh ke lantai!
Bukan cuma jatuh biasa, Fina bahkan berteriak seperti habis didorong keras, lalu... pingsan!
DEG!
Ella dan Molly langsung panik.
"FINAAAA!" Ella menjerit, langsung berlutut untuk mengguncang tubuh Fina yang tampaknya terlalu dramatis untuk sekadar pingsan.
"Kak Chika! KAMU APA-APAAN SIH?! Ngapain dorong kak Fina?!" Molly menuduh dengan suara tinggi.
Chika ternganga.
"Aku cuma sentuh dia dikit! Itu orang kenapa langsung jatuh sih?!"
Ella menoleh dengan tatapan penuh kebencian. "Kamu keterlaluan! Udah bawa-bawa Jessy tanpa izin, sekarang malah sakitin Fina!"
Chika mendecakkan lidah, muak luar biasa.
"Udahlah, aku nggak peduli!" katanya sambil mengeratkan genggamannya pada Jessy.
Tanpa menunggu lebih lama, ia segera menyeret sahabatnya keluar.
Di belakang, Ella dan Molly masih berteriak memanggil nama Fina, tapi Chika tak peduli.
Yang penting sekarang, ia harus menyelamatkan Jessy.
.mengecewakan
.maaf yah, bkin mles baca klau pov mc mah