Kirana kembali ke kampung halamannya dengan tekad bulat—menuntut balas atas kematian ibunya yang tragis. Kampung yang dulunya penuh kenangan kini telah dikuasai oleh orang-orang yang mengabdi pada kekuatan gelap, para penyembah jin yang melakukan ritual mengerikan. Ibunya, yang menjadi tumbal bagi kepercayaan jahat mereka, meninggalkan luka mendalam di hati Kirana.
Apakah Kirana akan berhasil membalaskan dendam ibunya, ataukah ia akan terjerat dalam kutukan yang lebih dalam? Bagaimana ia menghadapi rintangan yang menghadang niat balas dendamnya? Temukan jawaban dari pertanyaan ini dalam perjalanan penuh ketegangan, misteri, dan kekuatan gelap yang tak terduga.
Apakah Kirana akan keluar sebagai pemenang, atau malah menjadi bagian dari kegelapan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
Pagi itu, tepat pukul 06.13, suasana terasa mencekam. Dengan penuh kehati-hatian, Kirana, Nisa, dan Bu Sari mulai perlahan menggeser lemari kayu dua pintu yang tampak berat dan kokoh. Setiap dorongan yang mereka lakukan menghasilkan suara gesekan halus, seolah-olah menyatu dengan keheningan yang menyelimuti ruangan.
Perlahan, mereka mulai membuka pintu kamar, berhati-hati agar tidak menimbulkan suara. Keadaan rumah saat itu begitu hening, seolah-olah waktu berhenti sejenak. Hanya terdengar napas mereka yang sedikit tertahan, mencerminkan ketegangan yang menyelimuti suasana.
Di lantai yang berdebu, tampak jelas dua pasang jejak sepatu yang bersilang, seolah-olah pemiliknya telah hilir mudik memeriksa setiap sudut rumah. Pola jejak itu menunjukkan langkah-langkah yang ragu, seakan mencari sesuatu atau memastikan tidak ada yang terlewat. Suasana semakin terasa menegangkan.
Pintu depan masih menganga, dengan bagian kuncinya terlihat sedikit rusak, seolah-olah dipaksa terbuka. Namun, yang aneh, sepeda motor yang biasa digunakan Nisa dan ibunya masih terparkir di tempatnya. Begitu pula dengan TV dan perabotan elektronik lainnya, semuanya tetap aman di posisi semula. Hal ini menegaskan satu hal—orang-orang yang masuk ke rumah tadi malam bukanlah perampok. Jadi, jika bukan untuk mencuri, lalu apa tujuan mereka sebenarnya?
"Nak, jangan sekolah dulu hari ini, ya. Ibu khawatir orang-orang tadi malam masih mengincar kita," ujar Bu Sari dengan nada cemas, matanya menatap Nisa penuh kekhawatiran. Ia menggenggam tangan putrinya erat, seolah ingin memastikan bahwa mereka tetap aman di dalam rumah.
"Iya, Bu... Nisa juga takut," lirih Nisa, suaranya hampir berbisik. Matanya menunduk, sementara jemarinya saling meremas, mencerminkan ketegangan yang masih menyelimuti dirinya.
"Bu, ini nggak beres... Sebenarnya ada apa di kampung kita ini?" tanya Kirana dengan nada gelisah. Matanya menatap Bu Sari penuh tanda tanya, sementara pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan yang semakin membuatnya resah.
"Ibu ndak paham juga, nak… Sudah hampir setahun ini kejadian teror seperti ini terjadi. Tapi biasanya, mereka nggak sampai masuk ke dalam rumah. Baru kali ini mereka benar-benar menerobos masuk," jelas Bu Sari dengan wajah penuh kecemasan. Suaranya bergetar, mencerminkan ketakutan yang selama ini hanya bisa ia pendam.
Mereka pun mulai membereskan rumah, berusaha menenangkan diri di tengah rasa cemas yang masih menggantung. Dengan peralatan seadanya, mereka mencoba memperbaiki pintu depan yang rusak akibat dobrakan tadi malam. Meskipun tidak sempurna, setidaknya pintu itu bisa tertutup kembali, memberikan sedikit rasa aman di tengah ketidakpastian yang menyelimuti mereka.
Pagi itu terasa begitu sunyi. Tidak ada riuh ibu-ibu yang biasanya sibuk berbelanja di warung, tidak banyak deru suara motor yang berlalu-lalang seperti dulu—hanya sesekali ada yang melintas. Kampung Sukatani perlahan berubah seperti kampung mati. Banyak penduduk yang sudah memilih pindah, meninggalkan desa ini demi mencari tempat yang lebih aman.
Di lingkungan rumah Kirana, suasana semakin terasa sepi. Rumah-rumah di kampung ini memang tidak berdekatan, dengan jarak sekitar 50 meter satu sama lain. Wajar saja, mayoritas penduduk di sini adalah petani dan pekebun, sehingga mereka lebih memilih lahan yang luas untuk bercocok tanam. Namun, kini tanah yang luas itu justru semakin menambah kesan sunyi dan mencekam.
Kampung ini memang tidak terlalu padat, hanya dihuni oleh sekitar 121 kepala keluarga. Namun, dengan beberapa di antaranya yang sudah pindah, suasana semakin terasa lengang. Sepi.
Mereka yang memilih bertahan memiliki alasan kuat—lahan dan kebun yang harus dijaga. Begitu pula dengan ibu Kirana, yang enggan meninggalkan tanah yang telah lama menjadi sumber penghidupannya.
Pagi di kampung ini tak lagi seramai dulu. Jalanan yang biasanya ramai oleh warga yang beraktivitas kini hampir kosong. Tak banyak yang berlalu-lalang, seolah semua orang memilih berdiam diri di rumah, menunggu sesuatu yang tak pasti.
"Kalian di rumah dulu, ya. Ibu mau belanja ke warung Bu Wani," ujar Bu Sari dengan nada tegas. Matanya menatap kedua putrinya lekat-lekat, memastikan mereka memahami apa yang ia katakan.
"Kunci pintu baik-baik. Pintu depan sudah Ibu buatkan palang, jendela juga sudah Ibu pastikan tertutup rapat. Jangan keluar atau buka pintu sampai Ibu pulang, mengerti?" lanjutnya, suaranya mengandung ketegasan sekaligus kekhawatiran.
Kirana dan Nisa hanya bisa mengangguk patuh, menyadari bahwa situasi ini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng.
"Iya, Bu… tapi jangan lama-lama, ya," lirih Nisa dengan nada khawatir. Matanya menatap ibunya dengan cemas, seolah takut sesuatu yang buruk akan terjadi. Tangannya menggenggam lengan Kirana erat, berusaha mencari sedikit rasa aman di tengah kegelisahan yang terus mengintai.
"Kirana, jaga adikmu baik-baik. Ibu nggak akan lama, kok," ujar Bu Sari, berusaha menenangkan mereka. Namun, nada suaranya tetap tegas.
"Ingat pesan Ibu. Jangan buka pintu untuk siapa pun," lanjutnya, menatap Kirana dengan penuh harap sebelum akhirnya beranjak pergi, meninggalkan kedua putrinya dalam rumah yang kini terasa semakin sunyi.
"lya bu" angguk Kirana.
.
.
Sudah satu jam berlalu. Jarum jam kini menunjukkan pukul 09.12 pagi, namun Bu Sari belum juga kembali.
Di dalam rumah, Kirana dan Nisa mulai gelisah. Kecemasan perlahan merayapi benak mereka, menciptakan berbagai kemungkinan buruk yang tak ingin mereka bayangkan. Nisa menggigit bibirnya, sementara Kirana mondar-mandir di dekat jendela, sesekali mengintip ke luar, berharap melihat sosok ibu mereka muncul di kejauhan.
Namun, yang ada hanyalah jalanan yang tetap sepi, sunyi seperti biasanya. Tak ada tanda-tanda kehadiran Bu Sari.
"Kak ini kok ibu belom balik juga ya? Udah hampir satu jam".
"Iya kok lama ya ibu, seingat kakak warung buk Wani yang dekat simpang 3 dekat surau itu kan? Harus nya gak lama kalo naik motor paling 10 menit nyampe".
"Biasa nya ibu belanja paling lama 30 menit kak, apa kita susul aja kak? Usul Nisa.
"Udah gak usah, mungkin ibu sekalian ada urusan makanya agak lama, lagian kan ibuk larang kita keluar rumah kan" sahut Kirana.
Hingga siang menjelang, Bu Sari masih belum juga kembali. Waktu terus berjalan, dan rasa lapar mulai mengusik perut Kirana dan Nisa. Dengan bahan seadanya, mereka mengolah nasi sisa semalam menjadi nasi goreng sederhana. Meski rasanya tak terlalu istimewa, setidaknya cukup untuk mengganjal perut yang sejak tadi terasa perih.
Namun, bahkan setelah mereka selesai makan, suasana tetap sama. Sudah dua jam sejak kepergian Bu Sari, tapi tak ada tanda-tanda suara motor yang biasa dikendarainya. Keheningan di luar semakin membuat hati mereka tidak tenang.
Kirana dan Nisa saling berpandangan, kegelisahan semakin menguat di benak mereka. Ke mana sebenarnya ibu mereka? Apa mungkin sesuatu telah terjadi di luar sana?
"Firasat ku kok gak enak gini ya? " batin Kirana.
Kirana segera ke dapur, mengambil pisau dapur ukuran kecil yang biasa di gunakan untuk mengiris bawang, tak lupa dia juga menuju ke pojok dapur mengambil sebilah golok yang berukuran sedang, golok itu biasa digunakan buk Nur untuk ke sawah,
Melihat gelagat kakaknya, Nisa kemudian bangkit dari duduknya, dan menyusul Kirana ke dapur.
"Kak Kirana ngapain megang golok buat apa?"
"Ini buat jaga jaga kalau kalau orang itu datang lagi, perasaan kakak gak enak dari tadi" ucap Kirana pelan.
Hari semakin siang........
Bu Sari belum juga kembali, jam sudah menujukan masuk waktu dzuhur, Kirana dan Nisa kemudian beribadah seperti biasa.
Kirana dan Nisa makin cemas, yakin pasti terjadi sesuatu pada ibunya.
Kirana mengambil ponsel nya dan menghubungi Azka.
Tuuuut...tuuut.. Tuuut..
"Halo assalamu'alaikum Kirana? "suara Azka disebrang sana terdengar.
"Walaikum sallam Az" sahut Kirana, Kirana kemudian menceritakan semua yang terjadi dikampung nya, meskipun kampung Sukatani jauh dari kota, untung nya ada signal internet disana jadi bisa dengan mudah menghubungi Azka.
"Ya Allah, kamu serius Kirana? Jadi sampe sekarang bu Sari belum pulang juga?"
"Iya Az tolong kamu kemari Az jemput Nisa, aku mau cari ibu dulu, ini udah gak beres Azka, dari tadi perasaan ku gak enak".
"Iya iya nanti aku usahakan ke sana ya, aku pamit sama bapak dulu".
"Iya dan tolong ya kalo bisa kamu kemari jangan sendirian, ajak temen, takutnya ada apa apa di jalan jadi kamu gak sendirian" ucap Kirana memberi saran pada Azka.
"Iya Kirana... yaudah aku tutup dulu ya... nanti kalo udah jalan aku kabarin" tutup Azka di sebrang sana...
yang semangat dong yang semangat dong
aku penasaran nih
semangat terus pokoknya author saya tunggu lanjutan eps nya👍🔥🔥🔥