Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.
Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.
Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PTP Episode 21
Calvin memasuki ruang rapat dengan langkah tegas. Para anggota dewan direksi yang sudah menunggu langsung mengalihkan perhatian mereka padanya.
"Selamat siang," sapa Calvin singkat sebelum duduk di kursinya, diikuti oleh beberapa eksekutif lainnya yang mengangguk hormat.
Rapat pun dimulai. Pembahasan hari ini cukup serius, mengenai laporan keuangan triwulan, strategi ekspansi bisnis, serta proyek baru yang sedang mereka jalankan.
Seorang pria berkacamata, Pak Herman, yang merupakan kepala divisi keuangan, membuka presentasi. "Seperti yang bisa kita lihat, laba bersih perusahaan meningkat 15% dibandingkan kuartal sebelumnya. Namun, ada beberapa sektor yang masih perlu ditingkatkan, terutama dalam efisiensi operasional."
Calvin mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk atau memberikan komentar singkat.
Diskusi pun berlanjut ke strategi pemasaran. Salah satu direktur pemasaran, Ibu Rina, memberikan pemaparannya. "Kami berencana untuk meningkatkan iklan digital dan memperluas jangkauan ke pasar internasional. Namun, kami butuh persetujuan anggaran tambahan untuk kampanye ini."
Calvin mengetuk ujung pulpennya ke meja, berpikir sejenak sebelum berkata, "Berapa besar tambahan anggaran yang dibutuhkan?"
"Kami memperkirakan sekitar 20% lebih tinggi dari anggaran sebelumnya," jawab Ibu Rina.
Calvin mengangguk, lalu menoleh ke arah Nadine yang duduk di sisi lain meja, mencatat poin-poin penting. "Nadine, pastikan anggaran ini dikaji kembali dan beri laporan rinci sebelum kita setujui."
"Baik, Pak," jawab Nadine cepat, meskipun hatinya masih sedikit terganggu oleh apa yang terjadi sebelumnya.
Rapat terus berlangsung selama hampir dua jam. Setelah semua agenda dibahas, Calvin akhirnya menutup pertemuan. "Terima kasih atas waktunya. Kita lanjutkan lagi di pertemuan berikutnya."
Para eksekutif mulai berkemas, sementara Calvin tetap duduk sejenak, menghela napas panjang. Nadine menghampirinya.
"Apa ada yang perlu saya lakukan lagi, Pak?" tanyanya formal.
Calvin meliriknya sekilas, lalu menggeleng. "Tidak untuk saat ini. Pastikan saja semua laporan tadi siap sebelum akhir minggu."
"Baik, Pak," jawab Nadine, tetapi ia tidak langsung pergi. Ia ragu sejenak, sebelum akhirnya bertanya, "Pak Calvin, boleh saya bertanya sesuatu?"
Calvin mengangkat alis, menatap Nadine dengan ekspresi datar. "Apa itu?"
Nadine menggigit bibirnya, ragu-ragu, tetapi akhirnya memberanikan diri. "Tentang Sartika... kenapa Bapak membawanya makan siang?"
Calvin menghela napas pelan. Ia sudah menduga akan ada yang bertanya soal ini. "Itu urusan pribadiku, Nadine. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Tapi semua orang membicarakannya," ujar Nadine, mencoba tetap tenang meskipun ada nada emosional dalam suaranya.
Calvin menatapnya lebih tajam. "Biarkan mereka bicara. Aku tidak peduli."
Nadine terdiam. Ia tahu Calvin bukan tipe orang yang peduli dengan gosip, tetapi entah kenapa, hal ini tetap mengusik hatinya.
Tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut, Calvin bangkit dari kursinya. "Kalau tidak ada hal lain, aku akan kembali ke ruanganku."
Nadine hanya bisa mengangguk, menahan semua pertanyaan yang masih bersarang di kepalanya.
Sementara itu, di luar ruang rapat, Sartika masih bekerja seperti biasa. Namun, tanpa ia sadari, semakin banyak mata yang memperhatikannya, termasuk satu tatapan penuh tanda tanya dari Nadine yang kini berdiri di ambang pintu.
Sartika terus bekerja dengan fokus, mencoba mengabaikan tatapan-tatapan yang tertuju padanya. Ia sadar betul bahwa kehadirannya bersama Calvin saat makan siang tadi telah menjadi bahan pembicaraan di kantor.
Sambil membersihkan salah satu meja di pantry, ia bisa mendengar beberapa karyawan berbisik di sudut ruangan.
"Baru sehari kerja, tapi sudah dekat dengan bos besar. Gimana ceritanya?" bisik salah satu wanita.
"Siapa tahu ada hubungan spesial," sahut yang lain dengan nada curiga.
Sartika berusaha menahan diri, berpura-pura tidak mendengar. Namun, hatinya mulai gelisah. Ia tidak ingin dianggap macam-macam di kantor, apalagi baru sehari bekerja.
Saat ia hendak beranjak keluar dari pantry, tiba-tiba suara Nadine terdengar dari belakang.
"Sartika," panggil Nadine tegas.
Sartika terkejut dan langsung berbalik. "Iya, Bu?"
Nadine menatapnya tajam, menyilangkan tangan di depan dada. "Bisa kita bicara sebentar?"
Sartika mengangguk pelan, mengikuti Nadine yang berjalan ke arah balkon kantor. Begitu sampai di sana, Nadine langsung menatapnya dengan ekspresi serius.
"Aku ingin tahu, apa hubunganmu dengan Pak Calvin?" tanyanya tanpa basa-basi.
Sartika terkejut dengan pertanyaan itu. "Tidak ada hubungan apa-apa, Bu. Saya hanya...."
"Kau hanya apa?" potong Nadine cepat. "Baru sehari bekerja, tapi sudah makan siang berdua dengannya. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Sartika menggigit bibirnya, merasa tidak nyaman. Ia tahu Nadine pasti berpikir macam-macam, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana menjelaskan semuanya tanpa menimbulkan lebih banyak kesalahpahaman.
"Saya hanya kebetulan diajak makan siang," jawab Sartika jujur.
"Tidak ada yang istimewa. Pak Calvin hanya membantu saya."
Nadine masih menatapnya penuh selidik. "Membantu? Maksudmu apa?"
Sartika terdiam sejenak, ragu untuk menjelaskan semuanya. Ia tidak ingin mengungkapkan keadaan sulitnya pada seseorang yang baru dikenalnya, apalagi asisten Calvin yang terlihat sangat protektif terhadap bosnya.
Namun, sebelum Sartika bisa menjawab, suara berat Calvin tiba-tiba terdengar dari belakang.
"Nadine," panggilnya.
Nadine langsung menoleh, terkejut. "Pak Calvin..."
Calvin melangkah mendekat, ekspresinya datar tetapi matanya tajam. Ia melirik Sartika sekilas sebelum kembali menatap Nadine.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya dengan nada tegas.
Nadine terlihat sedikit gugup, tetapi berusaha tetap tenang. "Saya hanya ingin tahu, Pak. Semua orang membicarakan ini. Saya pikir sebagai asisten Anda, saya berhak mengetahui apa yang sedang terjadi."
Calvin menatapnya lebih dalam, lalu menghela napas panjang. "Apa aku pernah memberi izin padamu untuk mencampuri urusan pribadiku?"
Nadine terdiam, tidak bisa menjawab.
Calvin melanjutkan, suaranya sedikit lebih tenang tetapi tetap tegas. "Sartika tidak melakukan kesalahan apa pun. Jika ada yang perlu ditanyakan, seharusnya mereka bertanya padaku, bukan menginterogasi seseorang yang bahkan belum genap sehari bekerja di sini."
Nadine menunduk, merasa malu. "Maaf, Pak. Saya hanya..."
Calvin mengangkat tangannya, menghentikan Nadine sebelum ia bisa melanjutkan. "Aku tidak ingin mendengar gosip atau spekulasi tidak penting di kantor ini. Fokuslah pada pekerjaanmu, Nadine."
Nadine mengangguk pelan. "Baik, Pak."
Calvin kemudian menoleh ke Sartika, yang masih berdiri diam dengan ekspresi canggung. "Kembali bekerja. Jangan pikirkan hal-hal yang tidak penting."
Sartika mengangguk cepat. "Iya, Pak."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Calvin berbalik dan meninggalkan mereka. Nadine masih berdiri di tempatnya, sementara Sartika buru-buru kembali ke pekerjaannya.
Namun, di dalam hati Nadine, ada perasaan tidak nyaman yang sulit ia jelaskan.
Sementara itu, Sartika merasa sedikit lega karena Calvin membelanya. Tapi di sisi lain, ia mulai menyadari bahwa kedekatannya dengan pria itu bisa menimbulkan lebih banyak masalah di kantor ini.
Setelah kejadian itu, Sartika berusaha lebih fokus pada pekerjaannya. Ia tidak ingin menarik perhatian lagi, apalagi setelah insiden dengan Nadine tadi. Namun, bukan berarti bisik-bisik di kantor berhenti begitu saja.
Di sudut ruangan, beberapa karyawan masih membicarakannya dengan suara pelan.
"Berani sekali Bu Nadine bertanya langsung ke OB baru itu," gumam salah satu karyawan.
"Iya, tapi yang mengejutkan, Pak Calvin malah membela Sartika," sahut yang lain.
Sartika pura-pura tidak mendengar dan terus membersihkan meja. Namun, dalam hati, ia tahu bahwa ia sudah terlanjur menjadi bahan pembicaraan.
Di dalam ruangannya, Calvin duduk di belakang meja, menatap layar laptopnya tanpa benar-benar fokus.
Pikirannya masih tertuju pada pertemuannya dengan Nadine tadi. Ia tahu bahwa kedekatannya dengan Sartika pasti menimbulkan banyak tanda tanya. Tapi ia tidak peduli.
Sartika berbeda dari orang-orang di sekelilingnya. Ia melihat sesuatu dalam diri wanita itu, sesuatu yang mengingatkannya pada dirinya sendiri di masa lalu.
Namun, belum sempat ia melanjutkan pekerjaannya, pintu ruangannya diketuk.
Tok tok tok.
"Masuk," ucapnya.
Pintu terbuka, dan Arman melangkah masuk. Ia menutup pintu di belakangnya dan langsung duduk di kursi di depan Calvin tanpa diundang.
"Kau terlihat sibuk, tapi aku tahu pikiranmu ada di tempat lain," ujar Arman dengan nada menggoda.
Calvin meliriknya sekilas lalu kembali menatap laptopnya. "Ada apa, Arman?"
Arman menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menyilangkan tangan. "Aku dengar ada gadis baru di kantor ini yang berhasil menarik perhatianmu."
Calvin berhenti mengetik dan menatap Arman tajam. "Dari siapa kau dengar itu?"
Arman terkekeh. "Cal, kau tahu sendiri bagaimana gosip menyebar di kantor ini. Aku baru masuk dan sudah ada tiga orang yang membahasnya."
Calvin menghela napas panjang. Ia mulai merasa terganggu dengan perhatian berlebihan yang tertuju pada dirinya dan Sartika.
"Aku hanya membantunya. Tidak lebih," jawabnya datar.
Arman mengangkat alis, seolah tidak percaya. "Oh? Jadi kau membawa seorang OB makan siang di restoran mahal hanya karena ingin membantu? Itu sesuatu yang bahkan kau tak lakukan untuk sebagian besar eksekutif di perusahaan ini."
Calvin mendengus. "Aku tidak perlu menjelaskan tindakanku pada siapa pun, termasuk kau."
Arman tertawa kecil, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Dengar, aku tidak peduli apa hubunganmu dengan wanita itu. Tapi aku ingin mengingatkanmu satu hal."
Calvin tetap diam, menunggu.
"Orang-orang di sekitar kita tidak pernah benar-benar peduli dengan niat baik. Mereka hanya melihat apa yang mereka ingin lihat. Dan sayangnya, dalam kasus ini, mereka melihat sesuatu yang bisa menjadi senjata melawanmu."
Calvin mengangkat alis. "Maksudmu?"
Arman menghela napas sebelum menjawab, "Aku tidak ingin melihatmu jatuh dalam permainan yang tidak bisa kau kendalikan. Kau tahu ada orang-orang yang menunggu kesempatan untuk menjatuhkanmu. Jangan biarkan mereka menggunakan wanita itu sebagai alat."
Calvin terdiam. Ia tahu Arman tidak berbicara tanpa alasan. Pria itu selalu bisa membaca situasi dengan baik.
Setelah beberapa detik hening, Calvin akhirnya berkata, "Aku tahu risikonya."
Arman tersenyum miring. "Bagus. Karena kalau kau memang tertarik pada wanita itu, kau harus siap dengan konsekuensinya."
Calvin menatap Arman dengan ekspresi tajam, tetapi tidak berkata apa-apa. Dalam hatinya, ia mulai bertanya pada dirinya sendiri…
Apakah benar ia hanya ingin membantu Sartika?
Ataukah ada sesuatu yang lebih dari itu?
Calvin menutup laptopnya dan menyandarkan tubuh ke kursi. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, merasa pikirannya semakin kacau.
Arman benar, gosip di kantor bisa menjadi senjata bagi orang-orang yang ingin menjatuhkannya. Dan sekarang, tanpa ia sadari, Sartika telah menjadi pusat perhatian.
Tapi yang lebih mengganggunya adalah pertanyaan yang mulai muncul di benaknya sendiri.
Kenapa ia peduli? Kenapa ia merasa perlu membela Sartika di depan Nadine tadi?
Sartika hanyalah seorang karyawan baru, seorang OB yang bahkan belum genap sehari bekerja. Seharusnya, Calvin tidak perlu repot-repot melibatkannya dalam urusannya. Namun, sejak pertemuan pertama mereka, ada sesuatu dalam diri wanita itu yang menarik perhatiannya.
Bukan karena fisiknya—meskipun Sartika memang memiliki pesona tersendiri. Bukan juga karena rasa kasihan. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang ia sendiri belum bisa pahami.
Arman mengamati ekspresi Calvin yang tampak berpikir keras. Ia tersenyum kecil, lalu bangkit dari kursinya.
"Kau tidak perlu buru-buru menemukan jawabannya sekarang," katanya sambil berjalan menuju pintu. "Tapi aku sarankan, jangan sampai perasaanmu mengacaukan logikamu."
Calvin tidak menjawab, hanya menghela napas panjang.
Saat Arman pergi, ia kembali termenung.
Ia adalah Calvin. Seorang pria yang selalu membuat keputusan berdasarkan akal, bukan perasaan. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama…
Ia merasa ragu.