NovelToon NovelToon
Sebuah Titik Di Horizon

Sebuah Titik Di Horizon

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:965
Nilai: 5
Nama Author: Gama Lubis

Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.


Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bicara

“Apa yang mau lo lakuin?” tanya Malik akhirnya, mencoba mengalihkan perhatian dari kegelisahannya.

“Tenang saja, percayakan semua padaku. Aku tahu bagaimana cara membuat dia berbicara,” jawab Susi dengan penuh keyakinan, senyum kecil masih terpasang di bibirnya. Ia melangkah maju, berputar ke arah Malik dengan ekspresi yang sulit dipahami. “Tapi, jangan kaget ya.”

“Kaget? Kenapa?” Malik mengangkat alis, sedikit ragu tapi penasaran. Dia memang ingin berbicara dengan Naima, tetapi sesuatu dalam dirinya juga merasa cemas. Ada aura misterius yang selalu mengelilingi gadis itu.

“Naima itu nggak seperti cewek-cewek pada umumnya, Lo tahu nggak?” Susi melirik sekilas ke arah Naima yang sedang asyik duduk di pojokan, berbicara dengan Sari. “Dia tuh agak liar, bukan liar dalam arti buruk, tapi lebih ke nggak bisa ditebak. Kadang bisa bikin lo bingung sendiri.”

Susi melipat tangan di dadanya, ekspresinya seperti sedang menyimpan rahasia besar. "Eng… dia tuh punya dua sisi. Di depan orang-orang, apalagi yang baru kenal, dia keliatan kalem, dingin, bahkan ansos." Susi berhenti sebentar, lalu tersenyum lebar. "Tapi kalo udah deket... siap-siap aja. Dia bisa berubah total."

Malik tertawa kecil, masih mencoba mencerna ucapan Susi. "Berubah total gimana? Maksud lo, dia jadi cerewet atau gimana?"

"Bukan cuma cerewet, Malik," Susi mendekat sedikit, seperti ingin menyampaikan sesuatu yang sangat rahasia. "Dia itu… suka iseng, suka bercanda sarkas, terus kalo udah nyaman, dia nggak akan segan-segan ngeledek lo sampai lo nyerah."

"Serius?" Malik berusaha membayangkan Naima seperti itu, tapi sulit. Gambarannya tentang gadis itu selama ini adalah seseorang yang selalu menjaga jarak, hampir seperti dinding yang sulit ditembus.

"Lo belum liat aslinya," lanjut Susi dengan nada menggoda. "Tapi kalo lo berhasil bikin dia ngomong banyak, itu berarti dia udah mulai nyaman sama lo."

Malik mengangguk pelan, mulai memahami apa yang Susi maksud. "Tapi kenapa dia keliatan dingin banget di depan orang baru? Apa dia emang nggak suka kenalan sama orang?"

"Sebenernya bukan nggak suka," jawab Susi, suaranya sedikit lebih serius sekarang. "Dia cuma hati-hati. Dia punya pengalaman buruk sama orang yang bikin dia nggak gampang percaya. Tapi kalo lo sabar dan nggak maksa, dia bakal ngeliatin sisi lain itu."

Malik mengangguk lagi, kali ini dengan pemahaman yang lebih mendalam. Dia menatap ke arah Naima yang sedang sibuk mengumpulkan sampah di kejauhan. Gadis itu tampak tenang, fokus pada pekerjaannya, sama sekali tidak menunjukkan sisi "liar" yang Susi bicarakan.

Susi menyenggol lengan Malik, menariknya kembali ke percakapan. "Jadi gimana, udah siap lihat sisi liarnya?"

Malik tertawa, menggeleng pelan. "Gw nggak tahu deh harus siap atau nggak. Tapi gw jadi makin penasaran."

"Bagus," Susi tersenyum penuh arti. "Gw suka kalo ada yang penasaran sama Naima. Itu berarti lo punya keberanian."

Malik tertawa lagi, tapi dalam hati dia tahu, ini bukan soal keberanian. Ini soal mencari cara untuk menembus dinding tebal yang dibangun oleh seorang gadis bernama Naima. Dan mungkin, jika dia cukup sabar, dia bisa melihat sisi lain yang selama ini tersembunyi dari pandangan kebanyakan orang. Sisi yang membuat Naima lebih dari sekadar gadis pendiam yang sering ia lihat dari kejauhan.

Mereka semakin dekat ke arah Naima, yang kini sedang duduk sendiri sambil membenahi tali sepatunya. Malik bisa merasakan napasnya sedikit tertahan. Dari kejauhan, gadis itu tampak tak terganggu oleh dunia di sekitarnya—tenang, fokus, dan penuh ketenangan yang sulit dijangkau.

“Hai, Aim!” seru Susi ketika mereka sudah cukup dekat.

Naima mendongak perlahan, tatapannya tenang namun penuh kewaspadaan. “Hm, apa?” jawabnya singkat, seperti biasa.

“Ini Malik, mau kenalan lebih dekat sama lo,” ucap Susi tanpa basa-basi, langsung duduk di samping Naima. Senyumnya penuh kepastian, seolah-olah rencananya tidak mungkin gagal.

Malik langsung merasa ingin membenamkan wajahnya ke tanah. “Susi...” gumamnya pelan, merasa canggung.

Naima hanya mengangkat alis, lalu menatap Malik dengan pandangan datar. “Oh, kita udah pernah kenalan, kan?” katanya, suaranya terdengar ringan, tapi tidak sepenuhnya ramah.

“Iya, waktu itu...” Malik menggantungkan kalimatnya, merasa seolah lupa cara berbicara.

“Waktu itu apa?” tanya Naima, nada suaranya datar namun sedikit menantang. Ia menatap Malik, matanya seperti mencoba membaca sesuatu di balik sikap kikuknya.

“Waktu itu... ya, waktu lo... waktu kita tabrakan,” Malik akhirnya menjawab, meskipun terdengar lebih seperti gumaman. Dia ingin terdengar santai, tapi kata-katanya malah melompat-lompat.

“Oh,” Naima menjawab pendek, kembali fokus mengambil sampah ke trash bag miliknya. Namun, tak lama, dari kejauhan terdengar suara teriakan yang cukup nyaring, dengan nada berlebihan.

“Aim, kakanda ini kurang apa, sayang, sampai Dinda rela mendua!”

Naima langsung mendongak, wajahnya menunjukkan campuran antara kesal dan bingung. Matanya menangkap sosok Bimo yang berdiri di atas batu karang, memegangi dada seperti aktor drama. “Woi, Bimo!” teriak Naima lantang, tanpa memedulikan sekitar. “Lo ngomong apa sih! Sekali lagi lo ngomong, gw sabet pake trash bag gw!”

Malik, yang berada di sebelah Naima, hanya bisa terpaku. Dia cukup kaget mendengar suara lantang itu keluar dari gadis yang dikenal pendiam dan terlihat cuek. Namun, ada kilatan geli di matanya saat menyaksikan interaksi tersebut.

Bimo, dengan santainya, melanjutkan aktingnya yang semakin dramatis. “Dinda! Inikah alasan Dinda menolak kanda? Demi pria lain yang kini ada di sisimu?” katanya, sambil menunjuk Malik dengan gaya yang terlalu teatrikal.

Naima menepuk dahinya, wajahnya berubah setengah frustrasi. “Nama gw Naima, bukan Dinda!” serunya, matanya tajam menatap Bimo yang masih berdiri dengan bangga di atas karang. “Turun lo dari situ, Bim, sebelum gw benar-benar datengin dan nyungsepkin lo ke sungai!”

Alih-alih takut, Bimo malah tertawa lebar, menatap Naima dengan tatapan jahil yang khas. “Santai dong, Aim. Gw cuma bercanda! Jangan galak-galak gitu, nanti Malik kabur.”

Mendengar namanya disebut, Malik langsung merasa canggung. “Uh, aku... nggak apa-apa kok,” ucapnya pelan, mencoba menenangkan situasi.

Naima menoleh sekilas, menatap Malik dengan pandangan yang lebih tenang. “Lo jangan dengerin dia, Malik. Dia itu emang tukang bikin masalah.” Setelah itu, dia kembali memfokuskan perhatiannya ke Bimo. “Dan lo, turun sekarang, Bim. Gw serius!”

Bimo melompat turun dari karang dengan gaya sok keren, lalu berjalan mendekat sambil mengangkat tangan seolah menyerah. “Oke, oke, tenang, kakanda menyerah. Tapi serius, Malik,” katanya sambil menepuk pundak Malik tiba-tiba. “Gw kagum lo bisa berdiri di samping dia tanpa kena sabetan trash bag. Gw aja hampir tiap hari kena.”

“Bim,” kata Naima dengan nada peringatan, mengayunkan trash bag miliknya seperti senjata.

Bimo langsung mundur sambil tertawa. “Santai, Aim. Gw cuma bercanda, kok!”

Malik tersenyum tipis, berusaha menahan tawa. Dia mulai melihat sisi lain Naima—sisi yang penuh energi dan jauh dari kesan dingin. “Kayaknya lo sering ribut sama dia, ya?” tanya Malik dengan nada menggoda, mencoba menghidupkan percakapan.

“Bukan ribut. Gw cuma berusaha bertahan hidup dari kejahilannya,” jawab Naima sambil mendengus pelan, tapi ada sedikit senyum di bibirnya.

Bimo menepuk dadanya dengan bangga. “Itu tandanya lo sayang sama gw, Aim. Ngaku aja, gw tahu lo sebenernya nggak bisa hidup tanpa gw.”

“Lo beneran mau gw sabet, ya?” balas Naima cepat, mengayunkan trash bag-nya lagi.

Bimo tertawa keras, mengangkat tangan seolah minta ampun, lalu pergi menjauh dengan langkah santai. Naima hanya menggelengkan kepala, wajahnya menunjukkan campuran antara kesal dan geli. Malik, di sisi lain, hanya tersenyum, merasa bahwa ia baru saja menyaksikan dinamika unik yang membuat Naima terlihat lebih hidup.

“Dia selalu kayak gitu?” tanya Malik akhirnya.

Naima mendesah pelan. “Iya. Tapi dia temen yang baik, kok. Selama lo nggak kebawa drama dia, semuanya aman.”

Malik tertawa kecil, menatap Naima dengan penuh rasa ingin tahu. “Gw ngerti kenapa banyak orang nyaman di sekitar lo. Lo ternyata punya cara sendiri buat bikin suasana hidup.”

Naima menatap Malik sejenak, sedikit terkejut dengan ucapannya. Tapi, dia hanya mengangkat bahu, kembali fokus pada pekerjaannya. “Hidup itu sederhana, kok. Lo cuma perlu tahu kapan harus sabar, dan kapan harus sabet trash bag,” katanya dengan nada setengah serius.

Malik tertawa lagi, merasa bahwa mendekati Naima adalah tantangan yang menarik sekaligus menyenangkan. Naima mungkin terlihat rumit, tapi semakin dia mengenalnya, semakin dia merasa bahwa di balik semua itu, ada seseorang yang sangat apa adanya—dan itu membuatnya semakin ingin tahu.

Ekor mata Malik menangkap sosok Susi yang berdiri tak jauh di belakang mereka. Gadis itu tersenyum lebar, mengacungkan jempolnya dengan gaya penuh kemenangan. Di sebelahnya, Bimo juga ikut-ikutan, melayangkan jempol dengan ekspresi jail sambil menahan tawa. Malik mendesah pelan, menyadari bahwa interaksi tadi bukan sekadar kebetulan.

Ah, jadi ini rencana mereka, pikir Malik. Sebuah rencana yang melibatkan Bimo untuk memancing perhatian Naima, agar dia mau berbicara dengannya. Malik menoleh sekilas ke arah Naima, yang sekarang sudah kembali sibuk dengan trash bag-nya, tampak tak menyadari permainan kecil yang sedang terjadi di belakangnya.

Dia menelan ludah. Kalau Naima sampai tahu bahwa Susi—dan tentu saja Bimo—yang merencanakan ini, Malik yakin gadis itu tidak hanya akan marah, tapi mungkin juga akan mengayunkan trash bag-nya ke kepala mereka semua. Diam-diam, dia merasa bersalah karena menjadi bagian dari “konspirasi kecil” ini.

Malik mengalihkan pandangannya kembali ke Susi. Gadis itu masih mengacungkan jempolnya, lalu membuat gerakan mendorong seolah berkata "Lanjutkan bicara!" dari kejauhan. Bimo, di sisi lain, menirukan gerakan menyabet trash bag sambil tertawa kecil, jelas mengolok-olok risiko yang sedang diambil Malik.

Malik hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Dia tidak tahu apakah harus melanjutkan percakapan ini atau mundur pelan-pelan sebelum Naima menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Tapi di satu sisi, ini mungkin adalah kesempatan yang tidak akan datang dua kali.

Dengan hati-hati, dia mencoba membuka percakapan lagi. "Eh, Naima," panggilnya pelan.

Naima menoleh, alisnya terangkat sedikit. "Apa?"

Malik terdiam sejenak, merasa gugup. Namun, dia menguatkan diri, mengingat tujuan awalnya. "Tadi waktu Bimo manggil lo 'Dinda,' itu cuma bercanda, kan? Maksudnya, dia suka bercanda kayak gitu ke semua orang, atau... gimana?"

Naima mendesah, jelas sedikit lelah dengan ulah Bimo. "Dia emang suka bercanda nggak jelas. Lo jangan diambil serius. Gw udah biasa."

Malik mengangguk pelan, mencoba mencari celah lain untuk melanjutkan percakapan. Dari kejauhan, Susi kembali memberi isyarat "Ayo terus!" sambil memutar tangan seperti pelatih sepak bola yang menyuruh pemain maju.

Dengan sedikit ragu, Malik akhirnya berkata, "Tapi gw jadi penasaran. Lo beneran nggak kesel sama dia? Gw liat tadi lo sempet mau nyabet dia pake trash bag."

Naima menatapnya sejenak, lalu tertawa kecil, suara yang jarang didengar Malik sebelumnya. "Kesel sih, pasti. Tapi itu Bimo. Kesel sama dia percuma, dia malah makin seneng."

Malik ikut tersenyum, merasa sedikit lega karena setidaknya berhasil membuat Naima tertawa. "Kayaknya lo udah lama banget temenan sama dia, ya?"

"Setahun, mungkin," jawab Naima sambil melipat trash bag yang sudah penuh. "Bimo itu nyebelin, tapi kalo lo butuh bantuan, dia bakal jadi orang pertama yang nongol. Jadi ya... meskipun ngeselin, dia temen yang baik."

Dari kejauhan, Susi terlihat menutup mulutnya, tampak menahan diri untuk tidak bersorak. Malik hanya bisa berharap Naima tidak menyadari peran Susi dalam semua ini. Dia merasa bahwa percakapan mereka akhirnya mulai berjalan lancar—meski dengan sedikit dorongan dari duo perencana licik di belakangnya. Tapi mungkin, untuk sekarang, lebih baik membiarkan rahasia itu tetap tersembunyi.

1
sSabila
Hai kak aku udah baca beberapa part dan sudah aku like, ceritanya bagus banget kak

Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"

Ditunggu ya kak
Beerus
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
gamingmato channel
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
☯THAILY YANIRETH✿
Mantap jiwaa!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!