Tiga gadis desa yang memiliki pemikiran sama, tidak mau menikah muda layaknya gadis desa pada umumnya. Mereka sepakat membuat rencana hidup untuk mengubah citra gadis desa yang hanya bisa masak, macak dan manak di usia muda, menjadi perempuan pintar, santun, dan mandiri.
Nayratih, dan Pratiwi terlahir dari keluarga berada, yang tak ingin anak mereka menikah muda. Kedua orang tua mereka sudah berencana menyekolahkan ke luar kota. Terlebih Nayratih dan Pratiwi dianugerahi otak encer, sehingga peluang untuk mewujudkan citra perempuan desa yang baru terbuka lebar.
Tapi tidak dengan, Mina, gadis manis ini tidak mendapat dukungan keluarga untuk sekolah lebih tinggi, cukup SMA saja, dan orang tuanya sudah menyiapkan calon suami untuk Mina.
Bagaimana perjuangan ketiga gadis itu mewujudkan rencana hidup yang mereka impikan? ikuti kisah mereka dalam novel ini.
Siapkan tisu maupun camilan.
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PETUAH YANG DIHARAPKAN
Sesalah-salahnya anak, hati seorang ibu tidak akan tega melihat anak gadisnya diusir dari rumahnya sendiri. Pandangan iba dari hadirin semakin membuat nelangsa sang ibu, namun bagi Mina moment ini menjadikan ia kuat. Setiap langkah saat meninggalkan halaman rumah, ada tekad untuk membuktikan bahwa pilihannya tidak salah.
Berbekal uang dua ratus ribu, yang diselipkan sang ibu dan kresek merah yang berisi beberapa baju, Mina berjalan kaki menuju rumah Tiwi.
Sakit kepala sekaligus kaki yang capek tak ia rasa sama sekali, malam ini yang ia inginkan hanya ke rumah Tiwi. Menumpahkan segala sesak di dada pada sahabatnya itu.
Hujan mulai turun kala Mina baru saja masuk ke rumah Tiwi, bersyukur disambut Bu Dyah, ibu Tiwi yang mungkin tahu sebab kedatangan Mina malam itu.
"Di minum, Min!" ucap Bu Dyah ramah, sembari menyodorkan secangkir teh hangat. Tiwi ternyata masih ke luar. Katanya mau beli nasi goreng.
"Mau cerita?" tanya Bu Dyah lembut. Beliau menyodorkan setoples kacang goreng dan puding di depan Mina sembari mengamati sahabat sang putri denga seksama.
Mina hanya bisa menunduk, tak lama terdengar isakan tangis yang tertahan di dada. Bu Dyah langsung mendekati dan memeluk Mina. Hanya mengelus punggung gadis itu dengan lembit.
"Assalamualaikum!" teriak Tiwi yang masuk begitu saja tanpa menoleh ke ruang tamu, maklum bajunya sedikit basah. Hujan mulai deras. Tiwi mengambil sendok dan piring sembari mengomel karena harus mengganti baju dulu padahal perutnya sudah meronta.
"Ibu, ibu di mana sih? Pintu depan di buka! Hujan loh? Sholat kah?"
"Gak usah teriak-teriak, MasyaAllah anak gadis ibu!" tegur ibu dari ruang tamu, masih menenangkan Mina.
"Ngapa, Lah Mina?" buru-buru Tiwi menuju sumber suara, ngapain juga di ruang tamu, dan lagi dirinya kok ya gak sadar kalau ada Mina, mana sedang dipeluk ibu lagi. Ada apa?
"Ada apa?" tanya Tiwi pada sang ibu dengan kode mata, dan gerakan bibir. Ibu hanya mengedikkan bahu.
Selera makan hilang sudah, Tiwi tak peduli dengan nasi goreng yang sudah dimakannya hanya satu sendok itu, ia curiga dengan kehadiran Mina.
"Kamu kenapa, Min?"
Empati Tiwi 0%, tanya kondisi Mina seperti introgasi pada maling saja, spontan Bu Dyah memberi sorot mata tajam pada sang putri.
"Mina, kamu kenapa?" Tiwi mengulan pertanyaan dengan nada lembut, menuruti saran dari ibu.
Mina mengambil tisu, mengelap mata dan tak lupa ingus yang sempat keluar. Wajah Tiwi semakin penasaran, apalagi ibu memberi kode untuk melihat ke arah kaki Mina, yang terdapat kresek merah besar.
"Kamu diusir, Min?" tanya Tiwi tak sabar. Mina hanya bisa mengangguk.
"Kok bisa?" makin emosi saja putri Bu Dyah ini.
"Pelan-pelan napa, Wi! Mina juga biar ambil nafas dulu, kasih air kek, jangan langsung gas pertanyaan gitu!" saran ibu yang diangguki Tiwi.
Setelah minum teh, dan ambil nafas Mina sedikit lebih tenang. Genggaman tangan Bu Dyah tak lepas sedikit pun, Tiwi malah bersilah di depan Mina dengan wajah kepo.
"Nungguin yah?" goda Mina dengan suara seraknya, memaksa tertawa pula. Tiwi yang kesabarannya hanya setipis tisu langsung nampol Mina dengan bantal sofa.
"Dih, gak ngerasa kalau ditunggu!" balas Tiwi dengan sinis.
"Iya aku diusir!"
"Sama?" ibu dan anak ini kok kompak banget, pertanyaan dan nadanya pun hampir mirip.
"Ayah! Atas permintaan Pak Sul!" ucap Mina lalu mengambil tisu, menangkupkan wajah ke dalam kedua telapak tangan, pertanda untuk cerita pun berat.
"Pak Sul? Pak Camat?" tanya Ibu yang belum paham hubungan Pak Sul dengan keluarga Mina. Melihat Mina saat ini, Tiwi tak tega. Ia pun menceritakan kondisi sebenarnya keluarga Mina, termasuk pernikahan dengan Pak Sul. Ibu tentu shock, tak bisa dibayangkan kalau sampai menikah juga. Mina masih kecil begitu pemikiran ibu, padahal beliau sangat paham bagaimana tradisi anak perempuan di sini.
"Sabar!" ucap ibu sambil memeluk Mina dari samping, moment inilah yang diharapkan Mina. Ada sebuah tangan yang bisa memeluknya hingga merasa tenang. Tentu tak bisa diharapkan dari ibunya, malah orang lain.
"Maafkan kedua orang tua kamu, biar jalan kamu nanti lancar meski jauh dari mereka!" sambung ibu kemudian. "Sesalah-salahnya orang tua, pasti di hati kecil mereka terselip doa untuk semua anaknya."
"Ayah marah besar, memang ibu ikut terlibat perjodohan ini, tapi beliau sangat sedih ketika aku diusir oleh ayah!" Mina mencoba menceritakan bagaimana raut sang ibu saat dirinya keluar dari rumah.
"Begitulah seorang ibu, hatinya terlalu lembut untuk sang anak. Kasih sayang beliau sepanjang masa. Rencananya kamu bagaimana?" Bu Dyah lebih banyak mendominasi pembicaraan malam ini, Tiwi bawaannya emosi mulu, alhasil Bu Dyah yang pegang kendali agar Mina segera tenang.
"Saya mau kerja ke luar kota dulu, Bu!" jawab Mina pelan, sambil menundukkan kepala. Terkesan ragu dengan ucapannya.
"Gak mau kuliah?" tanya Bu Dyah lagi.
"Kuliah aja deh, Min. Hutang dulu ke ibu!" sebuah saran yang perlu dipertimbangkan lebih lagi, sang ibu langsung melirik ke Tiwi. Bukan gak mau bantu, menguliahkan anak di Indonesia ini perlu biaya yang besar, sedangkan Bu Dyah hanya seorang guru swasta, single parent. Menabung untuk pendidikan Tiwi saja disisihkan dari tunjangan sertifikasi guru.
"Salah ya, Bu!" cengirnya tanpa rasa berdosa. Mina menatap interaksi ibu dan anak sangat hangat, andai sang ibu bisa komunikasi enak dengan sang anak tentu Mina tak perlu melakukan pemberontakan. Ah sudahlah, Mina tak bisa memilih dari rahim siapa ia dilahirkan, harus ikhlas menerima takdir seperti ini.
"InsyaAllah saya kuliah nanti, Bu. Menabung dulu!"
"Luar kota mana, Min?"
Mina menatap Tiwi sebentar, "Mungkin satu kota dengan tempat Tiwi dan Nayratih. Bayangan Mina, setidaknya masih ada teman di kota baru!"
"Plus kalau gak punya uang bisa pinjam kita berdua!" ceplos Tiwi yang langsung mendapat tatapan tajam dari ibu. Duh, punya anak gadis kok mulutnya kayak rem blong. Mina tertawa pelan, ia tak marah ataupun tersinggung dengan ucapan Tiwi, karena ia tahu Tiwi bercanda.
"Maafin Tiwi ya, mulutnya minta ditabok tuh!" sahut Ibu yang tak enak pada Mina.
Mina menggeleng, "Gak pa-pa, Bu!"
"Ya sudah kalau begitu, berangkat ke luar kotanya bareng kita saja. Ibu sudah menyewa mobil untuk mengantar Tiwi. Nay bagaimana, Wi?"
"Berangkat lusa katanya, Bu!"
"Gimana?"
"Bareng Tiwi saja, Bu!" ucap Mina yang memang sejak lama lebih nyaman dengan Tiwi daripada Nayratih, meski Nay baik, tapi bagi Mina masih ada rasa sungkan, mungkin karena perbedaan ekonomi antara Nay dan Mina sangat jauh.
"Istighfar yang banyak, sholawat yang banyak. Berpikir positif, niatkan bekerja untuk bisa sekolah, menuntut ilmu!" ucap Bu Dyah di akhir obrolan malam ini. Sungguh Mina sangat tenang dengan petuah beliau, dan rasa percaya diri untuk mewujudkan impiannya semakin kuat.
Bismillah.