Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Hanya Boleh Menelponku
"Paha ayam gorengnya boleh dimakan?" Vaniza memandang bude Romlah yang memasukan sepotong ayam goreng crispy kedalam piringnya.
"Tentu boleh saja cah ayu, spesial buat Vaniza yang cantik," lembut bude Romlah.
"Yeay! Akhirnya bisa makan paha ayam goreng!"
Romlah tertawa melihat tingkah Vaniza, apalagi melihat dua bocah kakak beradik itu makan begitu lahap, hatinya menghangat, serasa mereka anaknya sendiri.
"Ini, uang jajan buat cah ayu dan ini buat cah bagus."
Vaniza dan Vino kompak menggeleng, hanya memandangi uang kertas pecahan 10 ribuan yang disodorkan masing-masing didepan mereka.
"Kenapa? Kurang banyak?" heran bude Romlah.
"Kata kak Vina, tidak boleh menerima uang dari siapapun kecuali dari kak Vina," cicit Vaniza.
"Iya bude," Vino yang pendiam ikut bersuara.
"Cah ayu dan cah bagus yang pinter, bagus itu," puji bude Romlah.
"Tapi ini uang kak Vina kok, jangan sungkan. Semalam kakak Vina kalian mengirim uang yang buaaanyak tenan ke rekening bude untuk kalian, adik-adiknya," tangan bude Romlah spontan ikut mengembang.
"Kapan kakak Vina pulang bude?" serobot Vaniza. Ia berusah menahan tangis mendengar nama kakaknya disebut wanita itu. Selama ini, ia tidak pernah berpisah barang sehari, begitu pula halnya dengan Vino, hanya saja bocah laki-laki itu masih bisa menyembunyikan kesedihannya.
"Kakak Vina kalian masih kerja, nanti kalau sudah beres, pasti pulang. Yang penting cah ayu sama cah bagus sekolah yang rajin, jaga kesehatan, dan tidak boleh keluyuran," wanita itu mengusap kepala kedua bocah itu, dalam benaknya ia dapat merasakan kesedihan keduanya.
"Ayo sekarang bersiap, ini bekal kalian, bude sudah siapin," bude Romlah kembali meletakan dua kotak makanan didepan dua bocah itu, setelah memasukan uang jajan kedalam saku mereka masing-masing.
Vaniza turun dari kursinya, ia berlari memutar lalu memeluk wanita itu dengan sangat erat.
"Bude baik sekali... baik seperti kakak..." tangis Vaniza meledak, bercampur rasa rindunya pada sang kakak yang tidak ia lihat sejak kemarin.
Tak sanggup menahan haru, bude Romlah turut menangis saat Vino ikut memeluknya.
...***...
"Apa yang kamu cari?"
"Hape saya, tuan," aku terus mengobrak abrik isi tas kuliahku, tapi tetap tidak kutemukan.
"Hape jelek ini?"
Aku mendongak, benar saja, itu ponselku yang sudah diplastik rapi. Aku berusaha merampas dari tangannya, berharap pria yang pantas ku panggil om itu tidak mengutak atiknya, karena ada beberapa pesan teman-teman priaku yang tidak sempatku hapus, walaupun isinya biasa saja.
"Ini pantasnya dibuang," pria itu langsung menjatuhkan ponselku ke tempat sampah yang ada disebelah kakinya.
Aku berang.
"Tuan tidak pantas melakukan itu, hape itu milik saya tuan!"
"Kamu pakai ini saja," sambil mengeluarkan benda pipih berwarna pink, tanpa rasa bersalah sama sekali.
"Warna kesukaanmu bukan? Seperti semvak dan bra-mu," datarnya, tapi penuh nada ejekan.
Ingin rasanya kucekik dia sampai mati.
Demi menjaga suasana hatiku tetap kondusif di kampus pagi ini, aku gegas membuka sabuk pengamanku, membuka pintu mobil, tapi tidak bisa terbuka.
"Jangan dipaksa, nanti rusak. Cukup pintu ruang kerjaku saja," tegurnya.
"Pegang ini," ia menaruh ponsel pink itu dalam genggamanku.
"Kamu hanya boleh menelponku saja, karena itu nomor baru, nomor lamamu sudah kuhancurkan, banyak nomor kontak para pria aneh yang tak penting didalamnya."
Aku lemas. Bukannya menyayangkan nomor-nomor kontak yang ia maksudkan, tapi nomor bude Romlah, kalau sudah begini, bagaimana aku bisa menghubungi adik-adikku, aku begitu frustrasi menghadapi pria itu.
"Keluarlah, ambil diktat-diktatmu di ruang dekanmu, aku sudah membayar semuanya termasuk tunggakan SPP-mu."
Aku tidak menjawab, tanganku menekan tombol pintu disampingku, kali ini langsung terbuka.
"Kamu tidak bilang terima kasih?" suara datar itu kembali menginterupsi
Aku merotasi bola mataku malas.
"Terima kasih, tuan," ucapku enggan.
"Ingat, jangan coba-coba kabur, itu pasti sia-sia," imbunya, kembali mengingatkan, sebelum aku menutup pintu.
...***...
"Kesiangan? Pantas tidak kaya-kaya, rejekinya dipatuk ayam duluan!" cibir Anggi, melihat Romlah tetangganya yang baru saja datang dan tengah membuka kiosnya.
Ingin rasa menimpali, tapi Romlah berfikir itu tidak ada gunanya, hanya buang-buang energi, sayang kan pagi-pagi sudah bad mood.
"Aku menunggu Vino dan Vaniza berangkat ke sekolah dulu baru ke pasar jeng," jujurnya kalem, seperti biasanya.
"Oh, mereka masih dirumahmu? Begitu sudah tabiat mereka, dikasih hati, mesti minta jantung, langsung numpang! Saya sudah hafal kelakuan mereka selama ini!" cerocos Anggi bagai kereta api.
Keduanya menjadi pusat perhatian sesama pedagang dan beberapa pembeli yang ada didekat mereka, karena Anggi tidak bisa pelan saat sedang berbicara, selalu saja nyaring dan bertempo tinggi.
"Bukan begitu jeng, si Vina belum pulang, dia..."
"Keluyuran kan?! Dasar anak gadis pemalas! Enak-enakan aja main kesana-kemari, adiknya ditinggal! Nyusahin tetangga aja!" potongnya dengan suara yang semakin kencang.
"Bukan keluyuran jeng, tapi kebetulan baru dapat kerja yang jauh, tidak sempat pulang. Saya malah dikirim uang yang lumayan banyak untuk ongkos kedua adiknya," Romlah gegas menyambung ucapannya yang sempat terputus.
"Heleh! Paling juga kerjaannya yang nggak bener itu! Masa belum sehari kerja sudah dikasih banyak uang? Paling dia menjual diri sama om-om tua yang kesepian, jelek, cebol, dan gendut!"
"Ya ampun jeng Anggi ini, itu keponakannya sendiri lho. Bukannya dicariin begitu tau nggak pulang... eh, malah diomongin yang nggak-nggak. Bibi macam apa itu?" salah satu pedagang yang sudah tidak tahan mendengarnya langsung angkat suara, sambil mengibas-ngibaskan handuk kecilnya kepunggung kirinya yang terasa gatal.
"Heh, laki-laki tua bangka, jangan ikut campur ya!" Anggi yang emosi langsung menunjuk-nunjuk.
"Sudah-sudah, malu dilihat orang," Romlah menegur keduanya. Benar saja, atensi sebagian besar pengunjung pasar sedang menatap mereka dengan berbagai ekspresi.
...***...
🎵Nit-nat-nit-not nitnat-nitnot🎶Nit-nat-nit-not nitnat-nitnot🎵
Bimo menatap layar ponsel jadul yang berkedip-kedip hitam putih, masih mesin yang lama, hanya casingnya saja yang baru ia beli, yang lama sudah ia jatuhkan kedalam tempat sampah didepan mata Vina bererapa menit lalu sebelum gadis itu keluar dari mobilnya.
Sejak kemaren sore, ia sengaja mematikannya, muak melihat nama Heru Mardani terus menelpon tanpa henti.
Ujung ibu jarinya menekan tombol hijau lalu loudspeaker.
📞"Ha-halo Vina, akhirnya..." terdengar suara desahan kelegaan.
📞"Gue cemas, elu menghilang bak ditelan bumi. Pasti gara-gara Riska kan? Maafin ya, gue memang payah... sampai Riska nampar elu kemaren... ini salah gue... gue..."
📞"Jadi yang menampar Vina namanya Riska?"
Hening sejenak.
📞"I-ini siapa?" Terdengar suara kebingungan diseberang sana.
📞"Menurutmu?"
📞"M-maaf Om, saya fikir tadi Vina. Saya Heru Om, ketua HiMa Fakultas Akuntansi. Kami sebentar lagi akan mengadakan bina akrab dengan mahasiswa baru, jadi Vina sebagai wakil saya di HiMa wajib ikut Om. Acaranya di kawasan Lembah Hijau pinggiran kota."
📞"Vina tidak boleh ikut."
📞"Tapi Om, Vina wajib ikut Om, dia bertugas untuk mengenalkan Fakultas kami Om," suara Heru berusaha memberi penjelasan.
📞"Kamu fikir saya tidak tahu apa niat kamu? Jangan coba-coba dekati'n Vina lagi, atau saya kebiri kamu."
Tut.
Bersambung...✍️
🤣