Update Sebulan Sekali (Opsional)
Local Galactic Group, dimensi yang menjadi ajang panggung pertarungan para dewa dalam siklus pengulangan abadi. Noah, Raja Iblis pertama harus menghadapi rivalitas abadinya, Arata, Dewa Kegilaan akan tetapi ia perlahan menemukan dirinya terjebak dalam kepingan-kepingan ingatan yang hilang bagaikan serpihan kaca. The LN dewa pembangkang yang telah terusir dari hierarki dewa. Mendapatkan kekuatan [Exchange the Dead] setelah mengalahkan dewa Absurd, memperoleh kitab ilahi Geyna sebagai sumber kekuatan utama.'Exchange the Dead' kemampuan untuk menukar eksistensi dan mencabut jiwa sesuka hati, mampu menukar kematian ribuan kali, menjadikannya praktis tak terkalahkan menguasai kitab ilahi Dathlem sebagai sumber kekuatan tambahan menciptakan makhluk-makhluk rendah dengan satu bakat sihir sebagai perpanjangan kekuasaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kematian adik dan Kekuatan Tergelap Noah
Noah baru saja akan membuka portal menuju dunia berikutnya ketika dia merasakan kehadiran energi asing yang familiar. Sebelum dia sempat bereaksi, sebuah kilatan keperakan melesat menembus udara.
"LERA!"
Teriakan Noah memecah keheningan, tapi terlambat. Pedang Agroname telah menembus tubuh adiknya dari belakang. Di ujung pedang itu, Arata berdiri dengan senyum dingin yang mengerikan.
"Maaf aku terlambat untuk pertunjukan utama," Arata berkata, memutar pedangnya perlahan. "Tapi kurasa masih ada waktu untuk epilog yang menarik."
Lera terbatuk, darah menetes dari sudut bibirnya. Exiriazurna-nya — jiwa murni yang selama ini menjadi sumber kekuatannya — mulai bereaksi dengan Agroname, menciptakan resonansi yang mengerikan.
"Kakak..." Lera berbisik lemah, tubuhnya mulai bercahaya dengan energi yang tidak stabil.
Noah bergerak secepat kilat, menangkap tubuh Lera sebelum jatuh. Dia bisa merasakan bagaimana Exiriazurna adiknya mulai tercabik oleh kekuatan Agroname — pedang kuno penghapus sumber daya esensial divine.
"Bertahanlah," Noah menggeram, mencoba menyalurkan energinya untuk menstabilkan kondisi Lera. Tapi dia tahu ini berbeda dari luka biasa. Agroname tidak hanya melukai fisik, tapi juga mengoyak inti jiwa.
"Percuma," Arata tertawa kecil. "Agroname dirancang untuk memburu jiwa-jiwa murni seperti adikmu. Exiriazurna-nya akan hancur perlahan-lahan, dan dengan itu, seluruh keberadaannya."
Noah menatap Arata dengan kebencian yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Venuszirad di tangannya beresonansi, merespon amarahnya dengan gelombang energi kehancuran yang menggetarkan udara.
"Kau..." Noah bangkit perlahan, tapi sentuhan lemah Lera menghentikannya.
"Jangan, kak..." Lera berbisik. "Jangan biarkan... kebencian menguasaimu... seperti Alnaturyu..."
Air mata Noah jatuh saat dia melihat cahaya di mata adiknya mulai meredup. Exiriazurna Lera mulai memecah menjadi serpihan-serpihan cahaya yang melayang ke udara.
"Aku tidak mau pergi..." Lera terisak pelan. "Masih banyak tempat yang ingin kukunjungi bersamamu..."
"Tidak," Noah menggeleng keras, memeluk tubuh adiknya yang semakin ringan. "Kau tidak akan pergi ke mana-mana. Aku baru saja mendapatkan kekuatan ini. Aku pasti bisa—"
"Kakak," Lera tersenyum lemah, mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Noah. "Terima kasih... sudah menjadi kakak terbaik..."
Tubuh Lera mulai transparan, Exiriazurna-nya hampir sepenuhnya hancur. Noah bisa merasakan bagaimana keberadaan adiknya perlahan menghilang dari dunia ini.
"Lera..." suara Noah bergetar. "Kumohon..."
"Berjanjilah..." Lera berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. "Berjanjilah untuk tetap... menjadi Noah yang kukenal... Noah yang selalu... mencari keseimbangan dan berteman baik dengan temanku Enah..."
Dengan kata-kata terakhir itu, tubuh Lera sepenuhnya berubah menjadi serpihan cahaya yang melayang ke udara. Exiriazurna-nya hancur berkeping-keping, meninggalkan Noah yang berlutut dengan tangan kosong.
Arata mengamati pemandangan itu dengan ekspresi puas. "Mengerikan kau tidak bisa menyelamatkan nya, sekarang setelah gangguan kecil ini selesai—"
Kata-katanya terhenti ketika merasakan perubahan di udara. Energi yang mengalir dari tubuh Noah berbeda dari sebelumnya — lebih gelap, lebih berbahaya.
"Gangguan kecil?" suara Noah terdengar asing bahkan di telinganya sendiri. Dia bangkit perlahan, dan tanah di sekitarnya mulai retak. "Kau menyebut nyawa adikku... gangguan kecil?"
Venuszirad di tangannya beresonansi dengan intensitas yang belum pernah terlihat sebelumnya energi yang jauh lebih murni. Energi kehancuran murni mulai mengalir dari pedang itu, bercampur dengan kekuatan dewata Noah yang kini dipenuhi amarah.
"Oh?" Arata mengambil kuda-kuda, Agroname berkilau di tangannya. "Apa ini? Sang pembawa keseimbangan akhirnya kehilangan kendali?"
Noah tidak menjawab. Matanya yang biasanya keemasan kini berubah menjadi hitam pekat dengan cincin api putih di tengahnya. Di tangannya, Venuszirad mulai berubah bentuk menjadi semakin liar, merespon perubahan di hati pemegangnya.
"Tidak bisa dimaafkan kau Arata!"
Suara Noah menggelegar, membuat udara bergetar. Tanah di sekitarnya hancur seketika, menciptakan kawah raksasa yang terus melebar. Venuszirad di tangannya kini memancarkan aura hitam kemerahan yang belum pernah terlihat sebelumnya — manifestasi dari amarah dan duka yang tak terbendung.
Arata, yang tadinya tersenyum congkak, mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa. Energi yang menguar dari Noah berbeda dari yang dia perhitungkan. Ini bukan lagi kekuatan seorang kandidat Dewa Utama — ini adalah sesuatu yang jauh lebih purba, lebih mengerikan.
"Kau..." Noah melangkah maju, dan setiap langkahnya membuat realitas di sekitarnya hancur. "Berani-beraninya..."
Serangan pertama Noah begitu cepat hingga Arata nyaris tidak bisa melihatnya. Venuszirad menghantam tubuh dengan kekuatan yang membuat sayatan hebat yang melukai esensial inti jiwa. Gelombang energi dari benturan itu menghancurkan bebatuan di sekitar mereka menjadi debu.
"Tunggu—" Arata mencoba membalas, tapi Noah sudah menghilang dari pandangan.
"Teknik Divine: Langli]!"
Dalam sekejap, Noah muncul di berbagai titik secara bersamaan, setiap bayangannya mengayunkan Venuszirad dengan presisi mematikan. Arata berusaha menangkis, tapi serangan datang menghujam Arata terlalu banyak, terlalu cepat.
"Argh!" Arata menjerit ketika salah satu tebasan merobek bahunya. Darah mengucur, tapi bukan itu yang membuatnya takut. Ada sesuatu dalam energi Noah yang terasa... tidak. Seolah keseimbangan alam semesta sendiri mulai goyah.
"Storm of Destruction [Jignovac]!"
Noah mengangkat Venuszirad tinggi-tinggi, dan realitas di sekitar mereka mulai pecah seperti kaca. Dari retakan-retakan itu, energi kehancuran murni mengalir keluar, menciptakan badai yang mengoyak segalanya.
Arata merasakan ketakutan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Tubuhnya gemetar tanpa bisa dia kendalikan. Ini bukan pertarungan yang bisa dia menangkan — bahkan bukan pertarungan yang bisa dia selamat darinya.
"Matilah." Noah mengangkat tangannya, dan lingkaran-lingkaran sihir raksasa muncul di langit.
"TIDAK!" Arata berteriak panik. Dengan gerakan putus asa, dia menghunuskan Agroname ke tanah.
Portal dimensional terbuka di bawah kaki Arata, dan tanpa pikir panjang, dia melompat masuk. Ketakutan telah sepenuhnya menguasainya — ketakutan akan kekuatan yang bahkan dia sendiri tidak pahami.
"PENGECUT!" Noah menerjang, tapi terlambat. Portal sudah menutup, menelan Arata ke dimensi entah berantah.
Noah berdiri di tengah kehancuran 100 cahaya akibat semua kekuatan dari Venuszirad, napasnya memburu. Perlahan, cahaya di matanya mulai meredup, kembali ke warna aslinya. Venuszirad berhenti bergetar, seolah ikut menenangkan diri.
"Lera..." Noah berbisik, jatuh berlutut. Air matanya jatuh, bercampur dengan debu kehancuran. "Maafkan aku... Aku gagal menepati janji terakhirmu..."
Angin berhembus pelan, membawa serta serpihan-serpihan cahaya terakhir dari Exiriazurna Lera. Di kejauhan, struktur dunia lain dengan yang lain saling bertubrukan, menciptakan hujan bebatuan yang sangat mengerikan.
Noah bangkit perlahan, matanya menatap horizon. Dia tahu Arata masih hidup di suatu tempat, bersembunyi dalam ketakutan. Dan selama pembunuh adiknya masih bernapas, dia tidak akan berhenti mencari.
Tapi kali ini akan berbeda. Demi Lera, demi janjinya, dia harus menemukan cara untuk memburu Arata tanpa kehilangan dirinya sendiri dalam kegelapan. Karena itulah yang Lera inginkan — seorang kakak yang tetap menjaga keseimbangan, bahkan dalam dendamnya.
"Tunggu aku, Arata," Noah berbisik, menggenggam erat Venuszirad. "Kita akan bertemu lagi. Dan saat itu tiba... aku akan membuat perhitungan dengan caraku sendiri."
Arata terhempas keluar dari portal dimensional, tubuhnya gemetar hebat. Darah masih mengalir dari luka di bahunya — luka yang seharusnya bisa dia sembuhkan dengan mudah, tapi entah mengapa tetap terasa membakar. Ada sesuatu dalam energi Noah yang menghalangi proses penyembuhannya.
"Mustahil..." dia berbisik pada dirinya sendiri, masih belum bisa melupakan apa yang baru saja dia saksikan. "Kekuatan itu... tidak mungkin..."
Tapi ingatannya membantah. Mata hitam dengan cincin api putih itu, energi yang mengoyak realitas, aura yang membuat seluruh eksistensinya gemetar ketakutan — semua itu nyata. Terlalu nyata.
Dengan tangan bergetar, Arata mengeluarkan gulungan kuno dari dimensi penyimpanannya. Gulungan yang selama ini dia simpan sebagai referensi tentang legenda para dewa. Ketika membukanya, matanya terpaku pada satu paragraf khusus:
"Dan akan datang seorang raja yang melampaui para dewa, yang dalam dirinya mengalir darah para leluhur pertama. Matanya akan membawa kehancuran dan energi Dewata melampaui para leluhur, dan kekuatannya akan mengguncang fondasi realitas itu sendiri. Dia adalah Raja Iblis Pertama yang terlahir, pembawa keseimbangan sekaligus kehancuran..."
"Tidak..." Arata menggeleng keras, gulungan di tangannya jatuh ke tanah. "Noah... dia tidak mungkin..."
Tapi semua tanda-tandanya ada di sana. Kemampuan Noah menggunakan Venuszirad dengan sempurna, kekuatannya yang bisa menyegel Alnaturyu, dan sekarang... transformasi mengerikan ini.
"Raja Iblis Pertama..." Arata tertawa getir. "Pantas saja dia bisa memisahkan esensi Alnaturyu. Pantas saja dia bisa menciptakan dunia seperti Enesberno. Itu semua kekuatan yang hanya dimiliki oleh..."
Kata-katanya terputus ketika merasakan resonansi aneh dari Agroname. Pedang di tangannya bergetar ketakutan — sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan senjata legendaris ini mengakui kehadiran kekuatan yang jauh melampaui dirinya.
"Apa yang telah kulakukan?" Arata berbisik ngeri, menyadari kebodohannya. "Aku baru saja membunuh adik dari... Raja Iblis Pertama..."
Dalam kepanikannya, Arata mulai memahami situasinya. Dia tidak hanya telah membangkitkan amarah seorang kakak yang kehilangan adiknya. Dia telah membangunkan kekuatan purba yang seharusnya tetap tertidur — kekuatan yang bahkan para dewa sendiri takutkan.
Arata bangkit dengan tergesa, mengabaikan rasa sakit di tubuhnya. Dia harus bergerak. Harus bersembunyi. Tapi ke mana? Dimensi mana yang cukup jauh untuk menghindari amarah Raja Iblis Pertama?
"[Search]," Arata membentuk segel dengan tangan gemetar, mencoba melacak keberadaan Noah.
Matanya melebar ketika melihat hasil pelacakannya. Energi Noah telah menyebar ke berbagai dimensi, seperti jaring laba-laba yang perlahan tapi pasti akan menemukannya. Bahkan sekarang, dia bisa merasakan bagaimana realitas di sekitarnya mulai beresonansi — Noah sudah mulai berburu.
"Aku harus menemukan cara..." Arata menggenggam Agroname erat. "Harus ada cara untuk menghentikannya... atau setidaknya menyegel kekuatan itu..."
Tapi dalam hati, Arata tahu. Tidak ada yang bisa menghentikan Noah sekarang. Tidak setelah apa yang dia lakukan pada Lera. Yang bisa dia lakukan hanyalah berlari dan bersembunyi, berharap amarah Raja Iblis Pertama tidak menemukannya.
Karena jika Noah menemukannya... bahkan kematian akan terasa seperti belas kasihan dibanding apa yang menunggunya.
Tiba-tiba, di tengah kepanikannya, sebuah pikiran melintas di benak Arata. Dia terdiam, matanya menerawang jauh sementara tangannya masih menggenggam erat Agroname yang bergetar.
"Tunggu..." bisiknya pada diri sendiri. "Mungkin ini bukan akhir..."
Agroname berdenyut di tangannya, seolah merasakan perubahan dalam pikiran tuannya. Arata menatap pedang legendaris itu, mengamati bagaimana cahayanya meredup dan menguat dalam irama yang aneh.
"Kau juga merasakannya, kan?" Arata berbicara pada pedangnya. "Ketakutan ini... kekuatan yang jauh melampaui kita... tapi bukankah itu justru membuktikan bahwa masih ada tingkatan kekuatan yang belum kita capai?" dia berbicara entah pada siapa.
Sebuah senyum gelap perlahan terbentuk di wajahnya. Ya, dia ketakutan. Ya, dia sedang diburu oleh makhluk yang bahkan para dewa takuti. Tapi justru karena itulah...
"Jika aku terus lari, aku hanya akan mati ketakutan seperti tikus," Arata mengangkat Agroname, mengamati pedang nya — pedang kuno yang dirancang khusus untuk menghapus esensi jiwa. "Tapi jika aku bisa mendapatkan kekuatan yang setara... atau bahkan melampaui para Dewa Perang..."
Arata memejamkan mata, memusatkan konsentrasinya. Pikirannya hanya tertuju pada kekuasaan dan kekuatan.
"Luqavarfa..." nama itu terasa seperti racun di lidahnya.
Dengan tekad baru, Arata membuka [Transfer Dimensional]. Kali ini bukan untuk melarikan diri, tapi untuk mencari kekuatan. Di Luqavarfa, konon dua Dewa Perang terkuat — Athulya sang Penguasa dan Nurgha sang Dewa pengadilan — diberikan kedudukan karena mencegah hal Absurd serta menegakkan hukum leluhur.
"Jika aku bisa mengalahkan mereka..." Arata melangkah ke dalam portal, "...mungkin aku bisa mendapatkan kekuatan yang bahkan bisa menandingi Raja Iblis Pertama. Tidak masalah walau sedikit."
Portal dimensional menutup di belakangnya, membawanya turun ke kedalaman Luqavarfa. Udara di sini terasa berat dan beracun, dipenuhi energi chaos yang bahkan membuat Agroname mengeluarkan dengungan pelan.
Di kejauhan, dua sosok megah berdiri di atas singgasana kristal hitam — Athulya dan Nurgha dalam wujud dewa mereka yang agung. Energi divine mengalir dari tubuh keduanya, membuat udara bergetar dan realitas berkerut di sekitar mereka.
Athulya, dengan jubah putihnya yang berkibar tanpa angin, adalah yang pertama menyadari kehadiran Arata. "Dewa Arthur Fartha — Artha..." suaranya bergema seperti guntur. "Beraninya kau mengin—"
*slash*
Kata-kata Athulya terputus. Sebuah garis tipis muncul di lehernya, dan dalam sekejap, kepalanya terpisah dari tubuhnya. Bahkan Nurgha belum sempat bereaksi ketika sosok Arata muncul di belakang rekannya, Agroname berkilat dalam energi ungu gelap.
*slash*
Kedua kepala dewa itu jatuh bersamaan, menggelinding di lantai kristal sebelum tubuh mereka ambruk. Tidak ada darah — hanya cahaya putih yang memudar, tanda esensi divine mereka tercerai.
Arata berdiri di antara kedua mayat dewa itu, Agroname masih terangkat dalam posisi tebasan terakhir. Matanya kosong, dingin, tanpa setitik pun keraguan atau penyesalan.
"Soul Absorption [Ejesnemut]," bisiknya pelan.
Dua orb cahaya — satu putih keemasan, satu hitam keunguan — melayang dari tubuh kedua dewa, tertarik ke dalam bilah Agroname. Pedang itu bergetar hebat, menyerap kekuatan divine yang jauh melampaui kapasitas normalnya.
Seluruh proses tidak memakan waktu lebih dari tiga detik. Dua Dewa Perang telah jatuh bahkan sebelum mereka menyadari apa yang terjadi. Tidak ada dialog. Tidak ada gertakan. Hanya efisiensi brutal yang bahkan membuat udara beracun Luqavarfa terasa membeku.
Arata menatap kedua tubuh di hadapannya. Athulya sang Penguasa dan Nurgha sang Dewa Pengadilan — tumbang oleh tebasan yang bahkan tidak mereka lihat datang. Mungkin mereka mengira tidak ada makhluk yang cukup gila untuk menyerang mereka secara langsung. Mungkin mereka terlalu terbiasa dengan protokol dan formalitas dunia dewa.
Tapi Arata tidak punya waktu untuk itu. Tidak ketika Noah masih memburu. Tidak ketika setiap detik bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati.
"Satu langkah," bisiknya, merasakan kekuatan baru mengalir dalam pembuluh darahnya dan Agroneme memiliki kekuatan darah Dewa perang yang berpijar. "Ini baru langkah pertama..."
Udara Albensiris terasa berbeda — lebih ringan namun dipenuhi jejak energi kuno yang membuat bulu kuduk meremang. Arata melangkah keluar dari portal dimensional, Agroname masih bergetar pelan di tangannya, resonansi kekuatan Athulya dan Nurgha belum sepenuhnya terserap.
Pemandangan di hadapannya membuat dia terpaku sejenak. Albensiris adalah dunia yang seolah terbalik — langit berwarna hitam pekat dengan bintang-bintang putih yang berpendar, sementara tanah di bawahnya memancarkan cahaya keperakan lembut. Pohon-pohon kristal menjulang tinggi, daun-daun mereka berdering setiap kali angin berembus.
Arata mengaktifkan kemampuan pelacaknya yang kini diperkuat oleh esensi dua Dewa Perang.
Matanya melebar ketika merasakan respons. Puluhan — tidak, ratusan titik energi divine tersebar di seluruh Albensiris. Beberapa lemah, beberapa menengah, tapi ada satu yang bersinar sedikit lebih terang.
"Oihen..." nama itu keluar seperti desisan dari bibir Arata.
Dewa Perang yang konon memiliki kekuatan untuk mengendalikan energi Albensiris yang membuatnya menjadi penguasa. Berbeda dengan Athulya dan Nurgha yang lebih sering berdiam di singgasana mereka, Oihen dikenal sebagai pemburu — berkelana di setiap ujung dunia ke ujung lainnya, mencari pertarungan yang bisa memuaskan dahaganya akan tantangan.
Arata tersenyum tipis. Setidaknya ini berarti dia tidak perlu repot-repot mencari sang dewa.
Tapi sebelum itu...
Arata mengangkat Agroname.
*slash* *slash* *slash*
Tiga dewa minor yang bersembunyi di balik pohon-pohon kristal tumbang tanpa suara. Esensi divine mereka mengalir ke dalam Agroname, menambah kekuatan yang sudah ada.
"Soul Absorption [Ejesnemut],"
"Maaf," gumam Arata tanpa ada penyesalan dalam suaranya. "Tapi aku butuh setiap tetes kekuatan dan darah dewa perang yang bisa kudapatkan —" Arata memegang Agroneme kuat pedang yang selalu dia banggakan.
Dia melanjutkan perjalanannya, bergerak dari satu titik ke titik lain. Setiap dewa yang dia temui — tidak peduli sekecil apapun kekuatan mereka — dia bantai tanpa ragu.
Setelah menghabisi belasan dewa minor, Arata merasakan perubahan di pedangnya. Energi divine yang mengalir dalam Agroname kini bergejolak lebih kuat.
"Sudah lama tidak ada yang berani berburu di wilayahku," suara berat itu menggetarkan udara. "Apalagi berburu dewa-dewa kecilku."
Arata membuka matanya perlahan. Di hadapannya berdiri Vaiest, salah satu komandan pasukan Oihen yang terkenal dengan julukan "Sang Eksekutor".
"Maaf mengacaukan teritorimu," Arata mengangkat Agroname ke posisi siaga, "tapi aku punya urusan dengan tuanmu."
Vaiest tertawa, suaranya bergema di seluruh hutan. "Dan kau pikir bisa mencapai Baginda Oihen dengan membantai dewa-dewa kecil? Naif."
"Tidak," Arata menggeleng. "Tapi setiap tetes darah divine yang kuserap membawaku satu langkah lebih dekat untuk mengalahkannya."
"Hmph. Aku layani keinginanmu." Vaiest mengangkat tangan kanannya, dan sebuah kapak raksasa materialisasi dari ketiadaan. "Biar kutunjukkan perbedaan kekuatan kita."
Arata tidak menjawab. Dia menutup matanya sejenak, dirinya tau tidak terlalu menguasai pertempuran jarak jauh jadi Agroneme dipusatkan kekuatan energi beresonansi dengan realitas para dewa yang telah dibunuh — darah bercampur memoles pedang Agroneme.
Arata melesat ke depan dengan kecepatan yang bahkan membuat Vaiest terkejut. Kapak raksasa sang komandan berbenturan dengan Agroname, menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan lebih banyak pohon.
"Tidak buruk," Vaiest menyeringai. "Tapi masih terlalu lemah!"
Kapak raksasanya bergerak dalam arc lebar, membawa kekuatan yang cukup untuk membelah gunung. Tapi Arata tidak bergerak menghindar - justru Arata membiarkan sedikit darah menyebar ke senjata musuhnya untuk melemahkan.
*SLASH!*
Kapak Vaiest menebas udara kosong saat Arata bergerak mundur dengan perhitungan presisi. Seringai tipis tersungging di wajahnya — gerakan itu bukan untuk menghindar, melainkan memberi ruang bagi darah divine yang telah dia sebarkan untuk bekerja.
"Kau..." Vaiest tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh pada kapaknya. Energi asing mengalir di sepanjang senjata itu, terasa seperti ribuan jarum es yang menusuk-nusuk.
"The Blood of Divine [Ih Goneajd]!" kata Arata.
Dalam sekejap, darah divine yang telah menyebar di kapak Vaiest berubah menjadi benang-benang merah berpendar yang menembus sendiri spiritual mereka. Benang-benang itu melesat bagai ular berbisa, menembus pertahanan jiwa sang komandan.
"ARGHH!" Vaiest mengerang, tubuhnya gemetar hebat. Kapak di tangannya bergetar, mencoba melawan invasi energi asing yang menggerogoti.
"Kau terlalu fokus pada kekuatan fisik," Arata melangkah maju perlahan. "Darah para dewa yang kubunuh... mereka tidak hanya memberiku kekuatan. Mereka memberiku akses ke dunia spiritual mereka."
Vaiest mencoba mengayunkan kapaknya lagi, tapi gerakannya kaku dan tidak terkoordinasi. Benang-benang darah divine telah menginfeksi jalur energinya, membuat setiap gerakan terasa seperti menyeret tubuh di dalam lumpur.
"Bajingan... apa yang kau lakukan?!"
"Setiap dewa memiliki signature spiritual mereka sendiri," Arata menjelaskan sambil terus melangkah maju. "Saat kau membunuh mereka dengan cara tertentu, signature itu bisa dimanipulasi. Diubah menjadi senjata yang melampaui batasan fisik."
Arata mengangkat Agroname, mata pedangnya berkilat dengan energi ungu gelap. "Dan saat ini, belasan signature spiritual sedang mengoyak jiwamu dari dalam."
"Tidak... tidak mungkin!" Vaiest mencoba melepaskan kapaknya, tapi sudah terlambat. Benang-benang darah divine telah mencengkeram terlalu dalam, menciptakan jaring spiritual yang membelenggu jiwanya.
Benang-benang darah berpendar semakin gelap, kemudian menyentak dengan kekuatan luar biasa. Jeritan Vaiest memenuhi udara saat jiwanya tercabik-cabik dari dalam. Tubuhnya mulai retak, energi divine merembes keluar dari celah-celah yang terbentuk.
"Ini... tidak seharusnya... aku yang dibanggakan oleh tuanku Dewa Oihen..."
"Aku sudah lama melampaui batas-batas biasa," Arata mengayunkan Agroname untuk pukulan terakhir. "Dan setelah ini, kekuatanmu akan membawaku satu langkah lebih dekat pada Oihen."
Tinju keras — *slash* kepalanya terpenggal.
Tubuh Vaiest meledak darah berceceran seperti hujan deras — tidak jatuh dalam tanah, meninggalkan pusaran energi divine yang dengan cepat tersedot ke dalam Agroname. Arata memejamkan mata, merasakan kekuatan baru mengalir dalam pembuluh darahnya.
Tapi dia tidak punya waktu untuk beristirahat. Di kejauhan, dia bisa merasakan gerakan-gerakan energi yang familiar — para komandan Oihen yang lain telah menyadari kematian rekan mereka.
Udara bergetar dengan derap kaki kuda-kuda raksasa yang mendekat. Dari kejauhan, dua belas sosok menjulang di atas tunggangan mereka yang segelap malam — para komandan Oihen yang tersisa. Kuda-kuda perang mereka bukan makhluk biasa; tubuh berotot dengan tinggi hampir empat meter, mata merah menyala, dan aura yang menguar dari setiap langkah mereka.
Arata tidak menunggu mereka mendekat. Dia melesat ke depan, Agroname teracung. Sayatan demi sayatan diluncurkan, mengaktifkan salah satu kemampuan yang dia dapat dari darah divine yang telah diserap. Waktu seolah melambat di sekitarnya, memberikan kesempatan untuk menganalisis formasi musuh-musuhnya.
Para komandan membentuk formasi sabit, bermaksud mengepungnya dari segala arah. Tapi ini justru membuat mereka lebih rentan.
"The Blood of Divine [Ih Goneajd]!" Arata menghujamkan Agroname ke tanah. Darah divine yang tersimpan dalam pedang menyembur keluar, membentuk jaring-jaring merah yang menjalar cepat di permukaan tanah.
Dua komandan terdepan menyadari bahaya terlambat. Kuda-kuda mereka menginjak jaring darah, dan dalam sekejap tungkai-tungkai kokoh itu membeku, terjebak dalam kristalisasi blood divine yang merambat cepat ke atas.
"Formasi Bulan Sabit!" teriak salah satu komandan. "Jangan biarkan dia—"
Terlambat. Arata sudah berada di tengah-tengah formasi mereka, berputar bagai badai dengan Agroname sebagai pusatnya. Darah divine yang menyelimuti pedang menciptakan jejak merah di udara, membentuk pola-pola mematikan yang memotong armor divine seolah itu hanya kertas.
Tiga komandan tumbang dalam sekejap, tubuh mereka tercabik sebelum sempat bereaksi. Kuda-kuda mereka meringkik nyaring sebelum lenyap dalam ledakan.
"Dia menggunakan darah melawan kita!" teriak komandan lain. "Jaga jarak! Gunakan serangan jarak jauh!"
Tombak-tombak melesat dari segala arah, tapi Arata sudah mengantisipasi ini.
"Blood Bouclier [Jierio]" Lapisan darah divine mengkristal di sekitar tubuhnya, menangkis sebagian besar serangan. Beberapa tombak berhasil menembus, menggores armor dan kulitnya, tapi Arata tidak melambat.
Dia melompat ke udara, Agroname menghitam kemerahan dengan energi yang diperkuat — Kepadatan darah dan Ketajaman Agroneme.
[Blood Xue] Tetesan-tetesan darah divine menghujani area pertempuran, setiap tetes membawa signature spiritual yang mematikan. Para komandan yang tersisa menjerit ketika darah itu menembus tubuh dan tulang mereka, menginfeksi jalur energi mereka dari dalam.
"Mustahil!" salah satu dari mereka berteriak di tengah rasa sakit.
Arata mendarat di tengah kekacauan, matanya berkilat dingin. "Kau tidak pernah mendengar cerita soal Dewa Utama Arzhanzou Arthur Fartha, aku adalah Arata — seorang dewa."
Dalam hitungan menit, pertempuran berakhir. Dua belas komandan Oihen tergeletak tak bernyawa, essence mereka mengalir ke dalam Agroname yang kini berdenyut dengan kekuatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Arata mengangkat wajahnya ke langit Albensiris. Di kejauhan, dia bisa merasakan kehadiran yang begitu kuat hingga membuat udara bergetar — Oihen telah menyadari kehadiran dan kekuatannya.
"Sekarang," Arata menggenggam Agroname erat, "saatnya menghadapi sang pemburu."
apa maksudnya begini,
Mengapa Dia hanya memikirkan hiburan untuk dirinya hingga membuat kita mati mempertahankan sebuah 'nyawa'.
mungkin bagus jika kalimatnya begitu. coba dipertimbangkan.