Tak sekedar menambatkan hati pada seseorang, kisah cinta yang bahkan mampu menitahnya menuju jannah.
Juna, harus menerima sebuah tulah karena rasa bencinya terhadap adik angkat.
Kisah benci menjadi cinta?
Suatu keadaanlah yang berhasil memutarbalikkan perasaannya.
Bissmillah cinta, tak sekedar melabuhkan hati pada seseorang, kisah benci jadi cinta yang mampu memapahnya hingga ke surga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3
Saat makan malam, Yura kehilangan nafsu makan karena semua terasa hambar, mulutnya seperti pahit untuk sekedar menelan salivanya sendiri.
Juna yang sudah memeriksanya tadi siang mengatakan kalau Yura ada gejala batuk pilek.
Sedikit banyak, Yura merasa heran dengan sikap kakak angkatnya, pasalnya ada perubahan besar yang terjadi dalam diri Juna. Pria itu belakangan bersikap agak lembut, meski kesan dingin belum sepenuhnya lenyap, tapi perubahannya cukup signifikan.
Bayangkan saja, sudah lebih dari dua tahun menjadi dokter umum, baru kali ini Juna memeriksa Yura. Bahkan dia sendiri yang pergi ke apotik untuk mencari obat yang pas.
Padahal sebelumnya jangankan memeriksanya, dia justru memarahi Yura karena terlalu lalai dengan kesehatan, pernah di tegur berisik ketika batuk-batuk.
Ada juga sekali nyeletuk kalau Yura terus-terusan mengabaikan kesehatan, jangan pernah mengharap umur panjang, sebab selain di tentukan oleh takdir, kesehatan juga mempengaruhi usia seseorang.
Yang membuat Yura sakit hati, saat itu Juna mengatakannya dengan nada membentak. Yura yang hatinya sangat sensitive, otomatis meneteskan air mata.
"Makan, biar cepat sembuh" Kata Juna yang tiba-tiba muncul.
"Ini obatnya!" Juna meletakkan empat macam obat di atas meja makan, lalu duduk bersebrangan dengan Yura. "Yang ini di makan dua kali sehari sebelum makan" Dia menunjuk obat dengan kemasan hijau. "Yang ini antibiotik, harus habis" Tambahnya kali ini menunjuk kemasan warna pink. "Ini vitamin, dan ini sirupnya untuk batuk pilek. Tiga ini diminum lima menit setelah makan, Faham!"
"Iya" Sahut Yura, lesu.
"Makan yang banyak, jangan sampai badanmu berubah jadi lidi, nanti nggak ada laki-laki kualitas premium yang mau sama kamu"
Yura melirik Juna sebal, lalu beralih ke mamahnya yang malah sedang tersenyum jahil.
"Bagus kalau nggak ada yang mau!" Seloroh Jazil di iringi seulas senyum. Sepasang matanya melirik Juna dan Yura bergantian. "Biar Juna aja yang nikahi Yura"
"Uhuk uhuk" Juna seketika tersedak mendengar ucapan mamahnya.
Sementara Yura menatap Jazil tak percaya.
Konyol, itulah yang ada dalam fikiran Yura saat ini. Bagaimana bisa, orang yang sangat membencinya, dan suka sekali membuli habis-habisan, akan menjadi teman hidup?
Masih terekam jelas sikap Juna yang selalu menyalahkan Yura dalam kondisi apapun. Entah dia kelupaan membawa buku PR ke sekolah, berantem dengan temannya, atau jika Jazil memarahinya, maka Juna akan melampiaskan kemarahannya pada Yura, dan menyalahkannya.
Tidak, lagipula mana mungkin aku mencintainya? Sepertinya nggak akan pernah bisa.
Meski kata orang mas Juna adalah pria tampan dan sudah mapan, tapi tidak di mataku. Penampilannya memang rapi, tapi wajahnya benar-benar membosankan. Rambutnya panjang, ada kumis tipis di atas bibirnya, juga jambang yang mengotori wajahnya.
Iihh..
Yura mendengkus geli di sela-sela ucapan batinnya.
"Nggak apa-apa kan Jun, nikah sama Yura?" Tanya Jazil penuh harap.
"Ogah nikah sama lidi"
"Lidi apa an si, nak. Menurut mamah badan Yura cukup bagus. Kurus, tinggi, langsing, cantik juga kan"
"Terlalu kurus, iya" Celetuk Juna sambil menyiduk nasi ke piringnya.
"Mah, aku ke kamar ya" Sambar Yura seraya bangkit.
"Loh, makan dulu sayang"
"Nggak enak, mah. Kepalaku sakit, pengin istirahat"
"Ya sudah kamu ke kamar saja, nanti mama bawakan makanan ke kamarmu"
Yura mengangguk kemudian berkata. "Permisi, mah"
"Iya, hati-hati sayang"
"Hmm" Sahut Yura yang sudah melangkahkan kaki meninggalkan ruang makan.
Seperginya Yura, Juna mendadak bengong dengan pikirannya. Ia menyadari bahwa kata-katanya barusan mungkin sudah menyakiti hati adiknya. Pria itu pun seperti menyesal dan merasa bersalah.
"Juna, kamu ini bukan anak kecil lagi, kamu sudah dewasa, hilangin dong rasa iri kamu ke Yura. Mau bagaimanapun, mamah sama papa kan nggak pernah beda-bedain kamu dan Yura. Kalian sama-sama anak mamah, kalau kalian dalam bahaya, mamah pasti akan menolong kalian berdua" Ucap Jazil panjang lebar. "Kamu, Yura, mas Angga, mas Rezki, kalian anak-anak mama, sama-sama penting dalam hidup mamah. Dosa loh, dzolim sama anak yatim piatu, dan selama ini kamu sudah jahat sama adik kamu"
"Iseng aja mah, nggak serius juga" Elaknya seperti tanpa rasa bersalah.
"Serius atau enggak, tetap saja nggak boleh bully adik sendiri"
"Ya udah mamah nggak usah bilang lagi nyuruh-nyuruh nikahin Yura. Aku khilaf, ngatain dia yang enggak-enggak jadinya"
"Ya kalau kalian menikah memangnya kenapa? Nggak ada salahnya kan?"
"Jelas salah dong mah"
Jazil tak lagi menimpali, dia hanya menggelengkan kepala, lalu melanjutkan mengahabiskan sisa nasi di piringnya.
****
Selesai makan, Jazil pergi ke kamar Yura dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk dan juga sayur.
Pelan, wanita berusia lima puluh lima tahun itu membuka pintu kamar Yura.
Sepasang matanya langsung mendapati Yura tengah berbaring di atas ranjang begitu pintu terbuka. Dengan seulas senyum, Jazil melangkah masuk, kemudian duduk di tepian ranjang tepat di samping Yura.
Yura sendiri langsung bangkit dan duduk menyandarkan punggung pada headboard.
"Makan dulu, sayang" Perintah Jazil. "Mama suapin, ya?"
"Aku belum lapar, mah"
"Tapi kamu harus makan. Inget kata mas Juna kan? HARUS MAKAN" Tekannya. "Setelah itu minum obat biar cepat sembuh"
Yura menggeleng dengan bibir kering yang mengatup rapat. Seperti benar-benar belum merasa lapar.
"Apa mau makan bakso aja, bakso yang tadi siang mas Juna beli, masih lho. Mau mama panasin?"
"Mau mah!" Jawab Yura penuh semangat.
"Okay, mama panasin dulu, ya"
"Iya"
Baru saja Jazil bangkit dari duduknya, Juna tiba-tiba masuk, satu tangannya membawa segelas air, satu tangan lainnya membawa obat milik Yura.
"Loh, mamah mau kemana?" Tanya Juna, melihat mamahnya justru berdiri.
"Yura nggak mau makan, mama mau panasin bakso ke dapur"
Juna beralih menatap Yura. "Kamu mau bakso?"
Yura mengangguk.
"Boleh si, tapi harus makan nasi juga. Kasihan lambungnya kalau nggak di isi nasi"
"Ya udah, nanti makan bakso sama nasi" Kata Jazil. "Boleh kan Jun?"
"Boleh, mah. Mamah di sini saja temani Yura. Biar aku yang panasin baksonya"
"Gitu dong, harus sayang sama adek, mama kan senang kalau akur gini"
Juna melempar tatapan tajam ke arah sang mama sebelum kemudian beranjak dari kamar Yura.
Bersambung
Malik ntar poligami
tp sy msh gregetan sm yura yg ga peka sm keinginan orang tuay dan juna jg ga trs terang sm yura klu dia suka...klu yura sdh tunangan sdh ga ada harapan buat juna...s.g aja ga jd khitbahy
ayo Thor lanjut lagi
ntar lama2 jd cinta..
lanjut mbak ane
yura kurang peka terhadap keinginan jazil, kurang peka dg perubahan juna dan kurang peka sama perasaan sendiri
yuk kak lanjut lagi
thanks author semangat ya berkarya