Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suami Mantanku Adalah Dosenku
Hari itu, matahari bersinar cerah. Sinarnya menembus dedaunan pohon yang ada di sepanjang jalan kampus, menciptakan bayang-bayang yang bergerak perlahan. Angin pagi yang sejuk mengusap wajahku, memberi kesan tenang namun penuh harapan. Aku menarik napas panjang, mengisi paru-paru dengan udara segar, dan berjalan pelan menuju gedung kuliah. Campuran antara gugup dan semangat mengisi seluruh tubuhku. Setelah melewati minggu-minggu ospek yang melelahkan, akhirnya ini adalah hari pertamaku memasuki dunia perkuliahan yang sudah lama aku impikan.
Langkahku terasa berat namun penuh tekad. Aku sudah empat tahun berada di dunia kerja, meninggalkan bangku kuliah yang sepertinya sudah sangat jauh dari ingatanku. Perasaan cemas datang menghantui. Apakah aku masih bisa mengikuti materi kuliah seperti dulu? Apa aku bisa bersaing dengan teman-teman baru yang masih segar dengan semangat akademis mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul di kepalaku, mengganggu ketenangan yang aku coba ciptakan.
Di sampingku, Dinda berjalan dengan langkah ringan, wajahnya cerah, penuh antusiasme. Sejak beberapa waktu lalu, kami semakin dekat. Kami tidak hanya sekadar teman satu jurusan, tetapi juga teman yang saling menguatkan setelah beberapa kejadian yang membawa kami lebih dekat. Ternyata, di luar dugaan, kami satu jurusan, yang membuat kami sering bertemu dan semakin akrab. Rasanya, berjalan bersama Dinda membuatku sedikit lebih tenang.
“Kamu siap, Din?” tanyaku, berusaha mengalihkan perhatian dari kecemasan yang mulai merayap.
Dinda menoleh dan tersenyum lebar, senyum yang menghangatkan hati. “Selalu siap! Mas sendiri? Kelihatan tegang banget, tuh.”
Aku tertawa kecil, meskipun dalam hati aku tahu dia benar. “Iya, sedikit gugup. Sudah lama sejak terakhir kali aku belajar. Empat tahun kerja bikin aku takut nggak bisa ngikutin kuliah,” jawabku dengan sedikit cemas.
Dinda menepuk bahuku dengan lembut. “Santai aja. Lagipula, aku yakin Mas pasti bisa. Kita bisa belajar bareng, kalau perlu.”
Kata-kata Dinda memberiku sedikit kelegaan. Rasanya, berjalan bersama seseorang yang aku kenal dan nyaman dengannya seperti Dinda membuat langkahku lebih ringan. Bersama-sama kami melangkah menuju ruang kelas, sebuah ruangan yang akan menjadi tempat belajar kami dalam beberapa tahun ke depan. Selama perjalanan, pikiranku terus berputar. Bagaimana rasanya kembali ke dunia akademik setelah sekian lama? Apakah aku masih bisa mengikuti dengan baik? Semua pertanyaan itu melintas begitu cepat, membuat dadaku terasa penuh.
Saat kami sampai di depan pintu kelas, aku merasakan detak jantungku semakin cepat. Kejutan datang begitu tiba-tiba, hampir membuatku kehilangan kendali atas tubuhku. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, namun tak bisa menghindari perasaan cemas yang semakin menguat. Pintu kelas terbuka, dan semua suara yang ada di sekitar kami mendadak hening. Semua mata tertuju ke depan, ke arah seorang pria tinggi yang baru saja masuk.
Aku menahan napas. Afif. Sosok yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatanku. Afif, yang ternyata adalah suami Salma, mantan pacarku. Aku tahu dia mengajar di Universitas Muhammadiyah Cilacap, namun aku tidak pernah membayangkan bahwa dia akan menjadi dosen di kelas pertamaku. Rasa gugupku kembali memuncak, bahkan jauh lebih besar dari sebelumnya. Aku merasakan tubuhku kaku, sulit untuk bergerak, meskipun aku tahu aku harus tetap tenang.
Dinda yang berjalan di sampingku menoleh padaku. “Mas kenapa? Kok kelihatan aneh?” tanya Dinda dengan nada cemas, tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.
Aku memaksakan diri untuk tersenyum, meskipun senyuman itu terasa sangat kaku. “Nggak apa-apa. Cuma… kaget aja,” jawabku, berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya lebih kompleks dari itu.
Dinda masih menatapku dengan tatapan penuh tanya, tapi aku hanya mengangguk, berusaha untuk tidak memberi penjelasan lebih lanjut. Aku tahu, jika aku menjelaskan lebih banyak, itu hanya akan membuatnya bertanya lebih jauh lagi.
Afif mulai memperkenalkan diri di depan kelas. Suaranya yang tenang dan penuh wibawa mengisi ruangan, membuat suasana yang tadinya ramai menjadi hening. Aku berusaha untuk fokus pada catatan di depanku, tetapi pikiranku terus menerus melayang. Kenangan tentang Salma kembali muncul, menghantui setiap pikiran yang ada. Meskipun kami sudah berpisah, kenangan indah bersama Salma tidak pernah benar-benar hilang. Aku sudah berusaha mengikhlaskan semuanya, tapi tetap saja, ada rasa canggung yang hadir setiap kali aku mengingat masa lalu. Terlebih lagi, kini suami dari mantanku berdiri di depan kelas sebagai dosen.
Sesi perkenalan kuliah berjalan lancar, meskipun aku merasa sulit untuk benar-benar fokus. Dinda tampak begitu antusias mencatat semua yang disampaikan, sedangkan aku hanya menggambar-gambar tidak jelas di kertas. Setiap kali Afif berbicara, aku merasa seolah-olah dia mengarahkan pandangannya padaku, meskipun aku tahu itu hanya perasaanku saja. Namun, perasaan itu tetap mengganggu.
Akhirnya, kelas berakhir, dan semua mahasiswa mulai beranjak dari tempat duduk mereka. Aku segera merapikan barang-barangku, berusaha tidak terlalu lama di dalam kelas. Namun, langkahku terhenti ketika suara Afif memanggilku.
“Hey, kamu, bisa tolong bantu saya merapikan barang-barang bawaan saya?” Suaranya terdengar santai, tapi tetap profesional. Aku menoleh dan melihat semua mata mahasiswa tertuju padaku. Dinda yang masih duduk di tempatnya menatapku dengan alis terangkat, namun aku memberi isyarat padanya untuk pergi lebih dulu. Aku tahu, aku harus menyelesaikan ini dengan cepat.
Dengan hati yang berdebar, aku berjalan mendekat ke meja dosen tempat Afif berdiri. Suasana di sekitar kami seolah menghilang, hanya ada kami berdua di ruangan itu.
“Kamu Alan, ya?” tanyanya, matanya yang tajam menatapku, seperti mencari sesuatu dalam diriku.
“Iya, Pak,” jawabku singkat, berusaha menjaga sikap profesional meskipun perasaan canggung itu begitu kuat.
Afif mengangguk pelan, kemudian tersenyum tipis. “Istriku pernah bercerita tentang kamu dan hubungan kalian. Aku nggak nyangka kamu kuliah di sini,” katanya dengan suara yang terdengar santai namun penuh makna.
Aku tersenyum kaku. “Saya juga nggak nyangka Bapak mengajar di kelas ini,” jawabku, berusaha menjaga jarak antara masa lalu dan masa kini.
Afif menatapku sejenak, lalu mengangguk. “Santai aja. Saya nggak akan mengungkit masa lalu kamu dengan istri saya. Kita akan tetap bersikap profesional,” katanya, memberikan rasa lega meskipun tetap ada ketegangan di udara.
“Tentu, Pak. Saya juga,” jawabku, berusaha meyakinkan diri sendiri.
Afif tersenyum lagi, dan sebelum aku pergi, dia berkata, “Selamat belajar. Semoga sukses.”
Aku mengangguk cepat, merasa seolah-olah sebuah babak baru telah dimulai. Setelah meninggalkan ruang kelas, aku melihat Dinda menungguku di koridor. Wajahnya penuh tanda tanya.
“Kenapa lama banget, Mas? Aku nungguin dari tadi tahu,” tanyanya, penasaran.
“Nggak ada apa-apa. Cuma ngobrol biasa,” jawabku dengan singkat, berharap dia tidak bertanya lebih lanjut.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus dipenuhi dengan percakapan singkat tadi. Meskipun Afif berjanji untuk bersikap profesional, ada rasa canggung yang sulit untuk hilang. Namun, satu hal yang aku sadari adalah bahwa hari ini hanyalah awal dari perjalanan panjangku di dunia perkuliahan. Terlepas dari masa lalu, aku harus fokus pada masa depan.
Bersama Dinda dan teman-teman baru lainnya, aku yakin bisa menghadapi tantangan yang ada, termasuk kenyataan bahwa salah satu dosenku adalah seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupku yang penuh kenangan. Hari pertama kuliah mungkin penuh kejutan, tapi aku percaya ini hanyalah awal dari cerita yang lebih besar. Dan aku siap untuk menuliskannya, halaman demi halaman, dengan segala warna dan tantangan yang akan datang.