Kehamilan merupakan sebuah impian besar bagi semua wanita yang sudah berumah tangga. Begitu pun dengan Arumi. Wanita cantik yang berprofesi sebagai dokter bedah di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Ia memiliki impian agar bisa hamil. Namun, apa daya selama 5 tahun pernikahan, Tuhan belum juga memberikan amanah padanya.
Hanya karena belum hamil, Mahesa dan kedua mertua Arumi mendukung sang anak untuk berselingkuh.
Di saat kisruh rumah tangga semakin memanas, Arumi harus menerima perlakuan kasar dari rekan sejawatnya, bernama Rayyan. Akibat sering bertemu, tumbuh cinta di antara mereka.
Akankah Arumi mempertahankan rumah tangganya bersama Mahesa atau malah memilih Rayyan untuk dijadikan pelabuhan terakhir?
Kisah ini menguras emosi tetapi juga mengandung kebucinan yang hakiki. Ikuti terus kisahnya di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon senja_90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Air Mata Arumi
Happy reading 🍃
Sepanjang perjalanan pulang dari kediaman Adiguna, Arumi tak henti-hentinya menangis. Bibirnya terkatup sempurna, berusaha agar suara isakan itu tidak terdengar tetapi usahanya sia-sia. Burhan tetap dapat mendengar suara rintihan wanita itu, pilu dan menyayat kalbu.
'Sudah kuduga pasti kejadiannya akan sama seperti satu bulan lalu. Dulu ada Pak Mahes yang dapat menenangkan Bu Rumi tetapi hari ini siapa yang akan menghiburnya?' batin Burhan.
Pria yang duduk di balik kemudi menghembuskan napas dengan kasar sambil melihat kondisi Arumi dari kaca spion yang ada di depan.
Sejujurnya, Burhan kecewa atas perlakuan Naila terhadap Arumi. Bukannya pria itu ingin membela sang majikan tetapi sebagai manusia yang memiliki perasaan, dia tidak tega melihat wanita sebaik Arumi tersakiti hanya karena belum bisa memberikan keturunan.
Memiliki keturunan merupakan impian semua keluarga, begitu pun dengan Arumi. Burhan tahu betul perjuangan wanita itu untuk bisa hamil, segala macam cara sudah dilakukan. Namun, sebagai manusia biasa Arumi tidak bisa berbuat apa-apa jika Sang Maha Pencipta sendiri belum memberikan izin padanya untuk bisa hamil dan melahirkan.
Tidak tega melihat Arumi semakin larut dalam kesedihan, Burhan memberanikan diri untuk berbicara dengan wanita itu. "Bu, apakah Anda mau saya antar bertemu Mbak Rini? Seingat saya hari ini dia tidak ada jadwal praktek."
"Tidak! Kita langsung pulang saja," tolak Arumi di sela isak tangis.
Hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit, Arumi sudah tiba di depan pekarangan rumahnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, wanita itu segera berlari masuk ke dalam.
"Bu Rumi su ...." Kalimat yang diucapkan oleh Mbak Tini tidak sempat diselesaikan sebab Arumi sudah bergegas naik ke lantai atas.
"Pak Bur, Bu Rumi kenapa?" tanya Mbak Tini ketika melihat Burhan meletakkan kunci mobil di atas meja di teras rumah.
"Biasa, Mbak. Perselisihan antara mertua dan menantu," jawab Burhan santai.
Setiap kali membicarakan peringai Naila, pria yang dulu berprofesi sebagai juru parkir di salah satu pusat perbelanjaan itu menjadi emosional karena Naila selalu menyinggung perasaan wanita baik seperti Arumi.
Mbak Tini menggelengkan kepala. "Pantas saja Bu Rumi menangis, toh lisan Nyonya Naila tidak pernah dijaga setiap kali bertemu menantunya."
"Begitulah, Mbak, kalau manusia sudah terlalu benci pada seseorang. Di mata Nyonya Naila, Bu Rumi selalu salah walaupun majikan kita bersikap baik, tulus menyayangi dan mencintai wanita itu," keluh Burhan.
"Bahaya ya, Pak apabila Nyonya Naila terus menerus mendesak Bu Rumi untuk memberikan pewaris. Bisa-bisa Bu Rumi tertekan dan malah jiwanya terganggu."
"Hush! Jangan bicara sembarangan kamu. Bagaimana kalau terdengar Bu Rumi?" sergah Burhan.
Merasa telah mengucapkan kata-kata yang tidak baik, Mbak Tini memukuli bibirnya dengan telapak tangan. "Ya Allah, ini mulut kenapa tidak bisa direm. Duh, kalau terdengar Bu Rumi dia pasti semakin sedih."
"Lebih baik kita do'akan saja, semoga masalah keluarga ini cepat selesai," himbau pria itu.
"Iya, Pak. Aamiin."
Kemudian, Mbak Tini melanjutkan pekerjaannya. Wanita itu menyapu halaman rumah karena banyak daun-daun yang berguguran akibat angin kencang. Sementara Burhan beristirahat sejenak sebelum mengantarkan kembali Arumi dinas di rumah sakit.
Setelah sampai di kamar utama, Arumi segera membanting tubuhnya di atas kasur. Wanita itu membenamkan wajah di bawah bantal sambil menangis.
"Ma, kenapa Mama jahat padaku? Salahku apa hingga Mama sangat membenciku?" Air mata Arumi semakin deras mengalir. Dia menangis tersedu-sedu mengeluarkan rasa sakit akibat perkataan Naila.
"Hanya karena aku belum bisa memberikan cucu, Mama tega membentak dan mengusirku di hadapan Kayla."
Arumi kembali menangis mengeluarkan isi hati yang dipedam olehnya selama ini. Hingga sprei berwarna putih itu basah oleh air mata.
Bersambung
.
.
.
Jangan lupa tinggalin jejak ya Kak. Terima kasih atas dukungan kalian semua. 🥰
***
Oh iya, sambil nunggu update-an terbaru, otor remahan mau promosiin karya milik teman nich. Ceritanya dijamin seru guys. 👍
😢😭