Sebuah kota kecil bernama Reynhaven, seorang pria ditemukan tewas di rumahnya, tepat lima menit sebelum tengah malam. Di pergelangan tangannya, ada tanda seperti lingkaran berwarna hitam yang terlihat seperti dibakar ke kulitnya. Polisi bingung, karena tidak ada tanda-tanda perlawanan atau masuk secara paksa. Ini adalah korban kedua dalam seminggu, hingga hal ini mulai membuat seluruh kota gempar dan mulai khawatir akan diri mereka.
Di lain sisi, Naya Vellin, seorang mantan detektif, hidup dalam keterasingan setelah sebuah kasus yang ia ambil telah gagal tiga tahun lalu hingga membuatnya merasa bersalah. Ketika kasus pembunuhan ini muncul, kepala kepolisian memohon pada Naya untuk kembali bekerja sama, karena keahliannya sangat diperlukan dalam kasus ini. Awalnya ia sangat ragu, hingga akhirnya ia pun menyetujuinya. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa kasus ini akan mengungkit masa lalunya yang telah lama dia coba lupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Wahida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Klub Malam dan Mayat Baru
Malam itu, jarum jam menunjukkan pukul 22.50 ketika komputer Naya berbunyi dari sebuah email. Suara notifikasi email membuatnya mengangkat kepala dari berkas yang sedang ia periksa. Matanya menyipit, lelah karena jam kerja yang panjang. Ia meraih ponselnya, membuka layar, dan membaca subjek email yang membuatnya terdiam sejenak.
Ia membaca kalimat itu berkali-kali, mencoba memahami apa maksudnya. Setelah beberapa detik, Naya langsung berdiri, matanya penuh kewaspadaan. Tangannya gemetar saat ia meraih laptop untuk membuka email tersebut lebih jelas. Di dalamnya, tidak ada tanda pengirim yang jelas. Hanya kalimat singkat di badan email.
"Di tempat di mana dosa dirayakan, kau akan menemukan kebenaran."
Naya segera memanggil timnya ke ruang konferensi. Dalam waktu kurang dari lima menit, Owen, Evan, Rayyan, dan Rayna sudah berkumpul di sana. Wajah mereka semua terlihat tegang. Ini bukan email sembarangan, ini adalah pesan yang datang dari musuh mereka, si pembunuh bayangan hitam.
"Dia mengirim kita pesan seperti ini lagi?" ujar Owen dengan nada lelah, menatap layar yang menampilkan isi email tersebut.
"Yah, kamu benar, senior. Hanya dia yang tahu cukup banyak untuk membuat kita tetap waspada. Tapi kenapa sekarang?"
"Seperti biasa, dia ingin kita tahu sesuatu. Dia benar-benar mempermainkan kita," jawab Naya sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya.
"Dan seperti biasanya, dia selalu mempermainkan kata-kata dengan teka-teki sialan ini."
Rayna yang duduk di depan laptopnya, mengetik dengan cepat.
"Aku sudah mencoba melacak IP pengirim, tapi ini... masih seperti biasa, anonim. Bayangan hitam si sialan itu, dasar bajingan pengecut! Bajingan itu selalu mempermainkan kita!."
"Kita tidak punya waktu sebanyak itu," potong Evan. Wajahnya menunjukkan frustrasi.
"Apa pun maksudnya, dia menginginkan kita untuk bertindak segera."
"Kalau begitu, kita fokus ke pesannya dulu," kata Rayyan, mencoba menenangkan suasana.
"Tempat di mana dosa dirayakan... apa yang dia maksud? Klub malam? Kasino? Tempat perjudian? Atau sesuatu yang lebih simbolis?"
Setelah mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan, tim Naya memutuskan untuk segera turun ke lapangan. Mereka menyusun daftar beberapa tempat yang mungkin sesuai dengan deskripsi dalam pesan tersebut. Klub malam di pusat kota, kasino yang terkenal dengan aktivitas ilegal, dan bar tersembunyi di pinggiran kota masuk dalam daftar mereka.
Klub Pertama Lustrous Night
Pukul 23.15, mereka tiba di klub malam pertama, Lustrous Night, yang terkenal sebagai tempat bagi para pebisnis gelap untuk berkumpul. Owen meminta Naya dan Evan masuk ke dalam, sementara dia, Rayyan, dan Rayna berjaga di luar. Karena Owen tahu, kerja sama keduanya benar-benar luar biasa, dan sangat dibutuhkan didalam.
Suasana di dalam klub itu ramai dan penuh cahaya warna-warni. Musik berdentum keras, dan orang-orang menari tanpa peduli apa pun yang terjadi di dunia luar.
Evan menoleh ke Naya sambil berkata dengan nada rendah, "Tempat ini memang terlihat seperti ‘dosa yang dirayakan’. Tapi aku tidak merasa ini tempat yang tepat."
Naya mengangguk pelan, matanya terus memindai ruangan. Mereka memeriksa sudut-sudut klub, mencoba mencari tanda atau petunjuk apa pun, tetapi tidak ada yang mencurigakan.
Setelah 20 menit, Naya menghubungi Owen lewat alat komunikasi. "Tidak ada apa-apa di sini, senior. Kita harus pindah ke lokasi berikutnya."
Klub Kedua Obsidian Glow
Pukul 23.35, mereka tiba di lokasi kedua, sebuah klub bernama Obsidian Glow. Tempat ini lebih kecil dari yang pertama, tapi suasananya jauh lebih suram. Lampu-lampu redup dan aroma alkohol yang menyengat membuat mereka merasa tidak nyaman.
"Tempat ini lebih gelap daripada moral pembunuh itu," gumam Rayyan dengan nada sarkastik, mencoba mencairkan suasana tegang.
"Fokus," tegur Naya sambil melangkah masuk bersama Evan.
Di dalam, mereka kembali mencari-cari sesuatu yang mencurigakan, tapi lagi-lagi tidak menemukan apa-apa. Waktu terus berjalan, dan frustrasi mulai terlihat di wajah semua orang.
Evan menggertakkan giginya. "Kita membuang-buang waktu. Dia pasti sedang menertawakan kita sekarang. Sialan!"
"Jangan menyerah," balas Naya tegas, meski dalam hatinya ia juga merasa putus asa.
Pukul 23.50, mereka kembali ke mobil untuk mendiskusikan langkah selanjutnya. Naya duduk di kursi depan, kepalanya tertunduk, mencoba mengingat detail dari email tersebut.
"Tempat di mana dosa dirayakan... tapi kenapa aku merasa kita melewatkan sesuatu?" gumam Rayyan pelan.
"Karena kita memang melewatkan sesuatu. Jika tidak, kita pasti sudah menemukannya dari tadi," sahut Evan.
"Bajingan kecil ini, kau sudah pandai menjawab senior mu ya," ujar Rayyan merasa kesal.
"Hei, ayolah! Ini bukan waktunya untuk kita bertengkar!" cegat Rayna dengan cepat.
"Pesan ini bukan hanya soal tempat. Ini juga soal waktu," gumam Naya.
Rayna yang sedang memeriksa ponselnya tiba-tiba berseru, "Tunggu! Klub Velvet Shadows! Aku baru ingat, tempat itu terkenal dengan aktivitas ilegal mereka. Tempat itu memang cocok dengan deskripsi ini."
"Velvet Shadows?" tanya Owen dengan nada skeptis.
"Kenapa kita baru memikirkannya sekarang?"
"Karena tempat itu tidak mencolok," jelas Rayna.
"Tapi jika kita berpikir lebih dalam, tempat itu benar-benar melambangkan ‘dosa yang dirayakan’."
Naya langsung memutuskan. "Kita ke sana sekarang. Tidak ada waktu untuk memikirkannya lagi. Firasat ku benar-benar tidak enak."
Pukul 23.58, mereka tiba di depan Velvet Shadows. Cahaya ungu menyala terang di depan pintu masuk, dan antrean panjang orang-orang tampak jelas.
"Kita sudah dekat," kata Naya dengan suara pelan namun penuh keyakinan.
"Apa pun yang kita temukan di dalam. Semuanya, bersiaplah."
Evan menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Kita selalu siap, senior."
Dan dengan itu, mereka melangkah masuk ke tempat di mana kebenaran menunggu di balik dosa yang dirayakan.
Tidak ada apa-apa didalamnya. Hanya beberapa manusia yang sedang bermabuk-mabukan dan berdansa bersama. Evan menatap datar pada wanita-wanita yang mendekati dirinya dan menempelkan tubuh mereka padanya.
"Cepat, kalian selidiki setiap ruangan itu!" teriak Owen.
"Semuanya! Jangan bergerak! Kami dari pihak kepolisian!" teriak Rayyan dan menimbulkan kericuhan dalam klub itu.
Rayna memukul bagian belakang kepala Rayyan dan itu menimbulkan rintihan kesakitan dari Rayyan.
"Bodoh! Kau membuat kekacauan! Lihatlah. Bayangan hitam itu pasti akan kabur!"
Rayna segera menghubungi bagian keamanan yang berada di luar untuk berjaga-jaga.
"Akh?!" teriak Naya kaget.
Semuanya dikejutkan oleh teriakan Naya, dan segera menghampiri detektif muda itu.
"Ada apa, Naya?" tanya Owen memegang bahu Naya.
Naya menunjukkan seorang pria tua yang tergeletak diatas kursi ruangan VVIP itu dengan bersimbah darah.
Ponsel Naya berdering dan sebuah notifikasi masuk kedalam ponselnya.
"Your loser, detective Naya! You're late again!"
"Sial!" umpat Naya dengan teriakan yang kuat.
"Aku akan menangkapmu hidup-hidup bajingan! Dimanapun kau berada, aku akan menangkapmu!"
...To be continue ...