Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Keesokan harinya. Tidur nyenyak Agnes terganggu akibat suara berisik sang ayah yang terus berteriak memanggil namanya sembari menggedor pintu kamar. Terlihat Agnes yang masih linglung, sang ayah tidak pernah menggedor pintu meskipun sedang marah sekalipun padanya.
"Ada apa, Yah?" tanya Agnes dengan nada santai sembari menguap karena merasa masih sangat mengantuk.
Semalam setelah Agnes sampai di rumah, ia tidak bisa tidur sama sekali. Gadis itu memikirkan kejadian di dalam mobil dimana dosennya membatu melepaskan seat belt. Jantung Agnes berpacu cepat, tidak hanya itu bahkan bernapas pun rasanya sangat sulit, maka tidak heran setelah adzan subuh ia baru bisa memejamkan mata.
"Kamu masih bertanya? Apa ini?" Rahmad memberikan beberapa lembar foto yang sejak tadi menjadi permasalahan.
Agnes mengambil foto yang berisikan dirinya dan Fajar. Dalam foto tersebut menampilkan dirinya tengah dipeluk sang dosen, "Ayah ini tidak seperti yang Ayah pikirkan. Semalam Nenes memang di antar Pak Fajar dan—"
"Jadi laki-laki itu namanya Fajar?" sahut Rahmad.
"Yah, sabar. Dengar dulu penjelasan dari Nenes." Fatwa ibu dari Agnes mengelus punggung sang suami agar bisa mengendalikan emosi.
Namun, foto yang dikirim oleh Pak RT membuat Rahmad seperti dilempar kotoran ajing. Sabar? Tentu saja ia tidak akan bisa.
"Kita sudah terlalu memanjakan dia, Bu. Ayah sudah memperingatkan dia agar jangan pulang malam, bahkan Berta pun sudah Ayah minta tolong untuk memperingatkan dia juga. Tapi apa yang kita dapat?"
Agnes hanya mampu menggigit kulit bibir dalamnya. Sungguh ia tidak menyangka peringatan Fajar tadi malam kini menjadi kenyataan.
"Aku melihat ada kilatan cahaya. Kamu yakin di sini aman?"
"Aman Pak disini tidak ada yang namanya paparazi. Bapak ngarep banget kita difoto dan besok nikah gitu? Ingat Pak cerita begitu hanya ada dalam novel."
"Aku antar sampai rumah saja agar tidak timbul fitnah."
Agnes menolak dengan tegas tawaran Fajar karena saat itu perasaannya campur aduk, antara masih kesal dan senang. Namun, saat ini dia menyesali semuanya. Bentakan sang ayah menyadarkan dirinya.
"Agnes!"
"Ayah. Agnes benar-benar tidak melakukan apapun. Semalam Pak Fajar hanya membantu melepaskan seat belt karena aku kesusahan," jelas Agnes.
Apakah Rahmad percaya? Tentu saja tidak, usia Agnes sudah lebih dari cukup untuk bisa melepaskan seat belt. Meskipun diliputi rasa kecewa dan amarah, Rahmad tidak ingin menghukum putrinya terlalu berlebihan. Apalagi saat ini Fatwa tengah membisikkan kalimat, "Tanggung jawab."
"Ayah tidak ingin tau. Pokoknya kamu bawa lelaki itu kesini untuk tanggung jawab!"
Bola mata Agnes membulat sempurna. Tanggung jawab? Apa maksudnya menikah? Tebak Agnes.
"Ayah, tanggung jawab apa yang Ayah maksudkan?" tanya Agnes mulai frustasi.
Rahmad yang masih bersanding dengan sang istri hanya bisa mengetatkan rahangnya, "Kamu tidak perlu tau. Yang pasti bawa lelaki itu kesini."
"Ayah." Agnes mengiba.
"Nes, turuti saja apa kata Ayah. Orang tua hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Apalagi kamu anak kami satu-satunya." Fatwa mencoba menengahi keadaan.
Ada yang bilang cinta anak perempuan itu ada pada sang ayah. Fatwa hanya ingin memberikan yang terbaik untuk anak perempuannya. Ia tidak ingin saat nanti sudah menemukan cinta keduanya ia membenci sang ayah.
Sementara Agnes yang tak diberikan kesempatan untuk menolak ia hanya bisa menganggukkan kepala pertanda setuju dengan permintaan sang ayah. Meskipun demikian benaknya terus memikirkan bagaimana caranya membawa sang dosen pulang ke rumah.
***
Di kampus, Agnes sama sekali tidak bisa fokus. Saat ini di depan sana satu kelompok temannya tengah melakukan presentasi dengan beberapa subtema tentang manajemen pemasaran global mata kuliah pilihan. Otaknya terus berselancar merencanakan strategi agar bisa membawa Fajar pulang ke rumah.
Ya Tuhan bagaimana aku yang tidak pernah berpacaran kini diminta membawa seorang lelaki pulang ke rumah? Lalu apa dia mau jika aku minta ke rumah?
"Nes, kamu kenapa?" Berta berbisik di daun telinga Agnes agar tidak mengganggu teman-teman sekelas yang sedang memperhatikan jalannya presentasi.
Agnes sepintas melirik ke arah Berta. Seandainya kemarin ia tidak ditinggal sendirian di perpustakaan pasti drama seperti ini tidak akan pernah terjadi.
"Biasa aja dong lirikannya. Aku kan hanya tanya. Ihh... Sensi sekali Andahh!" tukas Berta tak nyaman dengan tatapan Agnes.
Tak lama kemudian Berta melihat ekspresi Agnes penuh frustasi. Ia langsung meriksa kening sang sahabat barangkali demam tinggi.
"Apaan sih?" Agnes menyingkirkan tangan Berta. Di menit berikutnya ia nampak fokus kembali pada presentasi di depan, meskipun pikirannya terus melayang-layang. Setiap kata dari presentasi itu hanya lewat begitu saja tanpa bisa ia pahami. Agnes merasa situasinya semakin rumit.
Setelah kelas selesai, Berta segera menarik tangan Agnes ke luar ruangan.
"Kamu kenapa sih, Nes? Dari tadi kayak orang linglung. Cerita deh sama aku." Berta menatap Agnes dengan penuh kekhawatiran.
Agnes menghela napas panjang, memutuskan untuk jujur. "Semalam... Ada sesuatu terjadi. Ayahku marah besar karena ada foto aku sama Pak Fajar, dosen itu, yang kelihatan kayak kami... ah, sudahlah. Pokoknya Ayah minta dia tanggung jawab."
"Tanggung jawab? Maksudnya... menikah?" Berta terperangah.
Agnes menggeleng pelan, wajahnya terlihat semakin muram. "Ayah gak ngasih tau pastinya, dia hanya bilang tanggung jawab. Tapi kalau benar?" Agnes menutup wajahnya dengan kedua tangannya, "Aku gak siap Ta..."
Berta menggigit bibir, mencoba menahan tawa. "Ya ampun, Nes. Ini kayak cerita drama banget. Tapi serius, kamu terlalu banyak berpikir. Mungkin saja Ayah ingin bertanya langsung pada Pak Fajar. Tapi Nes, kamu yakin gak ada hubungan apa-apa sama Pak Fajar dan kenapa kamu bisa pulang bersamanya?"
"Kalau kamu gak ninggalin aku di perpustakaan gak akan ada cerita begini! Arghhhh... ceritanya panjang!" Agnes mulai frustrasi.
"Ya, maaf. Terus gimana sekarang?" Berta menatap Agnes penuh rasa penasaran. "Kamu mau ngomong ke dia soal ini?"
"Aku nggak punya pilihan. Kalau aku nggak bawa dia, Ayah pasti makin marah." Agnes menunduk, merasa semua ini terlalu berat untuk dihadapi.
---
Sore itu, dengan perasaan kacau dan setengah pasrah, Agnes berdiri gelisah di depan ruang dosen. Jemarinya saling meremas, mencoba meredakan kecemasan yang semakin membuncah. Suara langkah kaki dari balik pintu membuat napasnya tertahan. Apa yang akan dia katakan? Apa dia akan marah? Atau... lebih buruk lagi, menolak?
Pintu ruang dosen terbuka perlahan. Fajar keluar dengan langkah tenang, ekspresinya tetap dingin dan tanpa emosi. Agnes yang melihatnya segera melangkah maju, meskipun kakinya terasa berat.
"Pak Fajar," panggil Agnes, suaranya terdengar lembut namun bergetar.
Fajar menghentikan langkahnya, lalu menatapnya tajam. "Apa lagi sekarang, Agnes? Judul skripsimu sudah selesai, atau ini alasan lain karena belum ada kemajuan?"
Nada suaranya datar, tapi ada ketegasan yang menusuk di sana. Agnes merasa seperti tertembak peluru dingin, tapi ia memaksakan diri untuk tetap berdiri.
"Pak," Agnes mencoba mengumpulkan keberanian, "Bapak sendiri kan yang berjanji mau bantu saya? Karena kemarin saya sudah membantu Bapak?"
Fajar mengangkat alis tipisnya, lalu mendengus pelan. "Kita ke perpustakaan sekarang."
Ajakan Fajar seperti memeberikan peluang baru untuk Agnes. Meskipun napasnya kini terasa berat, tapi ia tahu ini satu-satunya kesempatan untuk membuat Fajar datang ke rumahnya tanpa ia harus banyak bicara. "Pak... aku pikir gak usah ke perpustakaan gimana kalau ke rumahku saja?"
Fajar menyipitkan matanya, menatapnya seperti sedang menilai apakah ia serius atau tidak. "Ke rumahmu? Untuk apa?" tanyanya dengan nada dingin, jelas-jelas menunjukkan ketidakpeduliannya.
Agnes menelan ludah, berusaha menenangkan debaran jantungnya, dan ia segera membuat semua agar terlihat biasa saja, "Ya buat judul skripsi Pak, ya kali mau melamar saya."
Fajar langsung menatap Agnes dengan tatapan tajam, baru saat itu ia sadar jika salah bicara dan segera menutup mulutnya.
"Mati aku!"