Zen Vessalius adalah nama yang pernah menggema di seluruh penjuru dunia, seorang pahlawan legendaris yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran total. Namun, waktu telah berubah. Era manusia telah berakhir, dan peradaban kini dikuasai oleh makhluk-makhluk artifisial yang tak mengenal masa lalu.
Zen, satu-satunya manusia yang tersisa, kini disebut sebagai NULL—istilah penghinaan untuk sesuatu yang dianggap tidak relevan. Dia hanyalah bayangan dari kejayaan yang telah hilang, berjalan di dunia yang melupakan pengorbanannya.
Namun, ketika ancaman baru muncul, jauh lebih besar dari apa yang pernah dia hadapi sebelumnya, Zen harus kembali bangkit. Dengan tubuh yang menua dan semangat yang rapuh, Zen mencari makna dalam keberadaannya. Mampukah ia mengingatkan dunia akan pentingnya kemanusiaan? Atau akankah ia terjatuh, menjadi simbol dari masa lalu yang tak lagi diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Vessalius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4 SANG PEMIMPIN TELAH KEMBALI
Sinar mentari pagi menyinari Elysarion, menghangatkan negeri apung itu dengan lembut. Zen telah bangun lebih awal dari biasanya. Ia berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, mengenakan pakaian sederhana yang disediakan para Lumoria. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Hari di mana ia akan memulai perjalanannya mempelajari sihir, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Selvina masih terlelap, napasnya yang teratur menjadi irama lembut di pagi hari. Zen tersenyum tipis melihatnya, kemudian berkata pelan, "Aku tak sabar untuk belajar sihir, Selvina."
Selvina membuka matanya perlahan, tersenyum sambil mengusap wajahnya. "Zen, semangatmu itu benar-benar luar biasa. Jangan lupa untuk makan dulu sebelum pergi. Kau membutuhkan banyak energi untuk hari ini."
Zen mengangguk, merasa terhibur oleh dukungan Selvina. Setelah sarapan cepat, ia mendengar suara langkah kaki di luar. Kael Myrion, salah satu anggota tim penelitian yang ia temui sebelumnya, berdiri di depan pintu.
"Zen, pemimpin memanggilmu. Ia telah menunggumu di ruang pelatihan," kata Kael dengan nada formal.
Zen mengangguk. "Baiklah, aku sudah siap. Ayo kita berangkat."
Kael memimpin jalan, membawa Zen melewati jalan-jalan indah di Elysarion. Bangunan yang terbuat dari kristal berkilauan di bawah cahaya pagi, dan langit biru tanpa awan menciptakan suasana damai. Namun, Zen tahu bahwa hari ini bukan tentang kekaguman terhadap keindahan ini, melainkan tentang tantangan baru yang akan ia hadapi.
Sesampainya di ruang pelatihan, Zen merasa kagum. Ruang itu begitu luas, dengan lantai berkilauan seperti kaca yang memantulkan warna-warni cahaya. Di tengah ruangan, Eryon Velthar berdiri dengan anggun, mengenakan jubah biru tua yang dihiasi simbol-simbol kuno.
"Zen," suara Eryon terdengar tenang namun penuh wibawa, "hari ini kau akan memulai langkah pertama untuk memahami sihir. Sihir bukanlah sesuatu yang mudah dipelajari, terutama bagi seseorang dari dunia yang tidak memiliki hubungan dengan mana. Namun, aku percaya bahwa kau memiliki potensi besar."
Zen mengangguk penuh semangat. "Aku siap, Eryon. Aku akan melakukan yang terbaik."
Eryon mengangkat satu tangannya, dan seketika bola cahaya biru muncul di telapak tangannya. "Sihir adalah tentang hubungan antara dirimu dan energi dunia. Rasakan mana di sekitarmu, biarkan itu mengalir melalui dirimu, dan kendalikan dengan kehendakmu. Langkah pertama adalah merasakan keberadaan mana. Fokuslah."
Zen mencoba menenangkan pikirannya. Ia memejamkan mata, mendengarkan suara di sekitarnya. Awalnya, ia hanya mendengar hening, tetapi perlahan, ia mulai merasakan sesuatu—seperti aliran halus yang mengelilinginya.
"Bagus," kata Eryon. "Sekarang, arahkan energimu ke satu titik, bayangkan bola cahaya kecil di tanganmu."
Zen mengangkat tangannya dan berusaha keras memvisualisasikan bola cahaya itu. Namun, tidak ada yang terjadi. Ia membuka matanya dengan kecewa.
"Tidak apa-apa," Eryon tersenyum. "Ini adalah proses yang panjang. Bahkan para Lumoria membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memahami sihir. Yang penting adalah ketekunanmu."
Kael, yang mengamati dari kejauhan, mendekat dan berkata, "Jangan terlalu memaksakan diri, Zen. Sihir adalah tentang keseimbangan, bukan paksaan. Cobalah lagi dengan lebih tenang."
Zen menarik napas dalam-dalam dan mencoba lagi. Ia merasakan aliran mana di sekitarnya dan membayangkan bola cahaya kecil. Kali ini, sebuah kilatan kecil muncul di tangannya, seperti percikan api biru.
Eryon tersenyum puas. "Itu adalah awal yang baik, Zen. Kau berhasil merasakan mana. Langkah berikutnya adalah memperkuat koneksi itu."
Zen menatap tangannya dengan takjub. Meskipun kecil, kilatan itu adalah bukti bahwa ia bisa melakukannya.
"Saya akan terus berusaha," kata Zen dengan penuh keyakinan.
Eryon mengangguk. "Bagus. Kita akan melanjutkan pelajaran ini besok. Untuk sekarang, istirahatlah dan biarkan tubuhmu menyesuaikan diri dengan energi ini."
Zen meninggalkan ruang pelatihan dengan hati yang penuh semangat. Selvina, yang telah menyelesaikan tugasnya, menunggu di luar. Ia tersenyum melihat Zen yang tampak lebih hidup dari sebelumnya.
"Bagaimana pelatihannya?" tanyanya.
Zen tersenyum lebar. "Aku masih jauh dari sempurna, tapi aku berhasil menciptakan kilatan kecil. Itu adalah awal."
Selvina menepuk bahunya. "Aku tahu kau bisa melakukannya, Zen. Ini baru permulaan dari perjalanan panjangmu."
Zen tersenyum lebar, melihat Selvina yang tampak sedikit tersipu dengan ucapannya. Namun, seperti biasa, ia tak bisa menahan diri untuk menggodanya sedikit. "Kau tahu, Selvina, kalau aku terus membuatmu tersenyum seperti itu, jangan-jangan kau mulai jatuh cinta padaku."
Selvina, yang sedang menata rambutnya, langsung menoleh dengan wajah memerah. "Z-Zen! Jangan bicara sembarangan!" katanya dengan suara tinggi, namun ia tak bisa menutupi senyum kecil yang muncul di wajahnya.
Zen tertawa kecil, puas dengan reaksinya. Namun, rasa ingin tahunya tentang dunia baru ini segera kembali menguasai pikirannya. Ia melihat sekeliling, menikmati arsitektur dan suasana Elysarion, lalu bertanya, "Selvina, apakah di sini ada tempat seperti perpustakaan? Aku ingin tahu lebih banyak tentang dunia ini, sejarahnya, atau mungkin cara sihir bekerja secara mendalam."
Selvina menoleh, matanya berbinar. "Tentu saja, Zen! Elysarion adalah pusat ilmu pengetahuan dunia ini. Kami memiliki sebuah perpustakaan besar bernama Arkhaven, yang menyimpan hampir semua pengetahuan dari zaman dulu hingga sekarang. Bahkan, banyak dari kami yang percaya bahwa perpustakaan ini adalah tempat terciptanya peradaban baru setelah kehancuran dunia sebelumnya."
Zen terkejut mendengar hal itu. "Arkhaven? Kedengarannya megah. Jadi, sudah berapa lama perpustakaan itu ada?"
Selvina berjalan mendekati Zen dan berkata dengan penuh semangat, "Arkhaven sudah ada selama lebih dari seribu tahun, tapi pintu utamanya telah tertutup selama berabad-abad. Tidak ada seorang pun yang berani atau diizinkan untuk membukanya karena hanya yang terpilih yang bisa melakukannya. Kau tahu, Zen, aku pikir kau mungkin orangnya."
Zen terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Jadi, kau pikir aku akan membuka perpustakaan besar yang sudah tertutup selama ribuan tahun? Bukankah itu terlalu muluk untuk manusia biasa seperti aku?"
Selvina menggeleng. "Kau bukan manusia biasa, Zen. Kau adalah manusia terakhir dari dunia lamamu, dan sekarang kau adalah bagian dari dunia ini. Rasanya seperti takdir yang membawa kita semua ke titik ini. Mungkin Arkhaven memang menunggumu untuk membukanya."
Rasa penasaran Zen semakin membuncah. Ia memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama lagi. "Kalau begitu, tunjukkan jalannya, Selvina. Aku ingin melihatnya."
Selvina tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, ikut aku."
Mereka berdua berjalan melalui koridor-koridor panjang yang dihiasi lampu-lampu kristal yang memancarkan cahaya lembut. Di tengah perjalanan, mereka melewati banyak penghuni Elysarion yang menyapa Zen dengan ramah. Ia merasa diterima di tempat ini, meskipun dirinya berasal dari dunia yang berbeda.
Akhirnya, mereka sampai di depan sebuah gerbang besar yang terbuat dari batu hitam berhiaskan ukiran-ukiran kuno. Gerbang itu berdiri megah, dan di atasnya terdapat tulisan dalam bahasa Lumoria: "Pengetahuan adalah awal dari segala kebijaksanaan."
"Ini dia, Arkhaven," kata Selvina sambil melangkah mundur. "Namun, seperti yang aku bilang, gerbang ini tidak bisa dibuka sembarang orang."
Zen mendekati gerbang itu dengan hati-hati, memperhatikan detail ukirannya. Ia merasakan aura kuat yang terpancar dari gerbang tersebut, seolah-olah tempat itu hidup. "Apa aku hanya perlu mendorongnya, atau ada ritual khusus?" tanyanya sambil melirik Selvina.
Selvina mengangkat bahu. "Tidak ada yang tahu, Zen. Tidak ada catatan tentang cara membuka gerbang ini. Tapi... cobalah untuk menyentuhnya. Siapa tahu kau bisa merasakannya."
Zen mengulurkan tangan dan menyentuh permukaan dingin gerbang itu. Saat tangannya menyentuh batu hitam, sebuah getaran halus merambat melalui tubuhnya. Cahaya biru perlahan muncul dari ukiran-ukiran di gerbang, dan tulisan di atasnya mulai bersinar.
Selvina menatap dengan takjub. "Zen... kau melakukannya!"
Gerbang itu mulai terbuka perlahan, menghasilkan suara berderit yang dalam dan menggema. Di baliknya, terlihat rak-rak besar yang menjulang tinggi, dipenuhi buku-buku, gulungan, dan artefak kuno. Cahaya lembut dari kristal terapung menerangi ruangan itu, menciptakan suasana yang magis.
Zen melangkah masuk dengan Selvina mengikutinya dari belakang. Ia merasa kecil di hadapan luasnya perpustakaan itu. "Ini luar biasa..." gumamnya.
Selvina tersenyum, merasa bangga bahwa Zen telah berhasil membuka tempat yang begitu bersejarah ini. "Selamat datang di Arkhaven, Zen. Perpustakaan ini kini adalah milikmu juga."
Suasana di Arkhaven mendadak menjadi hiruk-pikuk. Para penghuni Lumoria, yang sebelumnya hanya menyaksikan gerbang perpustakaan dari kejauhan, kini berbondong-bondong menuju tempat itu. Desas-desus bahwa gerbang telah terbuka menyebar dengan cepat, membuat semua orang ingin melihat keajaiban yang telah terjadi.
Eryon Velthar, berjalan tergesa-gesa menuju perpustakaan dengan ekspresi tak percaya. Ketika ia tiba, ia melihat Zen dan Selvina berdiri di tengah aula besar yang kini dipenuhi aura magis yang memancar dari rak-rak buku dan kristal bercahaya.
Dengan nafas sedikit terengah, Eryon menghampiri mereka. "Sungguh... keajaiban dunia!" serunya dengan nada kagum. Ia menatap Zen lekat-lekat. "Zen, apa kau yang membuka gerbang ini?"
Sebelum Zen sempat menjawab, Selvina dengan bangga menyela, "Iya, dia yang melakukannya!"
Kata-kata itu seketika membuat seluruh Lumoria yang hadir bersorak riang. Mereka berteriak dengan sukacita, melompat-lompat kegirangan, dan beberapa bahkan menangis. Getaran halus mulai terasa di udara, dan perlahan-lahan aliran mana di sekitar mereka semakin kuat. Rasanya seperti dunia itu sendiri tengah menyambut sebuah perubahan besar.
Eryon memejamkan matanya sejenak, merasakan aliran energi yang mengalir melalui dirinya. Setelah beberapa saat, ia membuka mata dan berkata dengan suara lantang yang penuh rasa hormat, "Ia telah menjadi pemimpin kita sekarang."
Zen terkejut. "Apa maksudmu, Eryon? Aku hanya membuka sebuah pintu, itu saja."
Namun, Eryon menggeleng, dan suaranya dipenuhi keyakinan. "Zen, membuka gerbang Arkhaven bukanlah hal kecil. Selama ribuan tahun, tidak ada seorang pun yang mampu melakukannya. Bahkan leluhur kami yang terkuat sekalipun gagal. Gerbang ini tidak hanya menyimpan pengetahuan, tetapi juga merupakan simbol keberadaan dan kepercayaan dunia kepada pemimpinnya. Dan kau, Zen, telah dipilih oleh dunia ini untuk menjadi pemimpin kami."
Seluruh Lumoria yang hadir berlutut serempak, memberikan penghormatan kepada Zen. Selvina, yang sebelumnya hanya tersenyum bangga, kini tampak terkejut. Namun, ia mengikuti yang lain dan dengan hati-hati memberi penghormatan.
Zen mundur selangkah, bingung dengan situasi yang terjadi. "Tunggu... tunggu sebentar. Aku? Pemimpin? Aku bahkan bukan bagian dari ras kalian, aku adalah manusia. Satu-satunya manusia yang tersisa!"
Eryon menundukkan kepalanya dengan hormat. "Kau memang manusia, Zen. Tetapi, lebih dari itu, kau adalah manusia yang dipilih oleh dunia ini. Para leluhur kami telah meramalkan bahwa suatu saat, seorang pemimpin akan datang untuk membawa dunia menuju kebangkitan baru. Dan hari ini, ramalan itu menjadi kenyataan."
Zen menatap mereka semua, masih belum sepenuhnya percaya. Ia teringat kehidupannya di dunia lama, bagaimana ia hanya seorang prajurit biasa yang berjuang untuk bertahan hidup. Dan sekarang, di dunia baru ini, ia dianggap sebagai seorang pemimpin.
Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ada sesuatu yang memanggilnya. Dunia ini membutuhkan perlindungan, dan jika dirinya benar-benar dipilih untuk tugas ini, maka ia tidak akan lari dari tanggung jawab.
Zen menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara tegas, "Jika ini memang takdirku, aku tidak akan lari. Tapi aku butuh kalian semua. Aku tidak bisa melakukan ini sendirian."
Eryon tersenyum dan berdiri tegak. "Kami ada di sisimu, Pemimpin kami. Dunia ini telah memanggilmu, dan kami semua siap mengikuti."
Sorakan kembali menggema di aula perpustakaan, namun kali ini dengan rasa hormat dan tekad yang membara. Selvina menatap Zen dengan tatapan kagum yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.
Tak lama setelah seluruh penghuni Lumoria memberikan penghormatan kepada Zen, sebuah fenomena luar biasa terjadi. Pohon agung yang menjadi inti kehidupan mereka, yang berdiri kokoh di tengah negeri apung, mulai berubah. Retakan-retakan kecil yang sebelumnya hanya menghiasi batangnya kini meluas, mengeluarkan cahaya keemasan yang menyilaukan.
Zen menatap pohon itu dengan takjub, tidak tahu apa yang sedang terjadi. Selvina menggenggam lengannya dengan cemas, tetapi matanya juga terpaku pada perubahan besar itu.
"Eryon, apa yang sedang terjadi?" tanya Zen, suaranya dipenuhi kebingungan dan rasa kagum.
Eryon, yang berdiri di sisi mereka, hanya tersenyum lebar. "Inilah tanda yang kami tunggu-tunggu. Pohon Agung, yang telah berdiri selama ribuan tahun, kini menunjukkan bentuk sejatinya. Ini adalah anugerah dunia untuk pemimpinnya."
Saat Eryon selesai berbicara, pohon itu mulai berubah sepenuhnya. Retakan-retakan keemasan memancarkan cahaya yang semakin terang, hingga seluruh negeri apung diterangi oleh kilauan yang hampir seperti siang hari. Dalam hitungan detik, pohon itu berubah menjadi sebuah kastil yang megah.
Kastil itu berdiri gagah dengan menara-menara tinggi yang berkilauan dalam cahaya emas dan perak. Dinding-dindingnya terbuat dari batu kristal yang memancarkan aura magis yang kuat. Dari perpustakaan tempat Zen berdiri, kastil itu terlihat seperti keajaiban yang baru saja lahir.
Zen hanya bisa menatap dengan mulut ternganga. "Apa… itu kastil?" gumamnya, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Eryon menepuk bahu Zen dengan penuh rasa bangga. "Itu bukan sekadar kastil, Zen. Itu adalah Arkhaven Citadel, tempat tinggal pemimpin dunia ini. Kastil itu hanya akan muncul ketika pemimpin sejati telah dipilih oleh dunia."
Selvina menatap kastil itu dengan mata berbinar. "Begitu indah… Aku belum pernah melihat hal seperti ini sepanjang hidupku."
Zen mengusap wajahnya, mencoba mencerna semua yang terjadi. Ia menoleh ke Eryon. "Jadi, sekarang aku juga punya kastil?"
Eryon terkekeh. "Bukan hanya kastil. Itu adalah simbol kekuasaanmu, tempat dari mana kau akan memimpin dunia ini menuju era baru. Hanya kau yang memiliki hak untuk memasukinya."
Namun, meski semua orang bersorak gembira dan merayakan keajaiban ini, Zen merasa ada sesuatu yang berat dalam dirinya. Ia tahu bahwa memiliki kastil ini bukan hanya soal tempat tinggal. Itu adalah beban tanggung jawab yang harus ia pikul sebagai pemimpin dunia yang baru.
Dengan semangat yang mulai tumbuh, Zen mengepalkan tangannya. "Kalau begitu, mari kita lihat apa yang ada di dalamnya."
Eryon mengangguk penuh semangat. "Kami akan mengantarmu ke sana, Pemimpin."
Saat Zen dan rombongan mulai bergerak menuju kastil yang megah itu, seluruh penghuni Lumoria memberi sorakan penghormatan kepada pemimpin baru mereka. Di balik senyumnya, Zen tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai, dan dunia ini masih menyimpan banyak misteri yang menunggu untuk ia ungkapkan.
Bersambung!