Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Nyaris
Alika membeku. Bahkan para pria bertopeng itu ikut terkejut.
Di ambang pintu, berdiri seorang pria dengan tatapan tajam penuh kemarahan.
Arlan.
Dan di belakangnya, beberapa anak buahnya siap bertindak.
Suasana kamar kecil itu terasa mencekam. Tangisan Adriel yang melengking memenuhi udara, bercampur dengan ketegangan yang melingkupi ruangan.
Arlan berdiri di ambang pintu dengan ekspresi dingin dan tatapan penuh amarah. Sorot matanya menusuk tajam ke arah dua pria bertopeng yang masih mencengkeram Alika.
"Lepaskan dia," suaranya datar, tapi mengandung ancaman yang tak terbantahkan.
Kedua pria bertopeng itu saling berpandangan, ragu-ragu. Namun, salah satu dari mereka menggertakkan giginya dan berusaha menarik Alika keluar.
Melihat Alika ingin ditarik keluar, Arlan tidak tinggal diam. Dalam sekejap, dua anak buahnya menerjang masuk. Perkelahian pun tak terhindarkan. Salah satu pria bertopeng mengayunkan tinjunya ke arah Arlan, tapi dengan sigap, Arlan menghindar dan membalas dengan pukulan keras ke rahangnya. Pria itu terhuyung ke belakang, menabrak meja kecil hingga barang-barang berjatuhan.
Pria bertopeng lainnya mencoba kabur, tapi salah satu anak buah Arlan lebih cepat. Dengan satu gerakan cekatan, pria itu ditendang hingga jatuh tersungkur ke lantai.
Alika terduduk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar sementara tangannya erat memeluk Adriel yang masih menangis keras.
Arlan melangkah maju, mencengkeram kerah salah satu pria bertopeng yang tersisa. "Siapa yang menyuruh kalian?” suaranya penuh kemarahan yang terpendam.
Pria itu hanya mendesis kesakitan, jelas enggan menjawab.
Namun, sebelum Arlan bisa memaksanya bicara, suara deru mobil terdengar dari luar. Arlan sempat menoleh ke jendela, cukup untuk melihat sebuah mobil melaju cepat meninggalkan tempat itu.
Matanya menyipit. la tahu siapa yang ada di dalam mobil itu.
Terry..
"Alika! Adriel! Apa yang terjadi?" Arya tiba-tiba muncul di pintu, napasnya terengah-engah. Kekhawatiran tercermin jelas di wajah pria tua itu. Ia terbangun terburu-buru mendengar suara perkelahian dan tangisan Adriel yang semakin keras.
Arya terhuyung ke dalam ruangan, tangannya mencengkeram dada saat napasnya tersengal. Wajahnya pucat, jelas kelelahan setelah tergesa-gesa ke tempat kejadian.
Melihat Alika dan Adriel di sudut ruangan, tubuhnya gemetar ketakutan, Arya semakin panik. Ia mencoba melangkah lebih dekat, tetapi dadanya terasa semakin sesak.
Arlan yang melihat kondisi Arya langsung mendekat, menuntunnya ke kursi terdekat. "Pak, duduk dulu! Jangan terlalu banyak bicara," ucapnya tegas, tangannya sigap mengusap punggung pria tua itu.
Arya berusaha mengatur napasnya, sementara matanya tetap tertuju pada Alika dan Adriel. "Mereka... mereka baik-baik saja?" tanyanya dengan suara terputus-putus.
Alika mengangguk lemah, masih berusaha menenangkan Adriel yang terus menangis. Ketakutan masih jelas membayangi wajahnya.
Arlan mengangguk mantap, meski matanya masih menyiratkan kemarahan yang belum reda. "Aku akan memastikan hal seperti ini tidak terjadi lagi," katanya dengan nada berbahaya, sementara pikirannya sudah dipenuhi rencana untuk membalas perbuatan Terry.
Di Dalam Mobil
Terry mencengkeram setir dengan erat, rahangnya mengatup kuat.
Keringat dingin membasahi pelipisnya, sementara ia mencoba mengendalikan napasnya yang memburu.
"Brengsek!" geramnya, menghantam setir dengan marah.
Ia tak menyangka Arlan akan muncul di tempat itu. Rencana mereka nyaris berhasil, namun semuanya berantakan seketika begitu Arlan datang.
Di kursi penumpang, Widi duduk dengan ekspresi tegang, kedua tangannya terkepal di pangkuannya.
"Kita harus melakukan sesuatu, Tante," suara Terry bergetar. "Jika ini terus dibiarkan, Alika akan semakin sulit disingkirkan."
Widi menarik napas panjang, lalu menatap Terry dengan mata penuh keteguhan. "Tenang. Masih ada cara lain."
Terry menoleh dengan mata penuh harapan. "Apa yang harus kita lakukan, Tante?"
Widi menyeringai tipis. "Jika kita tidak bisa menyingkirkan Alika dengan cara kotor seperti tadi... maka kita akan menghancurkannya dengan cara lain. Sesuatu yang lebih halus, lebih menyakitkan."
Terry menelan ludah, hatinya berdebar. "Apa maksud Tante?"
Widi tersenyum dingin. "Kita akan buat Arlan sendiri yang menyingkirkan Alika dari hidupnya."
***
Sementara itu, di dalam kamar yang masih berantakan, Arya masih duduk di kursi mengatur napasnya. Alika duduk di lantai dengan napas tersengal. Tubuhnya gemetar setelah hampir diculik. Adriel mulai tenang dalam gendongannya, sementara Arlan berdiri di depan mereka dengan ekspresi gelap.
Salah satu anak buahnya, Bima, mendekat dengan wajah tegang. “Bos, yang satu ini pingsan, yang satunya lagi sedang kami interogasi di luar.”
Arlan mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari Alika. Ia lalu berjongkok di depannya, menatapnya lekat-lekat.
"Kamu baik-baik saja?" suaranya lebih lembut dari biasanya.
Alika mengangguk pelan, meski jelas terlihat shock. Ia masih kesulitan berkata-kata.
Arlan menghela napas dan beralih menatap anak buahnya. “Pastikan yang satu itu tetap hidup. Aku ingin tahu siapa dalang di balik ini.”
Bima mengangguk, lalu keluar meninggalkan ruangan.
Bagaimana Arlan Bisa Datang Tepat Waktu?
Beberapa jam sebelumnya, Arlan baru saja tiba di rumah setelah seharian mengurus proyeknya. Ia duduk di ruang kerjanya, mencoba melepas lelah, ketika suara ketukan terdengar di pintu.
"Masuk," ujarnya singkat.
Pintu terbuka, menampakkan sosok Bik Murni, wanita paruh baya yang telah lama mengabdi sebagai pelayan Arlan, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi cemas.
"Ada apa, Bik?" Arlan bertanya, merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Bik Murni melangkah masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Tuan, Nyonya Alika dalam bahaya! Tolong segera ke rumahnya sekarang juga!"
Nada panik dalam suara Bik Murni membuat Arlan langsung menegakkan tubuhnya. Rasa lelah yang semula membebani seketika sirna, digantikan ketegangan yang merayap cepat.
Arlan menyipitkan mata, firasat buruk langsung menyergapnya. Tanpa bertanya lebih lanjut pada Bik Murni, ia segera menghubungi anak buahnya, Bima dan Dani, untuk bersiap.
Dalam perjalanan, ia mencoba menelpon Alika, tetapi tidak ada jawaban. Ini hanya memperburuk kecurigaannya.
Setibanya di area rumah makan Alika, ia melihat lampu masih menyala, tapi suasananya terlalu sepi. Arlan yang sudah terbiasa membaca situasi langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres.
Saat ia mendekati pintu belakang, samar-samar ia mendengar suara tangisan Adriel. Naluri pelindungnya langsung mengambil alih. Tanpa pikir panjang, ia mendobrak pintu bersama anak buahnya, tepat saat dua pria bertopeng mencoba menyeret Alika keluar.
Arlan datang di saat yang tepat.
Kembali ke Saat Ini
Alika masih diam, berusaha mengendalikan diri sekaligus menenangkan Adriel. Arlan duduk di sampingnya, menatapnya dengan serius.
“Aku ingin tahu semua yang terjadi,” katanya tegas.
Alika menggigit bibirnya. “Aku… aku tidak tahu siapa mereka. Mereka tiba-tiba masuk dan mencoba membawaku pergi. Aku bahkan tidak sempat melihat wajah mereka.”
Arlan mengatupkan rahangnya. Ia sudah menduga ini bukan sekadar perampokan biasa. Ini jelas serangan yang terencana.
Tak lama, Bima masuk kembali.
“Kami sudah mendapat pengakuan,” katanya dengan ekspresi serius. “Mereka hanya disuruh seseorang yang membayar mahal. Mereka tidak tahu siapa dalangnya, tapi ada satu nama yang disebut-sebut.”
Arlan menegang. “Siapa?”
Bima menatapnya lekat.
“Terry.”
Ruangan seketika terasa lebih dingin.
Arlan mengatupkan rahangnya, matanya berkilat penuh amarah.
Alika menoleh dengan mata membelalak. “Terry?!” Suaranya dipenuhi keterkejutan dan ketakutan. Ia tak pernah menyangka Terry akan bertindak sejauh ini.
Padahal, ia tak pernah membuka mulut tentang kejadian malam itu, apalagi mengaku mengandung anak Arlan. Tapi kenapa Terry justru nekat menculiknya seperti ini? Apa yang sebenarnya ia inginkan?
Di sisi lain, Arya menatap putrinya dengan penuh kebingungan. Ia tak tahu siapa Terry atau apa alasan orang itu berusaha mencelakai Alika. Namun, kekhawatiran yang dalam tergambar jelas di wajahnya.
Arlan bangkit, tangannya mengepal kuat. “Jika mereka ingin perang, aku akan memberikannya.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Adric jg sangat membutuhkan figur seorang ibu dan adric sangat nyaman sm alika....
Widi sangat menentang arlan menikah dgn alika krn keluarga alika berantakan..
keputusan arlan tdk bs diganggu gugat akan tetep menikahi alika....
bagas mendengar nama Arya membeku ada apakah dgn bagas dan Arya...