Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦢꦸꦮꦥꦸꦭꦸꦠꦸꦗ꧀
"Sudah lama tidak bertemu, saudaraku William," ujar Herlic sambil menepuk pundak sepupunya dengan hangat. Hari itu, ia baru saja tiba di kampung Belanda yang berada di Batavia, tempat para serdadu dan pegawai kolonial sering berkumpul.
"Kau juga baru sampai, ya?" balas William dengan senyum kecil, memperhatikan sepupunya yang tampak sedikit kelelahan setelah perjalanan panjang.
"Ia," jawab Herlic, duduk di kursi rotan yang ada di beranda rumah kecil itu. "Ngomong-ngomong, kapan kau tiba di sini?"
"Subuh tadi," kata William santai sambil menuangkan teh dari teko keramik putih. "Dan kau?"
"Sama, aku juga sampai subuh tadi."
Keduanya tertawa kecil, menyadari kebetulan waktu kedatangan mereka. Namun, di balik tawa itu, ada rasa rindu yang sulit diungkapkan. Sudah lama mereka jarang bertemu sejak William ditugaskan mengatur bagian Timur oleh pemerintah kolonial, sementara Herlic tetap berada di sekitar Mataram. Meski keduanya sama-sama berasal dari tanah yang sama, tugas dan posisi membuat jarak terasa semakin jauh.
Sekarang, di tengah percakapan ringan sore itu, mereka mencoba mengisi waktu yang hilang, mengenang masa-masa ketika mereka lebih sering bersama sebelum segala kesibukan dan tanggung jawab membagi jalan hidup mereka.
Pada malam harinya, suasana di Menteng terasa hidup dengan keramaian para tamu yang berdatangan untuk menghadiri acara yang digelar di salah satu rumah mewah milik keluarga Eropa. Di bawah cahaya lampu gas yang terpasang di sepanjang jalan, para tamu berpakaian rapi dan elegan, mengenakan gaun panjang dan jas bergaya Barat. Pemandangan itu kontras dengan kehidupan yang biasa dijalani oleh Herlic dan William, namun bagi mereka, itu adalah bagian dari dunia yang tidak bisa dihindari.
Setibanya di lokasi acara, Herlic masih ditemani sepupunya, William, yang dengan santai menggandeng lengannya. Mereka memasuki ruang utama, yang dipenuhi dengan karya seni Eropa, lukisan-lukisan klasik yang berbingkai emas menghiasi dinding, sementara patung-patung marmer putih menambah kesan mewah dan anggun. Musik klasik dari orkestra kecil mengalun lembut, memberikan nuansa yang hampir mistis pada malam itu.
Herlic memilih duduk di samping sepupunya, menatap sekeliling dengan sedikit rasa asing. Meskipun mereka berdua sama-sama berasal dari Mataram, suasana di dalam ruangan ini terasa sangat berbeda. Para tamu tampak asyik berbincang dalam bahasa Belanda, sesekali diselingi tawa yang ringan. Beberapa di antaranya mengenakan pakaian dengan potongan terbaru dari Eropa, sementara yang lainnya lebih santai, memilih gaun dengan aksen tropis yang lebih nyaman untuk cuaca Jakarta.
William menyadari perhatian sepupunya yang tertuju pada sebuah lukisan besar di dinding, yang menggambarkan pemandangan alam Eropa dengan latar pegunungan yang diselimuti salju. "Lukisan itu karya seorang pelukis terkenal dari Belanda," kata William, mengikuti arah pandang Herlic. "Di sini, seni sangat dihargai. Banyak orang Eropa yang datang untuk menikmati pameran-pameran semacam ini."
Herlic mengangguk, masih terpesona oleh detail lukisan tersebut. "Aku tidak terbiasa dengan seni seperti ini," jawabnya pelan, merasa sedikit terasing dengan suasana yang begitu jauh dari kehidupan yang ia jalani di kampungnya. Namun, ia tidak bisa menutupi rasa ingin tahunya terhadap dunia yang tampaknya sangat berbeda ini.
"Memang begitu," jawab William sambil tersenyum, seolah memahami perasaan sepupunya. "Tapi, seiring waktu, kita akan terbiasa. Aku sendiri sudah cukup lama tinggal di sini, dan mulai memahami bagaimana seni menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka."
Mereka berdua terdiam sejenak, menyimak alunan musik yang mengalir di udara. Malam itu, Herlic merasa ada ketegangan antara dua dunia yang ada dalam dirinya: dunia lama yang penuh dengan kebiasaan dan kenangan dari Mataram, serta dunia baru yang dibentuk oleh jajahan, dengan segala keindahan dan kekasaran yang terkandung di dalamnya.
Sebentar lagi, acara utama akan dimulai, dan para tamu akan mulai berkumpul di sekitar panggung untuk menyaksikan pertunjukan teater yang telah dipersiapkan. Herlic memandang William dengan ragu, namun sepupunya hanya tersenyum, memberi isyarat untuk menikmati malam itu, apapun yang akan terjadi.
Selama empat hari mereka menikmati suasana di Menteng, menghirup kehidupan yang berbeda dari yang biasa mereka jalani. Herlic dan William berbincang, menikmati pertunjukan seni, dan meresapi sejenak ketegangan antara dua dunia yang mereka hadapi. Namun, seperti semua hal yang baik, saat itu pun tiba. Waktu untuk pulang akhirnya datang, dan mereka berdua bersiap untuk meninggalkan kota yang penuh hiruk-pikuk itu.
"Kaumau pulang bersama denganku?" tanya William ketika mereka bersiap menaiki kereta yang akan membawa mereka keluar dari Batavia.
"Baiklah, kalau itu mau-mu, William," jawab Herlic dengan nada santai, meski ada sedikit keraguan di matanya. Sebagian dari dirinya masih merasa terhubung dengan kehidupan di Mataram, tapi ia tahu bahwa perjalanan bersama sepupunya ini akan membawa mereka ke tempat yang lebih dikenal.
Dengan begitu, mereka berdua memulai perjalanan pulang. Kereta itu bergemuruh perlahan meninggalkan Batavia, dan malam pun semakin larut. Di sepanjang perjalanan, mereka berbincang, mengisi waktu dengan percakapan yang lebih serius setelah berhari-hari terlarut dalam kesenangan. William, yang merasa penasaran tentang apa yang terjadi di bagian Timur, memecah keheningan.
"Bagaimana di timur?" tanya William, memandang Herlic dengan serius.
Herlic menatap keluar jendela kereta sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan nada datar. "Baik, semuanya aman dan teratur."
William mengerutkan dahi, tidak sepenuhnya yakin dengan jawaban sepupunya. "Benarkah?" tanyanya, tidak bisa menahan keraguannya.
"Iya," jawab Herlic, matanya menatap lurus ke depan. "Untuk mereka yang tidak membayar pajak lebih, akan aku habisi. Dan untuk yang membangkang, akan aku habisi juga."
William terkejut mendengar jawaban Herlic yang tegas dan dingin. Ia merasa gelisah mendengar kata-kata itu. "Oi, kau ini bagaimana? Kalau semua yang tidak membayar pajak kau habisi, yang ada malah tidak ada lagi orang yang tertinggal. Caramu salah, Herlic. Habisi mereka yang membangkang dan tidak mau turut pada perintah itu saja."
Herlic terdiam sejenak, merenung dengan kata-kata William yang terus berputar di kepalanya. Ia tahu, kadang tindakan yang tampaknya tegas dan langsung memang diperlukan, namun kata-kata William mengingatkannya bahwa mungkin ada cara yang lebih bijak untuk mengatur dan menegakkan aturan.
"Oh, baiklah kalau begitu," jawab Herlic akhirnya, suaranya terdengar sedikit lebih lembut. Mungkin, kata-kata William memang benar, dan mungkin ada cara yang lebih baik untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan padanya.
"Tapi ada satu hal yang harus kau ketahui," kata William pelan, seolah menimbang-nimbang kata-katanya dengan hati-hati. "Kata warga, ada keturunan kerajaan Demak di sana. Aku tidak tahu entah siapa orang tersebut, yang perlu kau ingat adalah dia keturunan langsung dari darah kerajaan Demak. Suatu waktu, dia bisa saja menjadi provokasi, pemicu perlawanan. Bagaimanapun juga, mereka memiliki jiwa yang hebat dalam berperang."
Herlic menatap sepupunya dengan bingung, tidak mengenal nama yang baru disebutkan itu. "Kerajaan Demak?" tanya Herlic, wajahnya menunjukkan keheranan. "Aku baru kali ini mendengar nama itu."
William mengangguk pelan. "Iya, kerajaan Demak. Kerajaan yang juga kuat pada masanya sebelum kita datang ke sini. Mereka memiliki sejarah panjang sebagai kekuatan besar di tanah Jawa. Sebagian besar wilayahnya dikuasai, dan mereka dikenal dengan kemampuan mereka dalam pertempuran."
Herlic terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. Pikirannya mulai mengingat kembali cerita-cerita yang sering terdengar dari para tetua di Mataram, tentang kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan berkuasa. Namun, nama Demak tidak begitu familiar bagi dirinya.
"Jika memang begitu," kata William, melanjutkan, "keturunan itu bisa saja mengambil posisi untuk melakukan serangan atau bahkan memberontak keras. Kita harus berhati-hati. Mereka tidak akan diam jika merasa terancam. Jiwa perjuangan mereka masih sangat kuat, meskipun sudah berabad-abad berlalu."
Herlic bisa merasakan seorang keturunan dari kerajaan besar seperti Demak bisa menjadi sumber perlawanan yang cukup berbahaya jika dibiarkan berkembang.
"Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanya Herlic, suaranya lebih serius kini.
"Awasi mereka," jawab William dengan tegas. "Jika ada tanda-tanda keturunan itu mulai bergerak atau mengorganisir sesuatu, kita harus siap. Jangan anggap remeh. Mereka adalah pewaris dari kerajaan besar yang pernah mengusir penjajah, dan mereka tidak akan mudah dipengaruhi oleh kekuasaan asing seperti kita."
Herlic mengangguk pelan, menyadari bahwa ini bukan hanya soal mengatur wilayah, tetapi juga tentang memahami sejarah dan kekuatan yang mungkin tersembunyi di balik nama besar yang ia baru dengar. "Aku akan hati-hati, William," katanya, suara penuh tekad.
William menatap sepupunya dengan serius, memberi tanda bahwa peringatan ini bukanlah hal yang bisa dianggap enteng. Mereka berdua tahu bahwa meskipun perlawanan tampaknya jauh, api sejarah bisa saja membakar kembali.