Mungkin hal biasa kalo cewek cupu pacaran sama bad boy, namun kali ini kebalikanya gimana peran sicewe yang urak-urakan, suka balap liar, dan tidak mau diatur malah dia jatuh cinta dengan cowo cupu kutu buku yang anti sosial.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon prettyaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
paksakan
pagi hari cerah seperti biasanya, Saat tiba di gerbang, Gara sudah berdiri di sana, seperti kemarin. Tatapan lelaki itu tajam, seakan bisa menembus semua isi pikirannya.
"Kamu kelihatan lebih lelah dari kemarin,kenapa?," ujar Gara pelan.
Sera hanya tersenyum kecil, berusaha mengabaikan detak jantungnya yang semakin cepat. "Mungkin karena ujian kemarin cukup menguras energi nya."
Gara mengernyit, tapi tidak mendesak lebih jauh.
Hari itu berlalu dengan cepat. Di dalam kelas, Sera berusaha fokus, tetapi pikirannya terus kembali ke pesan di ponselnya. Sesekali, ia melirik ke arah Gara, bertanya-tanya kapan waktu yang tepat untuk jujur.
Namun, sebelum ia bisa memutuskan, bel pulang berbunyi.
saat ini sera tengah berada di Lapangan Sekolah
"Sera!"
Ia menoleh, mendapati Gara berjalan ke arahnya dengan ekspresi serius.
"Aku ada sesuatu buat kamu," katanya.
Sera mengernyit, penasaran. Gara mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jaketnya dan menyerahkannya padanya.
"Apa ini?"
"Buka saja."
Perlahan, Sera membuka kotak itu dan mendapati sebuah gelang kulit sederhana dengan ukiran kecil bertuliskan "For Sera."
"Ini..." Sera menatapnya, matanya sedikit membesar.
"Supaya kamu ingat kalau aku selalu ada buat kamu, apa pun yang terjadi," ujar Gara.
Dadanya menghangat, tapi bersamaan dengan itu, rasa bersalah juga ikut muncul.gara terlalu baik,padanya .Terlalu tulus.
Dan ia masih menyimpan rahasia besar darinya.
"Aku harus cerita sesuatu," kata Sera akhirnya, suaranya nyaris bergetar.
Gara menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa itu?"
Sera menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan keberanian.
Sebelum Sera sempat berbicara, ponselnya bergetar di dalam saku. Sekilas ia melirik layar, Ayah.
Jantungnya mencelos.
"Sera?" Gara masih menatapnya, menunggu.
Sera menelan ludah, lalu tersenyum kecil. "Bentar, aku harus angkat ini dulu."
Gara mengangguk, meski sorot matanya menunjukkan sedikit kekecewaan.
Sera melangkah menjauh, menempelkan ponsel ke telinganya. "Halo, Yah?"
"Kamu di mana?" suara ayahnya terdengar tegas di seberang.
"Masih di sekolah," jawabnya hati-hati.
"Pulang sekarang."
Sera mengerutkan kening. "Ada apa?"
"Kita perlu bicara."
Nada suara itu membuat tengkuknya meremang. Tanpa menunggu jawaban Sera, panggilan terputus. apalagi yang ayahnya ingin bicarakan.
Perasaan buruk mulai menjalar di dadanya.
Sera menoleh ke arah Gara yang masih berdiri di tempatnya, menatapnya dengan cemas.
"Kamu harus pulang?" tanya Gara.
Sera mengangguk pelan. "Ayahku mau bicara sesuatu."
Gara tampak ragu sejenak, lalu berkata, "Kalau ada apa-apa, kabari aku aja, oke?"
Sera mengangguk lagi, tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa setelah ini, semuanya tidak akan sama lagi.
•••
Begitu memasuki rumah, Sera langsung menemukan ayahnya duduk di ruang tamu, ekspresinya dingin.
"Duduk," perintahnya.
Sera menurut, meski hatinya semakin tampak gelisah.
Ayahnya meletakkan sebuah amplop di meja. "Aku sudah tahu semuanya."
Darah Sera berdesir. "Tahu apa?"
Sang ayah menyilangkan tangan. "Tentang kuliahmu di Paris, kau di paksa kuliah disana kan sama ibumu..."
Sera hanya terdiam.
"Apa kamu benar-benar berpikir bisa menyembunyikannya dariku?" lanjut ayahnya dengan nada tajam. "ayah tidak pernah menyetujui ini, Sera."
Sera mengepalkan tangannya di atas pangkuan. "Aku hanya ingin mengejar impianku, Yah."
"Impian?" Ayahnya mendengus. "Impian yang tidak ada gunanya? Aku sudah menyiapkan masa depan untukmu, dan itu bukan di sana."
Sera mengangkat dagunya, suaranya bergetar namun tegas. "Tapi ini hidupku. Aku berhak memilih."