Layaknya matahari dan bulan yang saling bertemu disaat pergantian petang dan malam, namun tidak pernah saling berdampingan indah di langit angkasa, seperti itulah kita, dekat, saling mengenal, tapi tidak pernah ditakdirkan untuk bersama.
Aku akan selalu mencintaimu layaknya bulan yang selalu menemani bintang di langit malam. Diantara ribuan bintang di langit malam, mungkin aku tidak akan pernah terlihat olehmu, karena terhalau oleh gemerlapnya cahaya bintang yang indah nan memikat hati itu.
Aku memiliki seorang kekasih saat ini, dia sangat baik padaku, dan kita berencana untuk menikah, tetapi mengapa hatiku terasa pilu mendengar kabar kepergianmu lagi.
Bertahun-tahun lamanya aku menunggu kedatanganmu, namun hubungan kita yang dulu sedekat bulan dan bintang di langit malam, justru menjadi se-asing bulan dan matahari.
Kisah kita bahkan harus usai, sebelum sempat dimulai, hanya karena jarak yang memisahkan kita selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Roshni Bright, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selingkuh
Ji-hyeon kembali dengan membawa 2 minuman.
“Makanan Kamu udah habis?” tanya Ji-hyeon.
“Belum, aku nungguin Kamu,” jawab Aisyah.
“Kenapa nungguin aku?”
“Gak apa-apa, aku mau nungguin Kamu aja, ayok makan! lapar!” ajak Aisyah.
“Iya,” jawab Ji-hyeon.
Ji-hyeon membukakan tutup botol dan memberikannya pada Aisyah.
Aisyah sesekali tersenyum menatap Ji-hyeon, dan nampaknya kini, ia sudah mulai menyukainya.
Ji-hyeon yang mulai menyadari menanyakan hal tersebut pada Aisyah.
“Kamu kenapa? Apa ada yang salah sama mukaku?” tanya Ji-hyeon.
“Hm enggak! Gak ada kok! Yaudah lanjut aja makannya!”
“Hm oke!”
Aisyah nampak malu, karena ketahuan oleh Ji-hyeon, sedangkan di dalam lubuk hati Ji-hyeon merasa sangat senang.
“Balik yuk Ji!” ajak Aisyah.
“Ayok!” jawab Ji-hyeon.
Ji-hyeon mengantarkan Aisyah hingga ke depan rumahnya dan kembali ke rumahnya.
Ji-hyeon dan Aisyah tersenyum menatap langit-langit kamar masing-masing. Nampaknya keduanya memiliki perasaan yang sama, namun tidak ada yang berani untuk mengutarakan perasaan masing-masing. Keduanya bahkan tidak saling mengerti terkait rasa yang sama tersimpan di dalam hati.
Kembali ke masa kini, Ji-hyeon kini sedang menulis di buku diary miliknya.
“Aku tidak tahu apa yang Kamu pikirkan, dan aku pun tidak mengerti apa yang Kamu sembunyikan di dalam hatimu ...”
“... Mungkin saja kebencian, atau apapun itu, tapi apa Kamu tahu? hingga perpisahan Kita pun, perasaanku padamu tidak kunjung menghilang ...”
“... Aku tidak tahu, mengapa Kamu pergi begitu saja meninggalkanku, tapi tak apa, aku senang, karena saat kepergianmu tanpa kabar itu, Kamu kembali lagi ke Jakarta ...”
“... Walaupun kedatanganmu, hanya sekadar kembali ke tempat di mana Kamu dibesarkan, bukan karena seseorang yang pernah menemanimu selama ini ...”
“...Asing tanpa bilang itu sakit ya!” karena yang tersisa hanyalah luka dan harapan yang akan selalu menjadi sebuah harapan, tanpa adanya kepastian kapan semua itu akan berakhir ...”
“... Aku harap, aku menjadi satu-satunya Wanita yang pernah Kamu perlakukan seperti itu. Aku tak apa, asalkan jangan ada Wanita lain sepertiku ya Ji! Ini bukan kesalahanmu, ini adalah kesalahanku yang telah lancar mencintaimu ...”
“... Tetapi, bukankah tidak akan ada cinta selama tidak ada perlakuan manis? apa memang Kamu terbiasa bersikap seperti itu pada semua Wanita? Ataukah aku hanya pelarianmu semata? “karena dari banyaknya beban yang ada, aku adalah beban yang paling mudah untuk Kamu buang begitu saja.” tapi mungkin Kamu lupa, jika aku juga punya hati ...”
“... antara aku yang terlalu mudah jatuh cinta, atau memang Kamu yang berusaha membuatku jatuh cinta padamu, apapun itu, semua ini merupakan takdir yang harus aku terima dengan terus berprasangka baik pada-Nya, walaupun sebenarnya ini sangat menyakiti hatiku ...”
“... Jika aku boleh meminta, aku ingin kisah Kita yang dulu kembali lagi, lupakan aku yang pernah jatuh cinta padamu, dan kembalilah menjadi temanku ...”
“... Kembalilah menjadi dua orang asing yang tidak saling mengenal, lalu lama-kelamaan menjadi dekat, setidaknya hal itu bisa mengobati luka di dalam lubuk hatiku ...”
“... Aku ingin sekali melihat senyumanmu seperti saat dulu lagi, saat di mana keluarga Kamu masih utuh, bukannya sok tahu, tapi itulah yang aku rasakan. Aku melihat perbedaan tatapan mata dan senyumanmu ...”
“... Mungkin Kamu bisa menyembunyikannya dari orang lain, tapi tidak denganku Ji! untuk semua luka yang Kamu simpan di dalam hatimu, semoga Kamu selalu diberi kekuatan untuk melewatinya ...”
“... Kamu bisa tanpa aku, tapi aku gak bisa tanpa Kamu” hidupku terasa sangat hampa semenjak kepergianmu, seperti ada sesuatu yang hilang di dalam hatiku” curahan hati Aisyah yang membuatnya meneteskan airmata dan kembali mengingat masa lalunya.
Aisyah mengingat saat pertama kali ia mendapat kabar, jika Ayah Ji-hyeon berselingkuh dengan Wanita lain.
“Aku mau Kita cerai!” teriak Ayah Ji-hyeon.
“Cerai? Memangnya apa salahku Mas?” tanya Ibu Ji-hyeon.
“Aku ingin menikah dengan Lia!”
“Lia? Lia siapa Mas? Apa Dia selingkuhanmu?”
“Iya, dan saat ini, Lia sedang mengandung anakku, jadi aku menikah dengannya, lagipula, aku juga sudah bosan denganmu, aku menginginkan gadis muda sepertinya, tidak sepertimu yang sudah tua dan keriput seperti itu!”
“Keriput?” tanya Ibu Ji-hyeon memegangi wajahnya.
“Ahh Mass! Aku mohon jangan pergi! Aku mohon! Jangan tinggalkan aku sendiri bersama dengan anak-anak Kita!”
“Tidak bisa! Lia juga sedang mengandung darah dagingku, lepaskan!” ucap Ayah Ji-hyeon mendorongnya.
Ibu Ji-hyeon memegangi kakinya, namun rambutnya malah ditarik ke belakang, dan dilempar begitu saja, hingga kepalanya terbentur aspal, akhirnya Ayah Ji-hyeon pergi menghampiri selingkuhannya yang saat ini sedang mengandung darah dagingnya itu.
Ibu Ji-hyeon nampak sangat terpukul akan hal itu dan Ia pun berteriak kencang, saking frustasinya, hingga teriakannya didengar oleh para tetangga.
Ibu Ji-hyeon dihampiri oleh tetangga-tetangga yang mendengar suara teriakannya.
“Kenapa Bu? Ada apa? Kenapa teriak-teriak kayak gitu?” tanya salah satu tetangganya.
Ibu Ji-hyeon menangis tersedu-sedu dan menceritakan kronologinya.
“Suami saya selingkuh, selingkuhannya saat ini tengah mengandung darah daging suami saya,” ucap Ibu Ji-hyeon.
Mendengar hal itu, sontak membuat Mereka terkejut, dan merasa kasihan pada Ibu Ji-hyeon, mengingat saat ini kedua anaknya masih kecil-kecil.
“Yang sabar ya Bu! ini ujian untuk Ibu, Ibu harus bisa ikhlas menerimanya!” ucap salah satu tetangga berusaha menenangkannya, sedangkan yang lainnya sibuk ghibah masing-masing.
Mereka membantu Ibu Ji-hyeon untuk masuk ke dalam rumah. Ketika sampai di depan pintu rumah, Ibu Ji-hyeon malah jatuh pingsan.
Mereka memapah Ibu Ji-hyeon ke dalam dan berusaha untuk menyadarkannya. Ketika Ibu Ji-hyeon tersadar, Mereka memberikannya minum, dirasa dirinya sudah tenang dan jauh lebih baik dari sebelumnya, Mereka kembali ke rumah masing-masing.
Ibu Ji-hyeon duduk termenung memikirkan nasibnya dan anak-anaknya kelak akan menjadi seperti apa dengan kehadiran Lia ditengah-tengah keluarga Mereka.
Mungkin saja suatu saat Ia bisa menerima perselingkuhan suaminya itu, namun bagaimana dengan anak-anaknya? Apakah anak-anaknya juga akan bisa menerima perselingkuhan Ayah Mereka dengan Wanita lain, hingga Wanita itu mengandung darah daging Ayah Mereka.
“Ya Allah, sekarang bagaimana? Mengapa Engkau menghadirkan Wanita itu ditengah-tengah keluarga Kami? Bagaimana nasib anak-anak ku kelak setelah kehadiran Wanita itu dan anaknya? ...”
“... Rencana apa yang sudah Engkau hadirkan untuk keluargaku kelak ya Allah? Ada apa di depan sana, hingga Engkau harus memberikan Kami ujian yang seperti ini, sungguh, rasanya sakit sekali!” ucap Ibu Ji-hyeon meneteskan airmatanya.