NovelToon NovelToon
Aletha Rachela

Aletha Rachela

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Delima putri

Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19: Berangkat bareng

Setelah keluar dari kamar mandi, Angkasa merasa sedikit lebih tenang, meskipun jantungnya masih berdegup kencang. Ia memutuskan untuk tidur lebih awal malam itu, berharap bisa bangun segar dan siap menjemput Aletha di pagi hari. Namun, meski matanya terpejam, pikirannya terus berputar. Ia membayangkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi di pagi hari. Bagaimana jika Aletha merasa canggung? Apa yang harus dia katakan pertama kali? Apakah ia harus berbicara lebih banyak atau justru diam dan memberi ruang? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui benaknya, membuatnya terjaga lebih lama dari yang seharusnya.

Pagi pun tiba dengan cepat. Angkasa terbangun lebih awal, merasa seolah-olah waktu berjalan lebih cepat dari biasanya. Setelah menyiapkan diri, ia duduk di meja makan untuk sarapan dengan cepat. Pagi itu, udara terasa lebih sejuk dari biasanya, dan matahari mulai terbit, menyinari kota dengan cahaya lembut yang menyebar di langit. Ia melirik jam di dinding. "Jangan telat, jangan telat," pikirnya sambil merapikan tas dan memeriksa ponselnya. Pesan dari Aletha yang mengingatkannya untuk tidak terlambat kembali terngiang di kepalanya. Angkasa merasakan sedikit kecemasan yang menggelayuti pikirannya.

Setelah memastikan segala sesuatunya siap, ia menekan tombol kunci mobil dan melangkah keluar dari rumah dengan langkah cepat. Di luar, suasana pagi terasa tenang, dan udara segar membuat Angkasa merasa lebih tenang meskipun detak jantungnya masih terasa cepat. Ia merasa seolah-olah setiap detik sangat berarti, dan ia berusaha memastikan dirinya tidak terlambat. Setibanya di mobil, ia menghidupkan mesin, melirik jam di dasbor, dan mulai berkendara dengan hati-hati.

Setelah beberapa menit, Angkasa sampai di depan rumah Aletha. Ia memperlambat laju mobil dan berhenti tepat di depan pintu. Ia merasa sedikit cemas, matanya melirik jam lagi. Waktu hampir menunjukkan pukul delapan, dan ia merasa sedikit lega. "Oke, tepat waktu," gumamnya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Angkasa mengirim pesan ke Aletha, memberi tahu bahwa ia sudah sampai.

[ "Udah di depan rumah, Tha. Gue tunggu di mobil ya." ]

Tak lama, pesan balasan masuk.

[ "Oke, gue turun." ]

Angkasa merasakan debaran di dadanya. Ia mengerling ke pintu rumah yang terbuka pelan. Setelah beberapa detik, Aletha muncul dari dalam rumah. Angkasa menatapnya, terpesona oleh penampilannya yang begitu natural dan menawan. Aletha mengenakan pakaian sekolah yang rapi, rambutnya terikat dengan simpel, namun tetap terlihat sangat menarik. Angkasa mendapati dirinya terdiam sejenak, terpesona dengan cara Aletha berjalan mendekat, senyumnya yang lembut membuat hatinya berdebar lebih cepat.

Aletha tiba di pintu mobil dan membuka pintunya, menatap Angkasa dengan senyum tipis yang muncul di bibirnya. "Hei, Angkasa. Kamu emang nggak telat, ya?" tanya Aletha dengan nada bercanda yang begitu ringan, sambil sedikit menyenggol bahu Angkasa saat ia masuk ke dalam mobil.

Angkasa tersenyum lebar, merasa sedikit lebih rileks. "Gue janji nggak bakal telat, Tha," jawabnya, mencoba terdengar lebih santai meskipun hatinya masih berdebar. Ia mulai menghidupkan mesin mobil dan melaju pelan. "Gue bakal nungguin kamu di mobil, jadi nggak akan ada yang namanya telat," tambahnya dengan nada yang sedikit lebih yakin.

Perjalanan menuju sekolah terasa nyaman meskipun ada sedikit ketegangan yang masih tersisa. Angkasa berusaha fokus pada jalanan, namun tak bisa menahan diri untuk mencuri pandang ke arah Aletha yang duduk di sebelahnya. Senyum Aletha yang cerah membuat suasana terasa lebih ringan. Terkadang, Aletha juga melirik ke arahnya, dan mereka berdua saling bertukar senyum yang mengembang di bibir. Angkasa merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sebuah perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Ia merasa lebih hidup, lebih semangat dari biasanya.

"Ngomong-ngomong," Aletha memecah keheningan dengan suara cerianya, "kamu udah siap ujian minggu depan? Kayaknya semua mata pelajaran makin susah deh," ujarnya dengan nada santai, mencoba memulai percakapan agar suasana tidak terlalu canggung.

Angkasa mengangguk, mencoba menjaga percakapan tetap mengalir. "Iya, siap. Walaupun agak stres, tapi semoga lancar. Kamu sendiri gimana? Udah belajar?" tanyanya, sedikit merasa gugup namun berusaha tetap tenang.

Aletha tersenyum sambil mengerutkan dahi. "Entahlah. Aku juga merasa agak kesulitan, tapi aku yakin bisa. Lagipula, kalau ada yang nggak ngerti, Nadya kan selalu bantu," jawabnya sambil tertawa kecil, seolah mengingat kejadian-kejadian lucu selama belajar bersama teman-temannya. "Kalau aku kebingungan, Nadya selalu punya cara yang bikin pelajaran jadi lebih gampang, meskipun kadang dia agak ngeselin," tambahnya dengan canda, membuat Angkasa tertawa pelan.

Angkasa mengangguk dan ikut tertawa. "Nadya memang selalu siap bantu ya. Gue sendiri juga minta bantuan sama Leo kemarin. Tapi lebih banyak becandanya sih," katanya sambil tertawa kecil. Ia ingat bagaimana Leo selalu bisa membuatnya tertawa, bahkan saat mereka seharusnya belajar. "Leo memang nggak bisa jauh dari candaan. Tapi ya, dia juga pinter, meskipun suka ganggu," lanjut Angkasa.

Aletha tertawa lagi, suara tawanya mengisi mobil dengan keceriaan. "Leo ya? Memang nggak jauh-jauh dari candaan. Tapi, dia kan juga pintar, nggak cuma becanda aja," jawabnya dengan candaan ringan, merasa nyaman berbicara dengan Angkasa. "Kadang-kadang aku merasa dia lebih tahu banyak hal daripada aku," tambah Aletha, matanya sedikit mengarah ke luar jendela mobil, merenung sejenak.

Percakapan ringan itu membuat Angkasa merasa semakin nyaman. Ia tak lagi merasa canggung, malah merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama Aletha. Ada rasa hangat yang mulai tumbuh di dalam dirinya, sebuah rasa yang ia tidak ingin akui sepenuhnya, tetapi ia tahu itu ada. "Semoga ini awal yang baik," pikirnya dalam hati, berharap hubungan mereka bisa berkembang lebih jauh. Ia merasa lebih dekat dengan Aletha setiap detik yang mereka lewati bersama, seolah-olah dunia di sekitar mereka menjadi lebih cerah.

Setelah beberapa saat, mereka akhirnya tiba di sekolah. Angkasa memarkirkan mobil dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang menghalangi lalu lintas di sekitar mereka. Begitu mobil berhenti, ia segera keluar dan mendekati pintu sisi penumpang untuk membukakan pintu untuk Aletha. Saat pintu terbuka, Aletha tersenyum padanya, meskipun mereka berdua sudah merasakan bahwa semua mata di sekitar mereka kini terpusat pada pasangan ini.

Aletha menatap sekeliling dengan pandangan yang agak heran, namun tetap tersenyum. "Wow, sepertinya semua orang bener-bener ngeliatin kita, ya," ujarnya dengan nada bercanda, melirik Angkasa sambil sedikit mengangkat bahu. "Gue nggak nyangka bakal segini perhatian orang-orang."

Angkasa menoleh, lalu menatap Aletha dengan tatapan penuh pengertian. "Iya, gue juga ngerasain itu," jawabnya, suaranya lebih tenang. "Tapi yaudah, Tha. Kita cuma perlu fokus sama apa yang ada di depan kita aja, kan? Kalau mereka mau lihat, biar aja."

Aletha tertawa kecil, mendengar respon Angkasa. "Betul juga sih. Lagi pula, kita nggak perlu mikirin mereka, kan?" katanya sambil melangkah keluar dari mobil, menatap Angkasa dengan tatapan penuh makna. "Yang penting kita nyaman, ya."

Angkasa membalas dengan senyum lebar, merasa lebih tenang setelah mendengar kalimat itu. "Iya, yang penting kita nyaman. Kita punya dunia kita sendiri, nggak peduli apa kata orang," jawabnya, matanya tetap menatap Aletha dengan lembut.

Aletha menatapnya sejenak, menyadari kedalaman kata-kata itu, sebelum ia mengangguk setuju. "Bener banget. Lagian, mereka nggak tahu apa-apa tentang kita. Kenapa kita harus peduli?" Ia berkata dengan penuh keyakinan, seolah-olah meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal yang benar.

Dengan langkah yang tenang dan santai, mereka berdua mulai berjalan berdampingan menuju kelas mereka. Di sekitar mereka, beberapa orang mulai membicarakan mereka dengan bisikan-bisikan pelan, namun Angkasa dan Aletha memilih untuk tidak mendengarkan. Mereka tetap fokus pada langkah mereka, berbicara satu sama lain dengan riang, tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain.

"Eh, lo udah siap ujian minggu depan, kan?" tanya Angkasa, berusaha mencairkan suasana dan mengalihkan perhatian dari keramaian sekitar mereka. "Kayaknya ujian kali ini lebih susah daripada yang sebelumnya, deh."

Aletha mengangguk sambil menatap Angkasa dengan senyuman lebar. "Iya, gue udah siap sih, walaupun agak ngerasa kesulitan. Tapi... gue yakin bisa. Lagipula, kalau ada yang nggak ngerti, Nadya kan selalu bantuin gue," katanya dengan nada ceria, seolah-olah mengenang semua momen lucu selama belajar bersama teman-temannya.

Angkasa tersenyum mendengar cerita itu. "Haha, Nadya emang selalu ada aja buat bantuin ya. Gue juga sempet minta bantuan sama Leo kemarin. Tapi, ya... lebih banyak becandanya daripada belajar beneran," ujarnya sambil tertawa ringan.

Aletha tertawa bersama Angkasa. "Leo ya? Doi memang nggak jauh-jauh dari bercandaan. Tapi, ya... dia juga pintar kok. Gak bisa diremehkan," jawabnya sambil mengangkat alis, menunjukkan bahwa ia juga menghargai kemampuan Leo meskipun sering membuat suasana jadi lebih ringan dengan candaan.

Percakapan ringan itu membuat suasana semakin nyaman. Angkasa merasa tidak lagi canggung. Ia merasa lebih rileks, dan bahkan mulai menikmati momen berjalan bersama Aletha. "Semoga ini awal yang baik," pikirnya dalam hati, berharap hubungan mereka tetap hangat dan penuh tawa seperti ini.

Begitu mereka mendekati gerbang sekolah, Angkasa merasakan seolah-olah dunia sejenak berhenti. Beberapa siswa yang berdiri di luar sekolah memandang mereka, ada yang berbisik, ada yang tampak terkejut. Namun, Angkasa dan Aletha tetap berjalan tanpa terganggu. Mereka terus melangkah bersama, berdampingan, tidak peduli tatapan mata orang-orang yang mengarah kepada mereka.

Saat mereka melewati gerbang sekolah, Angkasa menoleh ke arah Aletha dengan senyum lebar. "Kita langsung ke kelas aja, ya? Nggak perlu mikirin yang lain," ujarnya sambil menepuk lembut punggung tangan Aletha.

Aletha menanggapi dengan senyum manis, sedikit menggoda. "Iya, lo benar. Kita nggak perlu mikirin semua itu. Ayo, kita masuk kelas, dan kita fokus sama ujian nanti," katanya sambil terus melangkah, suasana di sekitar mereka tidak lebih penting dari obrolan mereka berdua.

Mereka berjalan ke arah kelas mereka, melanjutkan percakapan ringan, dengan tawa sesekali yang terdengar di antara mereka, membiarkan dunia sekitar tetap berputar sementara mereka berdua tetap berada di dunia mereka sendiri.

1
Febrianto Ajun
cerita ini bisa bikin saya menangis! Tapi juga sukses bikin saya tertawa geli beberapa kali.
Hitagi Senjougahara
Boss banget deh thor, jangan lupa terus semangat nulis ya!
Dear_Dream
Senang banget bisa menemukan karya bagus kayak gini, semangat terus thor 🌟
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!