Di alam semesta yang dikendalikan oleh Sistem Takdir Universal, setiap kehidupan, keputusan, dan perjalanan antar galaksi diatur oleh kode takdir yang mutlak. Namun, segalanya berubah ketika Arkhzentra, seorang penjelajah dari koloni kecil Caelum, menemukan Penulis Takdir, alat kuno yang memberinya kekuatan untuk membaca dan memanipulasi sistem tersebut.
Kini, ia menjadi target Kekaisaran Teknologi Timur, yang ingin menggunakannya untuk memperkuat dominasi mereka, dan Aliansi Bintang Barat, yang percaya bahwa ia adalah kunci untuk menghancurkan tirani sistem. Tapi ancaman terbesar bukanlah dua kekuatan ini, melainkan kesadaran buatan Takdir Kode itu sendiri, yang memiliki rencana gelap untuk menghancurkan kehidupan organik demi kesempurnaan algoritmik.i
Arkhzentra harus melintasi galaksi, bertarung melawan musuh yang tak terhitung, dan menghadapi dilema besar: menghancurkan sistem yang menjaga keseimb
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Aliansi Barat
Kedatangan di Ardhalis
Arkhzentra dan timnya menuju Ardhalis, markas besar Aliansi Barat, untuk mencari dukungan dan informasi lebih lanjut tentang Takdir Kode. Namun, mereka menghadapi sambutan yang penuh kecurigaan dari Kaelzenthra, pemimpin Aliansi yang tidak mempercayai siapa pun di luar kelompoknya.
---
Udara di Ardhalis terasa berat, penuh dengan aroma logam dan debu. Kota itu dibangun di tengah-tengah asteroid besar yang telah dikosongkan isinya, menyisakan hanya inti besi yang menjadi fondasi bagi gedung-gedung yang menjulang tinggi. Lampu neon hijau dan ungu menerangi lorong-lorong sempit yang penuh dengan kerumunan manusia, alien, dan robot yang beraktivitas tanpa henti.
Zephyr mendarat di hanggar kecil di pinggiran kota. Mesin pesawat berderak pelan, tanda kelelahan setelah perjalanan panjang melintasi ruang kosong.
“Selamat datang di Ardhalis,” kata Rhaegenth, menghela napas lega sambil mematikan sistem pesawat. “Atau seperti yang biasa kusebut: tempat terakhir di galaksi yang masih menoleransi kita.”
Lyrientha berdiri dari kursinya, menarik tas kecilnya. “Kita harus berhati-hati. Kaelzenthra tidak dikenal sebagai orang yang ramah pada pendatang.”
Arkhzentra memandang keluar jendela, melihat kerumunan bergerak seperti aliran sungai yang tak berujung. “Kita tidak punya pilihan lain. Kalau dia tahu sesuatu tentang Zanura, kita butuh dia.”
Keluar dari pesawat, mereka langsung disambut oleh beberapa penjaga bersenjata. Seragam mereka hitam dengan lambang bintang berwarna emas di dada. Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh besar dengan wajah penuh bekas luka, mendekati mereka.
“Nama?” suaranya berat dan dingin.
“Arkhzentra,” jawabnya tegas. “Kami di sini untuk bertemu dengan Kaelzenthra.”
Pria itu tertawa kecil, namun tidak ada humor dalam suaranya. “Semua orang ingin bertemu dengan Kaelzenthra. Tapi tidak semua orang diizinkan.”
“Kami membawa sesuatu yang penting,” kata Lyrientha, melangkah maju. “Sesuatu yang akan menarik perhatiannya.”
Penjaga itu menatapnya tajam, lalu melirik Arkhzentra. “Dan apa itu?”
“Penulis Takdir,” jawab Arkhzentra singkat.
Kerumunan di sekitar mereka langsung hening. Beberapa orang melirik dengan mata penuh kecurigaan, sementara yang lain mundur perlahan, takut terseret ke dalam masalah yang mungkin akan terjadi.
Penjaga itu mengangkat alisnya. “Kau bercanda?”
“Tidak,” jawab Arkhzentra dingin. Ia membuka tasnya sedikit, cukup untuk memperlihatkan bola bercahaya itu.
Mata penjaga itu membesar. Ia segera memberi isyarat kepada anak buahnya. “Ikuti aku.”
Mereka dibawa melalui lorong-lorong yang gelap dan sempit, melewati pintu-pintu baja yang dilindungi lapisan keamanan ketat. Di setiap sudut, kamera dan sensor mengawasi setiap langkah mereka.
“Ini lebih seperti penjara daripada markas,” gumam Rhaegenth pelan.
“Jangan berbicara terlalu keras,” balas Lyrientha. “Mereka tidak akan segan-segan menyingkirkan kita kalau merasa terancam.”
Akhirnya, mereka tiba di sebuah ruangan besar dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan Ardhalis dari atas. Di tengah ruangan itu, seorang wanita berdiri dengan punggung menghadap mereka. Rambutnya panjang berwarna keperakan, dan ia mengenakan jubah hitam dengan motif emas yang berkilauan di bawah cahaya lampu.
“Kaelzenthra,” kata penjaga itu, membungkuk hormat. “Mereka ingin bertemu dengan Anda.”
Wanita itu berbalik perlahan, menatap mereka dengan mata biru terang yang penuh ketajaman. Wajahnya cantik, tetapi ekspresinya dingin dan penuh perhitungan.
“Jadi,” katanya dengan nada rendah tapi tegas. “Kalian membawa sesuatu yang bahkan Kekaisaran rela menghancurkan untuk mendapatkannya.”
Arkhzentra maju selangkah, mencoba menunjukkan ketenangan meskipun jantungnya berdegup kencang. “Kami tidak datang untuk menjualnya. Kami datang untuk meminta bantuan.”
Kaelzenthra tersenyum kecil, tetapi senyuman itu lebih seperti ancaman. “Bantuan? Dan kenapa aku harus membantu kalian?”
“Karena kalau Takdir Kode tidak dihentikan, kita semua akan musnah,” jawab Lyrientha cepat.
Kaelzenthra menatapnya tajam. “Aku tahu apa itu Takdir Kode, ilmuwan kecil. Yang tidak kumengerti adalah kenapa aku harus mempercayai kalian dengan sesuatu yang sebesar ini.”
“Kami tidak meminta Anda mempercayai kami,” kata Arkhzentra. “Kami meminta Anda mempercayai kebenaran. Sistem ini sudah di luar kendali, dan hanya Penulis Takdir yang bisa menghentikannya.”
Kaelzenthra berjalan mendekat, langkahnya pelan tapi penuh wibawa. Ia berhenti tepat di depan Arkhzentra, menatap matanya seolah mencoba membaca pikirannya.
“Kalau begitu buktikan,” katanya akhirnya. “Buktikan bahwa kalian tahu apa yang kalian lakukan, dan aku mungkin mempertimbangkan untuk membantu.”
“Bagaimana caranya?” tanya Arkhzentra.
Kaelzenthra tersenyum lagi, kali ini dengan tatapan licik. “Ada satu tempat di Ardhalis yang penuh dengan teknologi kuno. Kalau kalian bisa menggunakan Penulis Takdir untuk membuka jalan ke sana, aku akan percaya pada kemampuan kalian.”
“Dan jika kami gagal?” tanya Rhaegenth, matanya menyipit curiga.
“Kalau kalian gagal,” kata Kaelzenthra sambil memutar tubuhnya, kembali menghadap jendela. “Maka Kekaisaran mungkin benar. Kalian tidak lebih dari pembawa masalah yang layak dimusnahkan.”
Kaelzenthra melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada penjaga untuk membawa mereka keluar. Di luar ruangan, Arkhzentra, Lyrientha, dan Rhaegenth saling berpandangan, mengetahui bahwa kegagalan bukanlah pilihan.
“Sepertinya kita tidak punya jalan lain,” kata Arkhzentra pelan. “Kita harus membuktikan bahwa kita layak.”