Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendesak
Saat Mira berjalan menuju kantin rumah sakit, pikirannya tetap dipenuhi kekhawatiran tentang Nadira. Meski dokter telah mengatakan kondisinya membaik, Mira tetap merasa cemas. Nadira adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki, dan bayangan kehilangan adiknya membuat dadanya terasa sesak.
Kantin rumah sakit tidak terlalu ramai. Mira langsung menuju konter makanan dan memilih menu sederhana, nasi putih, sup ayam hangat, dan teh tawar. Setelah membayar, ia mencari meja di sudut ruangan yang sedikit lebih tenang.
Sambil makan, Mira membuka ponselnya, memeriksa pesan-pesan yang belum sempat ia baca. Ada beberapa pesan dari teman-temannya, kebanyakan bertanya kabar atau mengingatkan hal-hal yang harus ia urus. Namun, ada satu pesan dari nomor tak dikenal yang menarik perhatiannya. Pesan itu singkat:
"Kak Mira, aku dengar Nadira sakit. Semoga dia cepat sembuh. Kalau ada yang bisa aku bantu, kabarin, ya."
Mira mengernyit. Pesan itu terasa tulus, tapi ia tidak mengenali nomor pengirimnya. Ia hampir mengabaikannya, namun rasa ingin tahu membuatnya membalas.
"Terima kasih atas doanya. Maaf, ini siapa ya?"
Tak butuh waktu lama hingga balasan datang.
“Ini Naya, Kak. Teman sekelas Nadira. Aku dengar kabar dari grup kalau dia dirawat. Semoga cepat sembuh, ya."
Mira tersenyum kecil membaca pesan itu. Ia ingat Nadira pernah menyebut nama Naya beberapa kali, menggambarkannya sebagai teman yang perhatian dan sering membantu.
“Terima kasih, Naya. Nadira masih dirawat, tapi kondisinya sudah mulai membaik," balas Mira dengan sopan.
Pesan berikutnya datang dengan cepat. "Syukurlah kalau sudah membaik, Kak. Kalau Nadira butuh sesuatu, atau kalau aku bisa bantu, tolong kasih tahu, ya. Aku juga mau jenguk, tapi takut malah ganggu."
Mira tersenyum kecil, melihat pesan balasnya. "Untuk sekarang belum perlu, Naya. Tapi terima kasih atas perhatianmu. Aku akan sampaikan pesanmu ke Nadira."
"Baik, Kak. Kalau begitu aku akan tunggu kabar dari Kakak. Sekali lagi, semoga Nadira cepat pulih."
Mira menutup ponselnya dan kembali fokus pada makanannya. Tapi pikiran tentang Revan masih berputar di kepalanya. Ia tidak tahu apakah pria itu benar-benar tulus, atau ada sesuatu yang lain. Namun, saat ini, prioritas utamanya adalah Nadira.
Selesai makan, Mira bergegas kembali ke kamar adiknya. Saat membuka pintu, ia mendapati Nadira sudah terbangun dan sedang berbicara pelan dengan seorang perawat yang membawakan obat.
Melihat kakaknya kembali, Nadira tersenyum lemah.
"Ini nanti diminum dua kali sehari, dan yang ini tiga kali sehari," ujar suster dengan lembut sambil menunjukkan obat yang diletakkan di atas meja kecil di samping ranjang Nadira.
Nadira mengangguk pelan. "Baik, Sus. Terima kasih," jawabnya lemah namun tetap sopan.
Setelah memastikan Nadira paham, suster tersenyum ramah dan berpamitan. Saat ia berjalan keluar, Mira menghampiri ranjang adiknya, meletakkan tas kecilnya di kursi.
"Tadi suster, bicara apa?" tanya Mira.
Nadira menatap kakaknya dengan pandangan sedikit lebih cerah. "Suster tadi kasih tahu soal obat, yang harus aku minum, sesuai jadwal." Tangannya menunjuk obat-obatan di meja.
Mira duduk di kursi dekat ranjang, menggenggam tangan adiknya dengan hangat. "Bagus kalau kamu nurut, Nad. Kakak nggak mau kamu tambah lemah cuma karena nggak mau minum obat," katanya dengan nada setengah bercanda.
Nadira tersenyum kecil, meski matanya tetap menunjukkan kelelahan. "Iya, Kak. Aku nggak mau bikin Kakak tambah pusing gara-gara aku."
"Tapi, apa aku boleh nggak aku jalan-jalan ke luar? Jalan-jalan di sekitar rumah sakit aja. Di sini bosen banget,” pintanya pelan.
Mira terdiam sejenak, merasa ragu.
"Nad, kamu kan masih lemah. Takut nanti malah capek."
"Tapi aku bosen, Kak. Aku cuma mau lihat langit, hirup udara segar. Aku janji nggak akan jauh-jauh," bujuk Nadira, senyum kecil terulas di wajahnya.
Mira menatap wajah adiknya yang pucat, namun ada semangat kecil di matanya. Ia menghela napas, lalu berkata, “Oke, tapi Kakak tanya dulu ke dokter. Kalau dokter bilang boleh, baru kita keluar, ya.”
Nadira mengangguk pelan, senyum tipis terulas di wajahnya. “Makasih, Kak.”
Mira pun segera keluar ruangan, menuju ke ruang dokter untuk berkonsultasi. Setelah menjelaskan permintaan Nadira, dokter mendengarkan dengan seksama dan akhirnya memberikan izin. “Boleh saja, Bu Mira. Tapi pastikan jangan terlalu lama, dan gunakan kursi roda agar Nadira tidak kelelahan,” kata dokter dengan nada tegas namun ramah.
Dengan senang hati, Mira segera menuju area logistik rumah sakit untuk meminjam kursi roda.
Setelah itu, ia kembali ke kamar Nadira sambil mendorong kursi roda dengan hati-hati.
“Lihat, Kakak bawain ini!” seru Mira dengan nada menggoda sambil menunjukkan kursi roda itu kepada Nadira.
Nadira tertawa kecil, meski lemah. “Makasih, Kak. Aku jadi berasa pasien beneran.”
“Ya memang kamu pasien,” balas Mira, dengan sedikit tertawa, sambil membantu Nadira duduk dengan hati-hati di kursi roda.
Lalu, memastikan adiknya duduk nyaman di kursi roda, lalu merapikan selimut di pangkuannya agar Nadira tetap hangat. "Siap, tuan putri?" tanya Mira, mencoba membuat suasana lebih ringan.
Nadira tersenyum kecil. "Siap, Kak."
Mira mendorong kursi roda keluar kamar, berjalan perlahan melewati lorong rumah sakit.
Beberapa perawat dan pasien lain yang berpapasan dengan mereka tersenyum ramah.
Lorong yang semula terasa sunyi menjadi lebih hidup dengan keberadaan mereka.
Setelah melewati beberapa pintu, Mira dan Nadira akhirnya sampai di taman kecil di area rumah sakit. Taman itu dipenuhi bunga warna-warni dan beberapa pohon rindang yang menciptakan suasana sejuk. Sebuah bangku kosong di dekat kolam kecil tampak seperti tempat yang sempurna untuk berhenti sejenak.
"Di sini bagus, ya, Kak," ujar Nadira pelan, matanya berbinar melihat bunga-bunga yang bergoyang ditiup angin lembut.
"Aku hampir lupa rasanya udara segar."
Mira duduk di bangku dekat kursi roda Nadira. Ia ikut menghirup udara dalam-dalam, menikmati momen tenang itu.
"Iya, bagus banget. Kita harus sering-sering ke sini kalau kamu udah lebih sehat," katanya sambil menatap adiknya.
Nadira mengangguk pelan. "Kak, makasih, ya. Udah selalu ada buat aku. Kalau nggak ada Kakak, aku nggak tahu gimana jadinya."
Mira terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan adiknya dengan lembut. "Kamu itu, adik, Kakak, Nad. Selama Kakak masih bisa, Kakak bakal selalu ada buat kamu."
Mereka duduk di sana untuk beberapa waktu, menikmati kedamaian taman. Nadira terlihat lebih rileks, dan Mira merasa lega melihat adiknya bisa sedikit melupakan rasa sakit yang selama ini ia rasakan.
Namun, sebelum terlalu lama, Mira memutuskan untuk mengajak Nadira kembali ke kamar. "Yuk, kita balik ke kamar. Udara segar udah cukup untuk hari ini. Kamu harus banyak istirahat supaya cepat pulih."
Namun, Nadira menolak untuk kembali ke kamar, Nadira ingin mengatakan satu hal, sebelum kembali ke kamarnya, bahwa Nadira meminta secepatnya ia dan Revan menikah sebelum sisa hidupnya habis.
Nadira ingin melihat, bahwa Mira dan Revan menempati janjinya untuk Nadira, agar nanti saat Nadira pergi, ia bisa merasa tenang, dan ada orang yang mengantikan posisinya di sisi Revan.
Mira tertegun ketika mendengar permintaan itu dari Nadira. Adiknya menatapnya dengan mata yang penuh harapan, namun juga menyiratkan kesedihan mendalam.
“Nad, kamu ngomong apa sih? Kamu itu masih bisa sembuh. Jangan ngomong yang aneh-aneh,” ucap Mira dengan suara yang bergetar, mencoba menyangkal kenyataan yang diucapkan oleh adiknya.
Nadira tersenyum lemah, namun pandangannya tetap teguh.
“Kak, aku tahu kondisi aku. Aku tahu waktu aku mungkin nggak lama lagi. Aku nggak mau Kakak terus sendiri. Kakak harus bahagia. Dan aku tahu, Revan bisa bahagiain Kakak.”
Mira terdiam, hatinya terasa sesak mendengar kata-kata adiknya. Ia menatap wajah pucat Nadira yang berusaha keras untuk tersenyum.
“Nad, dengerin Kakak. Kamu nggak boleh mikirin hal-hal seperti ini sekarang. Fokus aja buat sembuh. Itu yang paling penting,” ucap Mira, mencoba menenangkan adiknya meski hatinya bergolak.
Namun, Nadira menggeleng pelan. “Kak, aku udah nggak punya banyak waktu untuk sembuh. Aku cuma minta Kakak tepati janji Kakak dan Revan ke aku. Aku mau lihat kalian menikah. Aku nggak akan tenang kalau aku pergi tanpa lihat itu.”
Mira teringat percakapan dengan Revan beberapa waktu lalu, tentang janji mereka untuk memenuhi keinginan Nadira jika keadaan semakin buruk. Ia menggigit bibir, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.
“Nad, Kakak… Kakak nggak tahu harus bilang apa,” ujar Mira dengan suara lirih.
Nadira menggenggam tangan Mira, meski tangannya terasa lemah. “Kak, ini bukan cuma soal aku. Ini juga soal Kakak. Kakak harus punya seseorang yang bisa jagain Kakak nanti. Revan sayang sama Kakak. Kakak juga sayang dia, kan?” tanya Nadira dengan suara yang hampir berbisik.
Mira tidak menjawab, tapi sorot matanya menunjukkan campuran keraguan dan kesedihan. Ia tahu Nadira benar, tapi perasaan bersalah dan ketakutannya sendiri membuatnya sulit menerima kenyataan.
“Aku mohon, Kak. Aku cuma mau lihat Kakak bahagia. Itu satu-satunya keinginan aku sekarang,” ujar Nadira dengan nada tulus, namun penuh harap.
Setelah beberapa saat dalam keheningan, Mira mengangguk perlahan. “Baik, Nad. Kakak akan bicarakan ini dengan Revan. Tapi kamu janji sama Kakak, tetap semangat buat sembuh, ya?”
Nadira mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Aku janji, Kak.”
Mira menggenggam tangan adiknya erat, menyembunyikan air mata yang akhirnya jatuh. Ia tahu, keputusan ini bukanlah hal yang mudah, tapi demi Nadira, ia bersedia mengesampingkan segalanya.