Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 16
Suasana menjadi sedikit canggung setelah Rendra membantu mengoleskan salep di tangan Nadira, kini tugas membuat teh diambil alih olehnya, sedangkan Nadira diminta duduk menunggu di meja makan.
Rendra tahu Nadira terus menatapnya, kemanapun kakinya berjalan tatapan gadis itu mengikuti geraknya, Rendra merasa tak nyaman. Ia memutuskan segera menyelesaikan tugasnya, dan membawa teh menuju ruang tamu. Di sana, Dafa tampak berbincang dengan ibu Sukma, Rendra menghidangkan teh pada masing-masing orang dan mengambil posisi duduk di samping Indra.
“Jadi, sebenarnya ibu dan Nadira sudah sering mengalami hal seperti ini?”
Sukma mengangguk, sementara Nadira duduk memegang tangannya, seolah meminta ibunya untuk tetap tenang karena memiliki dirinya di samping beliau. Sukma tersenyum samar, meremas tangan putri kesayangannya itu.
“Itu cukup aneh kalau hanya ibu dan Dira yang diganggu begini, kalau boleh saya sarankan lebih baik ibu bicarakan hal ini pada kyai Usman. Setau saya beliau sering membantu kasus seperti ini, iya kan Ren?” Dafa melempar pertanyaan pada Rendra. Lelaki itu hanya mengangguk setuju, ia sedang fokus pada Nadira yang menyembunyikan luka di tangan kirinya dari pandangan sang ibu.
“Yang kami inginkan juga begitu, kira-kira kalau sowan kyai Usman pagi-pagi gitu bisa nggak?” Diam-diam Sukma berencana sowan kyai tanpa sepengetahuan ibu mertuanya, dan pagi adalah waktu yang tepat karena dirinya terbiasa pergi ke pasar di jam itu. Ibu mertuanya tidak akan menaruh curiga meski ia meninggalkan rumah.
“Nadira, coba kamu minta tolong mbak Maria buat janji ketemu sama kyai, soalnya setau kami jadwal kyai Usman beberapa hari ke depan itu padat Bu,” ujar Dafa lagi.
Sukma mengangguk mengerti, tapi ia malah gagal fokus dengan tangan kiri Nadia yang berwarna kemerahan, terlihat kontras dengan kulit putih gadis itu. “Astaga, tanganmu kenapa Dira?” Sukma meraih paksa tangan putrinya.
“Ah, i-ini… tadi nggak sengaja kesiram air panas. Tapi sudah diobati kok Bu, kak Rendra yang obatin,” jawab Nadira melirik Rendra yang duduk tenang menatapnya.
“Ya Allah, hati-hati Nak. Kamu ini kebiasaan ceroboh.” Sukma beralih menatap Rendra, “untung ibu tadi minta nak Rendra bantu kamu di dapur, terima kasih ya Nak Rendra sudah bantu obati luka di tangan Dira.”
“Tidak apa-apa Bu, hanya mengoleskan salep saja.”
Indra menelisik dalam pada raut wajah temannya yang tampak salah tingkah, Rendra mendorong pelan pundak temannya itu. Saat itulah suara mesin mobil memasuki halaman rumah, rupanya Wijaya dan nenek Ratih baru saja tiba, keduanya turun dari mobil dan bersama-sama masuk ke dalam rumah. Sempat terkejut melihat tiga santri kyai Usman berada di ruang tamunya.
***
Selepas kepergian tiga pemuda itu, nenek Ratih duduk bersama menantu dan cucunya di ruang tamu, sementara Wijaya memutuskan membersihkan noda darah di toko atas perintah budenya.
Sukma menceritakan semua yang terjadi pada ibu mertuanya itu, dan bagaimana tiga pemuda dari pesantren tadi pada akhirnya menemani mereka berdua di rumah, dan fakta Seno juga mengetahui hal ini. Wajah nenek Ratih terlihat tegang, tak ada sedikitpun senyum disana.
“Ibu, maaf kalau Sukma bicara seperti ini, Sukma harap ibu tidak tersinggung. Sebenarnya apa ibu sedang menyembunyikan sesuatu dari kami?” tanya Sukma, kala itu Wijaya telah menyelesaikan tugasnya dan memilih bergabung di ruang tamu.
Karena nenek Ratih tak kunjung bicara, Sukma kembali berkata, “sebenarnya Sukma mendengar sebuah cerita, tentang putri mendiang pak Dasuki yang ternyata meninggal karena bunuh diri, dan sebelum kejadian itu ibulah yang merawatnya. Ibu, tolong katakan pada kami adakah kejadian di masa lalu yang mungkin menjadi alasan semua gangguan ini? dan kenapa hanya Sukma dan Dira Bu, padahal kita tidak tahu apa-apa.”
Wijaya tak mampu berkata-kata, baru kali ini ia mendengar penyebab kematian putri mendiang pak Dasuki yang konon katanya, kematiannya menggemparkan seluruh warga desa.
“Kamu berpikir terlalu jauh Sukma, tidak ada kejadian apa-apa, orang meninggal ruhnya naik menghadap tuhan, mereka sibuk mempertanggung jawabkan amalnya selama di dunia. Tak ada waktu untuk bergentayangan seperti itu, jangan terpedaya oleh setan, yang mengganggu kalian selama ini hanyalah jin usil.
Kalau kamu bertanya kenapa hanya kamu dan Dira yang diteror? ya karena kalian berdua orang baru di rumah ini. Dan inilah alasan ibu tak bercerita banyak padamu selama ini, khawatir kamu takut dan kalian pergi meninggalkan ibu.”
Sukma masih tidak puas dengan jawaban ini, meski semua ucapan ibu mertuanya terdengar meyakinkan. “Ibu tidak perlu khawatir, sejak Sukma memutuskan kembali ke desa, Sukma berjanji tidak akan pernah meninggalkan ibu, dan itu Sukma katakan di depan pusara mas Bagas, bahwa aku akan menjaga ibunya. Tapi, satu lagi Bu yang Sukma ingin tanyakan.”
“Katakan saja,” titah nenek Ratih tanpa ekspresi.
“Malam itu, apa yang ibu lakukan di rumah kosong itu? Sukma melihat semuanya Bu, suara tawa wanita, angin berhembus kencang juga pintu rumah kosong yang terbuka, serta wadah berisi kelapa dan kemenyan.”
“Apa maksud mbak Sukma, Bude? Bude habis ngapain?” tanya Wijaya. Semua orang terlihat tegang menanti jawaban dari nenek Ratih.
“Nenek, ceritakan saja pada kami, jangan ditutupi. Kita semua kan keluarga, alangkah baiknya kalau ada masalah kita selesaikan bersama.” Nadira turut berkomentar.
“Mbak, Mbak Sukma yakin itu Bude? waktu itu kan pernah mbak Sukma bilang melihat penampakan yang mirip Bude?”
“Tapi kali ini itu memang ibu, Jaya. Sebelum menyusul ke rumah kosong, mbak sudah pastikan kamar ibu kosong, dan saat itu Nadira tidur bersamaku.”
Wijaya menghela nafas dalam, apalagi saat melihat budenya hanya diam sedari tadi, ia yakin ucapan mbak sepupunya itu benar adanya. “Bude, yang dikatakan Nadira benar, sekarang lebih baik Bude ceritakan semua dan kita bersama-sama cari jalan keluar dari masalah ini ya. Khawatirnya kalau ada yang ingin berniat jahat pada keluarga kita, jangan sampai ada yang tersakiti.”
Nenek Ratih tersenyum samar, lantas berdiri dan berkata, “ini sudah malam, lebih baik kalian semua segera pergi tidur. Kita akhiri percakapan ini, dan kembalilah ke kamar masing-masing!” titahnya sambil berlalu, masuk kamar dan mengunci pintu.
Sukma mengusap wajah gusar, ibu mertuanya bertahan sampai akhir, menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga mereka. Sementara Wijaya menguatkannya, ia berkata akan mencoba berbincang berdua dengan budenya esok hari.
“Tidurlah Mbak, Dira juga, mungkin bude belum siap. Besok aku akan coba bujuk bude lagi, jangan terlalu dipikirkan. Nanti malam kalau ada apa-apa panggil saja aku, telpon kalau perlu. Aku akan tidur di rumah malam ini.”
“Baiklah Jaya, terima kasih banyak,” jawab Sukma. “Dira, malam ini kita tidur bersama ya,” ucapnya lagi.
Nadira mengangguk, ketiganya lantas masuk ke kamar masing-masing, dan melewati malam dengan kecemasan dan ketakutan, malam yang terasa sangat panjang, ditemani suara burung hantu yang kembali singgah di samping rumah.
.
Tbc