Setelah 3 tahun bercerai dengan Dimas Anggara. Anna Adiwangsa harus kembali ke kota yang menorehkan banyak luka. Anna dan Dimas bercerai karena sebuah kesalah pahaman. Tanpa di sadari, ke duanya bercerai saat Anna tengah hamil. Anna pergi meninggalkan kota tempat tinggalnya dan bertekad membesarkan anaknya dan Dimas sendirian tanpa ingin memberitahukan Dimas tentang kehamilannya.
Mereka kembali di pertemukan oleh takdir. Anna di pindah tugaskan ke perusahaan pusat untuk menjadi sekertaris sang Presdir yang ternyata adalah Dimas Anggara.
Dimas juga tak menyangka jika pilihannya untuk menggantikan sang ayah menduduki kursi Presdir merupakan kebetulan yang membuatnya bisa bertemu kembali dengan sang mantan istrinya yang sampai saat ini masih menempati seluruh ruang di hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy kirana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Tiba-tiba ponselku berdering, aku cepat-cepat mengangkat panggilan dari Dewi.
"Halo wi!"
"Maaf mbak, tadi kami lagi makan malam. Jadi nggak tau kalau mbak Anna telpon."
"Nggak papa, aku cuma mau bilang. Aku pulang malam. Nanti ada orang kantor anter motorku."
"Baik mbak!"
"Yes-sa sedang apa?" aku tidak sabar untuk menanyakan hal ini, sampai-sampai lupa jika saat ini sedang bersama Dimas. Aku melirik Dimas di sebelahku yang sedang fokus menyetir. Terlihat biasa saja.
"Yessa sedang menunggu Mommy nya sambil nonton upin-ipin. Mbak mau ngomong sama Yessa?"
Sebenarnya sangat rindu dan ingin melihat putriku, tapi aku tidak ingin Dimas tau jika aku memiliki anak, yang juga anaknya. "Nggak! katakan saja jika aku pulang terlambat. Jika sebelum jam 9 aku belum pulang, ajak Yessa tidur tanpa menungguku pulang."
"Baik mbak. Tapi ini Yessa mau ngomong." kata Dewi. Aku mendengar Yessa merengek sepertinya akan merebut ponsel Dewi.
"Hhh! Ya sudah, berikan padanya."
"Mommy!"
"Sayang!"
"Mommy, aku pengen lihat Mommy."
Aku pasrah tak bisa mengelak saat Yessa mengubah panggilannya menjadi panggilan video.
"Mommy, Mommy lagi dimana?" tanya Yessa, dengan suara yang belum begitu jelas, karena usianya baru 2 tahun, aku sungguh gemas mendengar celotehnya.
Lalu aku menoleh kearah Dimas yang ternyata juga sedang menatapku. Aku benar-benar gugup karena Dimas menatapku dengan tatapan yang entah.
"Sa-sayang! Mommy pulang terlambat malam ini ya. Ada pekerjaan bersama bos, Yessa tidur sama mbak Wi dulu ya, nggak apa kan?"
"Nggak papa, nanti Mommy bawakan Daddy untuk Yessa ya."
Deg!
Aku langsung tersentak mendengar perkataannya. Bagaimana bisa Yessa tau jika aku sedang bersama Daddy nya. Apakah memang ikatan batin anak dan ayah begitu kuat.
Dimas menghentikan laju mobilnya di tepi jalan. Ia diam terpaku di tempatnya.
Aku masih mengobrol dengan Yessa sambil sesekali tertawa. Padahal jantungku benar-benar ingin terlepas dari tempatnya. Sejak tadi Dimas menatapku dengan tatapan sendu.
"Sayang, Mommy kerja dulu ya. Nanti Mommy belikan kebab untuk Yessa."
"No! Aku ingin Daddy."
"Sayang,-" Aku tersentak saat Dimas merebut ponselku dari tanganku. Aku mendelik saat ia mengarahkan wajahnya pada layar ponsel.
"Sayang, ini Daddy. Nanti Daddy akan menemui Yessa ya." katanya. Hatiku benar-benar takut Dimas menyadari jika Yessa darah dagingnya.
"Daddy!" aku melihat ekspresi Yessa yang tak percaya.
"Ya sayang, ini Daddy. Sekarang Mommy dan Daddy akan pulang menemui Yessa."
Terdengar suara sorak bahagia dari Yessa. Aku meneguk liurku dengan susah payah. Panggilan telah berakhir, Dimas menyerahkan ponselku padaku. Lalu kembali melajukan mobilnya.
Ia diam tak mengatakan apapun sepanjang perjalanan. Aku tak ingin menatap wajahnya karena takut, ia menghentikan mobilnya di depan Hotel Panorama, tempat favorit kami dulu. Entah apa yang ada di pikiran Dimas saat ini.
Hatiku kembali sendu saat melangkahkan kakiku ke dalam, tempat yang banyak menyimpan kenangan manis bersama Dimas. Di tempat ini Dimas menembakku, saat kami kuliah dan pertama kalinya Dimas mengajakku dinner, di tempat ini Dimas melamarku. Dan di tempat ini juga kami mengadakan resepsi pernikahan.
Dimas menggandeng tanganku mengajakku masuk ke dalam lift. Di dalam lift Dimas tidak mengatakan apapun, tapi ia masih enggan melepaskan tanganku. Aku berkali-kali menarik tanganku tapi ia semakin kuat menahannya.
Saat lift terbuka ia menarikku untuk keluar. Aku terpaku menatap deretan pintu kamar hotel.
"Mau apa kita kesini tuan?" tanyaku masih berusaha sopan.
Dimas tetap diam dan membuka salah satu kamar menggunakan akses card.
"Ayo masuk!" ia kembali menarik tanganku. Tapi aku menolak.
"Maaf, saya tidak bisa. Saya bukan,-" Dimas menutup mulutku dengan jari telunjuknya. Aku melihat tatapannya sendu.
"Jangan katakan apapun, aku tidak akan melakukan apapun padamu, jika kamu tidak menginginkannya. Aku hanya ingin mengajakmu makan malam. Dan tolong jangan berbicara formal saat kita hanya berdua." katanya.
Aku mengangguk dan mengikutinya masuk ke dalam kamar hotel, aku melihat nomor yang tertera di atas pintu.
Kamar yang sama saat kami menikmati malam pertama sebagai pasangan suami istri.
Hatiku sesak saat melihat kamar itu, mengingatkanku dengan malam panas kami beberapa tahun lalu. Malam di saat aku menyerahkan jiwa ragaku seutuhnya pada pria ini. Pria yang sangat aku cintai, hingga saat ini. Mataku terasa panas saat melihat ranjang yang di hias seperti saat malam pertama dulu. Sama sekali tidak ada bedanya, bahkan aroma pengharum ruangannya pun sama. Aku berusaha sekuat tenaga menahan air mataku. Entah apa yang ada di pikiran Dimas saat ini.
Dimas membawaku ke bagian balkon. Disana sudah ada meja bulat dengan 2 kursi saling berhadapan, di atasnya sudah tersedia makanan pembuka dan 2 gelas wine merah juga air putih.
"Duduklah." ia menarik kursi untukku dan memintaku duduk, lalu ia duduk di depanku.
Aku mengambil segelas wine dan meminumnya sedikit untuk membasahi tenggorokanku, ada air putih tapi aku lebih memilih wine itu.
"Ada apa ini sebenarnya?" tanyaku menatapnya tajam. tidak ada rasa hormat ku lagi pada pria di depanku. Rasa sakit hatiku kembali lagi ketika mengingat perlakuannya dulu.
"Kita makan dulu." ucapnya.
Aku melihat seorang pelayan datang dengan trolly makanan dan menyediakan makanan diatas meja.
Steak dan kentang goreng yang banyak tanpa sayuran untukku. Aku membulatkan mataku karena Dimas masih mengingat makanan favoritku. Pelayan pergi setelah meletakkan makanan kami.
Aku menatap Dimas, ia tersenyum dengan tatapan teduh. Membuat hatiku menghangat, aku menghembuskan nafas perlahan dan menekan emosiku.n
Dimas menarik piringku dan mulai memotongkan daging untukku. Kebiasaan yang dulu sering ia lakukan, karena aku tidak terlalu mahir menggunakan garpu dan pisau.
"Ini, makanlah. Setelah itu kita pulang, kasihan jika Yessa terlalu lama menunggu Daddy dan Mommy nya." katanya dengan bibir tersenyum.
Aku mencebikkan bibirku, dan mulai menyantap makanan ku. Apa Dimas mengetahui jika Yessa juga putrinya? Jika ia kenapa dia diam saja, tidak marah? Apa karena dia menyesal telah membuang ku. entahlah, aku tidak perduli, aku harus cepat menyelesaikan makanku, agar bisa cepat pulang.
Beberapa menit kemudian aku sudah menyelesaikan semua makananku. Aku menenggak air putih dan mengusap bibirku dengan serbet. Aku melihat Dimas yang masih menyantap makanannya dengan lahap.
Hatiku mencelos melihat Dimas makan seperti sangat kelaparan. Aku ingat Dimas belum makan sejak siang, saat jam istirahat tadi Dimas belum makan siang, ia mengatakan jika dia akan makan siang bersama kliennya, tapi saat bertemu klien, sang klien mengatakan sudah makan. Mereka hanya memesan minuman, Dimas juga urung memesan makanan.
Setelah ia menyelesaikan makannya. Aku mengalihkan pandanganku ke bagian bawah, memandang gemerlap lampu kota.
Aku kembali mengingat momen dulu, sebelum bercinta dengan Dimas, kami berpagut mesra di balkon sambil menikmati suasana malam.
"Anna!"
Aku mengalihkan atensiku pada pria di depanku. Ia menatapku dengan sorot mata sendu.
"Maafkan aku!" ucapnya singkat.
Aku mengatur nafasku agar tidak memburu, hatiku kembali sesak, sekuat tenaga aku menahan airmataku. "Maaf untuk apa?" tanyaku dengan suara parau. Rasanya sangat sulit, mencintai orang yang sangat aku benci.
Dimas menggenggam tanganku dengan kuat. Aku sampai tersentak dibuatnya. Aku akan menarik tanganku tapi Dimas makin mengeratkan genggamannya.
"Aku sangat bersalah padamu, aku mohon maafkan aku Anna."
"Aku sudah memaafkan mu, jadi lepaskan tanganku."