Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Yang Telah Tersusun
📍Apartemen
- Dapur -
Pagi itu, suasana di dapur apartemen terasa tenang. Emily sibuk menyiapkan sarapan, wajahnya serius menatap panci di atas kompor. Tangannya lincah mengoleskan mentega pada roti panggang.
Dari arah kamar, Baby muncul dengan rambut sedikit berantakan, masih setengah mengantuk. Ia mendekati Emily sambil menguap kecil.
“Good morning, Ce,” sapa Baby lembut, mencoba mencairkan suasana.
“Hm, morning too,” balas Emily singkat tanpa mengalihkan pandangan dari sarapannya.
Selesai menyiapkan roti, Emily membawa piring berisi roti panggang ke meja makan dan meletakkannya tepat di depan Baby.
“Makasi, Cece,” ucap Baby ceria sambil mengambil roti itu.
“Iya, Baby,” jawab Emily sambil melepas apronnya dan menaruhnya di kursi terdekat.
Baby menggigit rotinya, lalu tiba-tiba menatap Emily dengan mata berbinar seakan mengingat sesuatu. “Ah! Cece?”
“Hm?” Emily berbalik, sedikit bingung.
“Semalam, ada cowok datang ke sini nyariin Cece,” ujar Baby dengan nada penasaran.
Emily menghentikan gerakannya. “Cowok?” tanyanya dengan alis terangkat.
“Iya. Dia kelihatan cemas banget,” lanjut Baby sambil melipat tangan di depan dada, mencoba mengingat detailnya. “Dia langsung masuk apartemen, terus buka pintu kamar Cece. Pas lihat Cece tidur, mukanya kelihatan lega banget.”
Emily menatap Baby, hatinya mulai berdegup. “S-siapa? Bisa deskripsiin dia gimana?” tanyanya, suaranya terdengar lebih pelan.
Baby menyandarkan diri di kursi, mencoba mengingat. “Tinggi sekitar 180-an, pakai jas, wajahnya dingin banget, tatapan matanya tajam. Rahangnya tegas, pundaknya lebar.”
Emily terpaku. “Pak Reymond?” pikirnya dalam hati.
“Ah! Satu lagi,” tambah Baby dengan semangat, “suaranya berat banget.”
Deg! Jantung Emily berdegup kencang. Dia langsung tahu siapa yang Baby maksud.
“Dia benar-benar kelihatan cemas, Ce. Apa yang terjadi?” tanya Baby polos, matanya menatap Emily tajam.
“A-aku gak tahu.” Emily buru-buru beranjak. “Sebentar ya.”
Tanpa menunggu jawaban Baby, Emily bergegas masuk ke kamar. Ia langsung meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Layarnya menyala saat ia menekan tombol daya, dan benar saja—ada beberapa panggilan tak terjawab serta pesan dari Reymond.
Dia menatap layar itu dengan tatapan campur aduk. “Cemas?” gumamnya, pipinya perlahan memerah.
“Apa dia secemas itu… hanya karena aku gak angkat telepon darinya?” pikir Emily sambil menggigit bibir bawahnya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
****
📍Dallas Company
- Ruangan Reymond -
Berna melangkah masuk ke ruangan Reymond dengan langkah hati-hati. Matanya langsung tertuju pada pintu kamar pribadi di sudut ruangan yang terbuka sedikit. Ia ragu sejenak sebelum mendekat ke meja kerja Reymond. Dengan gerakan tenang, ia meletakkan secangkir kopi hitam dan sepiring roti di sudut meja, seperti biasanya.
“Bapak… tidak pulang ke rumah semalam?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. Pandangannya terarah pada Reymond yang terlihat sibuk membolak-balik dokumen di hadapannya.
Reymond tak langsung menjawab. Ia menandatangani sebuah dokumen sebelum akhirnya mendongak, tatapannya dingin tapi tegas. “Tidak. Saya terjaga di sini,” jawabnya singkat tanpa ekspresi.
“Ah, begitu…” gumam Berna pelan, nyaris tak terdengar. Tangannya gemetar kecil saat membenahi letak cangkir kopi.
Reymond tiba-tiba menghentikan pekerjaannya. Ia menatap Berna dengan tatapan tajam yang membuat wanita itu sedikit tersentak.
“Berna?” panggil Reymond, suaranya datar tapi mengandung perintah.
“I-iya, Pak Reymond?” sahut Berna sambil mengangkat kepalanya dengan gugup.
“Saya butuh beberapa laporan yang dikerjakan kemarin saat meeting. Pastikan ada rangkapnya untuk saya.”
“Baik, Pak. Saya segera mengurusnya.” Berna menunduk hormat sebelum berbalik dan berjalan keluar dengan langkah cepat, meninggalkan ruangan.
Begitu pintu tertutup, Reymond menghela napas perlahan. Tangannya terulur ke meja, meraih ponsel yang baru saja menyala, menarik perhatiannya dengan getaran halus.
Layar ponselnya menampilkan pesan dari Mattheo: “Kita perlu bicara. Temui aku di Mvvo setelah makan siang.”
Reymond memandangi pesan itu dalam diam, rahangnya mengeras. Ia menutup mata sejenak, lalu mengembuskan napas berat.
“Peperangan akan segera dimulai,” gumamnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. Matanya yang tajam menatap lurus ke depan, penuh tekad dan antisipasi.
****
📍Lokasi Syuting
Siang itu, Emily baru saja tiba di lokasi syuting. Langkahnya pelan namun penuh pikiran. Ucapan Baby tadi pagi terus terngiang di benaknya—bagaimana Reymond datang mencarinya semalam dengan raut cemas.
Sesampainya di kursi tunggu, Emily duduk sejenak dan mengeluarkan ponselnya dari tas. Ia membuka layar, mengecek panggilan masuk, namun tetap tak menemukan nama Reymond di daftar sejak pagi tadi.
“Kenapa dia belum hubungi aku lagi?” gumamnya pelan, tangannya bergerak gelisah di layar ponsel. Akhirnya, dia memutuskan untuk menelepon lebih dulu.
- In Calling -
Suara dering terdengar, tak lama kemudian panggilan tersambung.
“Pak Reymond?” panggil Emily hati-hati.
“Hm, ada apa, Emily?” suara Reymond terdengar berat namun tenang dari seberang.
Emily menarik napas sebelum berbicara, “Aku dengar dari Baby… kalau semalam Bapak mencari ku?”
“Hm,” gumam Reymond pendek. “Kamu gak angkat telepon saya.”
Emily menggigit bibir, merasa sedikit bersalah. “Aku ketiduran. Maaf, Pak.”
“Kamu gak perlu minta maaf,” jawab Reymond cepat, suaranya lebih lembut kali ini. “Sekarang kamu di mana?”
“Eung… di lokasi syuting,” jawab Emily sambil melirik sekeliling. “Hari ini ada syuting untuk iklan bulan depan.”
“Ah, begitu,” ujar Reymond, terdengar memahami. “Kamu sudah makan siang?”
“Sudah. Sebelum datang ke sini,” jawab Emily sambil tersenyum kecil meski Reymond tak bisa melihatnya.
“Baiklah. Saya masih di luar. Nanti saya kabari lagi.”
“Iya, Pak Rey. Hati-hati di jalan,” ucap Emily, suaranya terdengar tulus.
“Iya.”
Panggilan itu berakhir. Emily menatap layar ponselnya yang kembali gelap, perasaannya sedikit lebih tenang meskipun tak sepenuhnya lepas dari rasa penasaran.
Sementara itu, di dalam mobilnya, Reymond menurunkan ponsel ke kursi sebelah. Mata tajamnya memeriksa spion dengan cepat. Wajahnya dingin dan penuh konsentrasi.
Dia menghela napas, lalu menginjak pedal gas lebih dalam. Mobilnya melesat, menyelip beberapa kendaraan di jalan raya. “Semoga semua baik-baik saja,” gumamnya, pandangannya lurus ke depan.
****
📍Mvvo Entertainment
- Ruangan Presedir -
“Reymond ada di sini, Pak Presedir,” ucap Endrick sambil berdiri di ambang pintu.
“Suruh dia masuk,” jawab Mattheo tegas, tanpa mengangkat pandangan dari dokumen di mejanya.
Tak lama, Reymond melangkah masuk dengan tenang. Posturnya tegap, wajahnya tanpa ekspresi. Begitu memasuki ruangan, tatapannya langsung bertemu dengan mata tajam Mattheo, yang kini sudah menatap lurus ke arahnya.
“Silakan duduk,” ucap Mattheo datar sambil beranjak dari kursi kerjanya dan menuju sofa di sisi ruangan. Ia memberi isyarat agar Reymond bergabung di sana.
Reymond mengikuti isyarat itu. Ia duduk di sofa berlawanan dengan Mattheo, sikapnya tetap santai, meskipun atmosfer di ruangan itu terasa tegang dan dingin.
Endrick, yang sebelumnya berada di dekat pintu, menunduk hormat sebelum meninggalkan ruangan. Pintu tertutup rapat, meninggalkan dua pria itu dalam percakapan yang berat.
Mattheo menatap Reymond dalam-dalam, seakan mencoba membaca pikirannya. Ia membuka percakapan tanpa basa-basi. “Saya tidak akan bertele-tele. Apa yang sedang kamu rencanakan, Reymond?”
Reymond menaikkan alis, ekspresinya tetap tenang. “Maksudnya?” tanyanya, suaranya rendah namun terkendali.
“Kamu tahu jelas soal ini,” tegas Mattheo, matanya menyipit. “Jangan berpura-pura tidak tahu apa yang sedang terjadi.”
Reymond tersenyum tipis, seperti seseorang yang sudah mempersiapkan dirinya menghadapi situasi ini. Ia bersandar ke sandaran sofa, tangannya terlipat santai di pangkuannya. “Saya tidak memiliki niat buruk, Papa Mertua. Tolong percaya pada saya.”
Mattheo mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan sofa, wajahnya tetap keras. “Dari sisi mana saya harus percaya padamu, Reymond?” tanyanya tajam. “Segala tindakanmu seperti mengisyaratkan kamu ingin menusuk saya dari belakang.”
“Bukannya itu terdengar kejam, Papa Mertua?” balas Reymond dengan nada tenang, sedikit menekan kata-katanya.
Mattheo berdiri, tangannya terlipat di dada. “Kandidatmu sebagai calon CEO saya tarik, Reymond,” ujarnya tanpa ragu, suaranya menggema di ruangan itu.
Reymond mendongak, menatap Mattheo dengan ekspresi sulit dibaca. Ia tak terkejut, tak juga marah—hanya diam sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis lagi. “Saya paham,” jawabnya singkat.
Mattheo mengerutkan alis, seakan tak puas dengan reaksi itu. “Jika kamu paham, maka pastikan langkahmu tidak lagi mengancam posisi saya atau perusahaan ini.”
Reymond mengangguk perlahan, lalu bangkit berdiri. “Saya selalu menghormati Papa Mertua. Tidak ada alasan bagi saya untuk bertindak di luar batas.”
Mattheo tak merespons, hanya menatap Reymond dengan pandangan tajam sampai pria itu melangkah pergi, meninggalkan ruangan dengan langkah yang tetap tenang.
Begitu pintu tertutup, Mattheo menghela napas berat. Ia tahu pertempuran ini belum selesai—mungkin, bahkan baru saja dimulai.