“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima
Arini masih menangis hingga sesegukkan, meluapkan semua kesedihannya. Selama ini, setelah Heru mengaku selingkuh sampai menghamili selingkuhannya, Arini tidak pernah menangis sampai seperti ini. Marah memang marah, tapi mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Pengkhianatan Heru sudah benar-benar tidak bisa ditoleransi lagi, apalagi setelah tadi melihat Heru lebih mementingkan Nuri daripada dirinya.
“Lalu apa kamu akan mengizinkan mereka menikah, Rin?”
“Aku gak tahu, Ka. Aku ingin berpisah, tapi bagaimana dengan karierku, Ka? Heru juga tidak mau bercerai dariku,” ucap Arini.
“Karier? Dalam situasi begini kamu masih mikirin karier? Apa karier kamu itu penting sekali, Rin? Apa hanya itu yang bisa kamu kejar?”
“Bukan begitu, Ka. Aku ini siapa, kamu pasti tahu, aku seperti apa perannya sekarang kamu juga tahu, kan? Bayangkan saja jika aku cerai, semua orang menganggap aku bagaimana? Apa kata orang, saat seorang konselor pernikahan malah bercerai, dan tidak bisa mencari jalan terbaik untuk pernikahannya?” ucap Arini.
“Pikiranmu terlalu sempit, Arini. Semua orang pasti tidak akan terima dengan sebuah pengkhiatan, bukan hanya perempuan, laki-laki pun sama, Rin! Sekarang kamu lebih mentingin karier atau kesehatan mental kamu, Rin?”
“Aku gak tahu, Ka ... Aku gak tahu!” ucapnya getir.
“Aku gak tahu harus bagaimana sekarang? Jika aku pisah pun, bagaimana dengan ayah? Pasti ayah sangat terpukul mendengar keadaanku, kamu tahu sendiri ayah punya sakit jantung, Ka?” ucap Arini.
“Iya, ayahmu. Ayah memang gak boleh dengar berita yang membuatnya kolaps lagi. Terus mau kamu gimana, Rin?”
“Aku akan membiarkan mereka menikah, mungkin itu keputusanku, tapi menikah siri. Biar saja mereka bebas, aku akan buktikan ucapan Heru kemarin, yang katanya akan menikahi Nuri, dan setelah melahirkan dia akan menceraikan Nuri.”
Raka menggelegkan kepalanya. Keputusan Arini menurutnya keputusan yang gila. Bisa-bisanya Arini malah mengizinkan suaminya menikahi Nuri. Memang harus begitu, karena bagaimana pun Nuri sedang hamil anak Heru. Tapi, di pikiran Raka, terlintas kalau Nuri tidak hamil dengan Heru. Bisa jadi Nuri hamil dengan pacarnya sebelum Heru, atau siapa? Terus karena sedang dekat dengan Heru, jadi Nuri curi kesempatan.
“Jangan gegabah ambil keputusan, Rin. Selidiki dulu, itu anak Heru bukan. Mereka boleh menikah, asal anak itu benar anak Heru, darah daging Heru. Jadi setelah lahir kalian tes DNA, jika itu anak biologis Heru, mereka boleh saja menikah, atau terserah kalian mau bagaimana,” saran Raka.
“Aku akan coba bicarakan, Ka. Aku pusing, aku benar-benar pusing rasanya, Ka. Setiap hari harus dengar Heru minta persetujuanku untuk menikahi Nuri dengan sah secara agama dan hukum.”
“Kamu bicarakan saran aku dulu, kalau mereka tetap tidak mau, ya sudah itu kembali pada dirimu mau bagaimana. Aku hanya bisa memberikan saran begitu, aku gak mau ikut campur terlalu dalam lagi, karena itu bukan ranahku. Sebagai sahabat, aku hanya bisa mendukung apa pun keputusan kamu, tentunya yang terbaik buat kamu.”
Raka mengusap puncak kepala Arini, lalu membawanya ke dalam pelukannya. Arini perempuan yang sangat baik, yang pernah Raka kenal. Bahkan pernah bermasalah dengan mendiang istrinya pun Arini masih tetap bisa baik kepada mendiang istri Raka, juga Raka.
“Sudah jangan nangis terus, tuh ingusnya ... kayak Juna kalau nangis sampai ingusan?” ucap Raka dengan terkekeh.
“Raka ... kamu ini ih!” ucap Arini kesal.
“Pakai ini.” Raka memberikan sapu tangannya pada Arini.
“Ada tissue ngapain pakai ini?”
“Biar romantis dikit kenapa sih, Rin?”
“Gak usah macam-macam, Raka?”
“Aku maunya satu macam saja, Rin. Ya sudah ayo pulang, aku antar kamu. Besok kamu kan harus menemani pangeran kecilku lagi, kan? Kalau semisal Heru tidak mau ikut, aku jemput kamu, dan pulangnya aku akan ajak kamu ke suatu tempat,” ucap Raka.
“Ke mana? Gak usah macam-macam, Ka!”
“Aku maunya satu macam, Arini? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat, aku yakin kamu pasti suka tempatnya.”
“Oke deh, aku nurut saja.”
“Ayok pulang.”
Arini pulang dengan Raka. Berjalan bersisian dengan Raka, lalu Raka merangkul Arini, menepuk-nepuk lengan Arini. “Kamu yang sabar, pasti ada jalan untuk masalah kamu yang ini, kalau memang kamu ingin sudah, ya sudah saja. Jangan sok kuat hati, Rin. Penyakit hati bisa menjalar ke mana-mana jadi penyakit lainnya. Masalah ayahmu, bisa dibicarakan pelan-pelan.”
“Iya, nanti aku pikirkan lagi.”
Mereka masuk ke dalam mobil, Raka melajukan mobilnya ke rumah Arini. Banyak sekali yang ingin Raka katakan dan ceritakan pada Arini, termasuk masalah hidupnya dengan mendiang istrinya.
“Aku pernah menyesal, Rin.”
“Menyesal kenapa, Ka?”
“Karena menolak cintamu,” jawab Raka.
“Apaan sih! Gak usah bahas itu, aku malu, Ka! Lucu sih, tapi memalukan sekali kalau diingat. Hah .... jelas seorang Raka menolak aku yang culun dong? Malu-maluin ya aku? Untung aku masih punya mental baja, dan masih mau bereteman sama kamu sampai sekarang?” ucap Arini terkekeh mengingat masa menginjak remaja dulu, saat dirinya masih SMP.
“Ya lucu sih, tapi sungguh aku menyesal, Rin,” ucap Raka serius.
“Menyesal bagaimana maksudmu?”
“Ya nyesel saja, setelah SMA kamu berubah, dan aku sudah pacaran sama Asti?” ucap Raka dengan tertawa.
“Menyesal, ya? Gak usah nyesel lah, Ka! Sudah terlambat!”
“Mulai lagi, yuk? Bisa, kan?”
“Gak usah macam-macam, Raka!”
“Aku maunya satu macam saja, Arin?”
Arini menggelengkan kepala, tidak tahu kenapa temannya itu malah bicara seperti itu. Bisa-bisanya membahas dulu saat dirinya nembak Raka saat masih SMP. Raka dan Arini memang berteman sejak kecil, dari SD sampai SMA mereka selalu bersekolah di sekolah yang sama. Mereka bersahabat lebih dulu sebelum mengenal Asti, perempuan yang Raka taksir sejak SMP dan mereka pun pacaran sejak SMP.
Sedangkan Arini, dia gadis yang lugu, penampilan sederhana, bahkan dibilang culun karena pakai kacamata tebal. Mungkin hanya Raka saja cowok yang mau berteman dengannya, hingga Arini memiliki perasaan pada Raka saat dulu SMP, dan menyatakan perasaannya tanpa malu di depan Raka. Sayangnya Raka cowok yang perfeksionis, dia lebih suka dengan Asti, teman sebangku Arini. Arini tidak mempermasalahkan saat ditolak Raka, ia masih berteman akrab, karena bagi Arini Raka adalah teman yang baik, pun Raka, ia hanya menganggap Arini sahabat terbaiknya sampai sekarang.
“Kalau saja dulu aku gak nolak kamu Rin, aku tidak akan merasakan hal yang seperti ini, kamu pun tak akan merasakan hal seperti ini,” ucap Raka.
“Gak usah bahas itu. Itu sudah berlalu, Ka. Kita jalani saja hidup kita sekarang, nasib itu gak tahu, Ka.”
“Iya sih, siapa tahu kamu nanti mau sama aku?”
“Ih pede!”
“Kamu saja dulu pede nembak aku duluan? Kenapa aku gak bisa pede?”
“Sudah ah, gak usah bercanda!”
“Aku serius, Rin. Kamu gak mau balas Heru? Dengan selingkuh sama aku mungkin?”
Arini menatap tajam Raka. Bisa-bisanya Raka berkata seperti itu di depan Arini. Raka anggap Arini perempuan murahan yang bisa dengan siapa saja?
“Jaga ucapan kamu, Ka! Aku bukan perempuan yang tak bermoral, Ka! Turunkan aku di sini!”
“Rin ... Rin ... Rin ... bukan maksudku begitu, Rin?”
“Berhenti, Raka! Kamu sama saja!”
“Arini, aku minta maaf. Please .... jangan turun, ya? Oke aku minta maaf.”
“Kamu sama saja menganggap aku perempuan rendahan, Ka! Kamu tega, ya? Kamu itu tahu aku ini bagaimana dari dulu, sebelum Heru tahu aku, tapi tega-teganya bicara seperti itu?”
“Oke, aku minta maaf. Aku minta maaf, Rin. Tapi apa salahnya kamu balas dia? Selingkuh balas selingkuh!”
“Gak begitu konsepnya, Raka?”
Raka mengangguk, ternyata Arini masih sama. Dia tidak seperti perempuan lainnya, padahal mudah sekali Arini berkencan dengan laki-laki lain, karena suaminya begitu, tapi Arini tetap menjaga marwahnya sebagai perempuan.
“Andai kamu tahu hidup aku sebenarnya saat dengan Asti, Rin. Kamu pasti tak percaya dengan semuanya.”
“Maksudmu, Ka?”
“Besok aku cerita, sudah sampai rumahmu, kamu masuk, bersih-bersih, lalu tidur. Tuh ingusnya dibersihin juga,” ucap Raka terkekeh.
“Sini aku lap pakai jaz mahalmu?”
“Boleh sini?”
“Gak ah, sudah aku turun, terima kasih, Ka,” ucap Arini.
Raka kembali pulang ke rumahnya. Raka masih senyum-senyum sendiri mengingat dulu dengan Arini. Gadis lugu, manis, tapi culun menurutnya, karena dia suka gadis yang feminim, cantik, modis, seperti Asti.
“Bodohnya aku, kenapa aku nolak kamu dulu, Rin. Kamu perempuan yang sangat setia, sudah disakiti suamimu pun kamu masih bisa sesabar ini,” ucap Raka lirih.