Judul: Takdir di Ujung Cinta
Soraya adalah seorang gadis sederhana yang tinggal di sebuah desa kecil bersama ayah dan ibunya. Setelah ayahnya meninggal dunia akibat penyakit, keluarga mereka jatuh miskin. Utang-utang menumpuk, dan ibunya yang lemah tidak mampu bekerja keras. Soraya, yang baru berusia 22 tahun, harus menjadi tulang punggung keluarga.
Masalah mulai muncul ketika seorang pria kaya bernama Arman datang ke rumah mereka. Arman adalah seorang pengusaha muda yang tampan tetapi terkenal dingin dan arogan. Ia menawarkan untuk melunasi semua utang keluarga Soraya dengan satu syarat: Soraya harus menikah dengannya. Tanpa pilihan lain, demi menyelamatkan ibunya dari hutang yang semakin menjerat, Soraya menerima lamaran itu meskipun hatinya hancur.
Hari pernikahan berlangsung dengan dingin. Soraya merasa seperti burung dalam sangkar emas, terperangkap dalam kehidupan yang bukan pilihannya. Sementara itu, Arman memandang pernikahan ini sebagai kontrak bisnis, tanpa rasa cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Secercah harapan menuju perjalanan baru
Kini Raya meminta penjelasan pada Arman, tentang situasi dan keadaan Arman dan Soraya saat ini. Menurutnya semuanya sudah jauh dari kesepakatan.
"Jelaskan padaku, Man, apa yang terjadi belakangan ini? ".
Ray merasa Arman tidak terbuka padanya, padahal Ray telah banyak membantunya. Namun Arman hanya menatap sahabat itu dengan tatapan penuh kebingungan. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab,
"Ray, aku tahu kau merasa semuanya sudah jauh dari rencana awal, tapi aku sendiri sedang mencoba memahami apa yang terjadi."
Ray menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Arman dengan alis yang terangkat.
"Man, aku bukan hanya sahabatmu, aku juga orang yang membantu merancang kesepakatan ini. Kau yang ingin hubungan ini tetap profesional, kau yang ingin ini semua hanya sebatas formalitas. Tapi sekarang? Apa kau mulai melibatkan perasaan, Man?"
Arman terdiam sejenak, menundukkan pandangannya.
"Aku tidak tahu, Ray," katanya pelan.
"Awalnya memang begitu—hanya formalitas. Tapi seiring waktu, aku mulai melihat Soraya dari sudut yang berbeda. Dia bukan hanya sekadar seseorang yang ku ajak bekerja sama. Dia... membuatku merasa hidup. Dia membuatku ingin menjadi orang yang lebih baik."
Ray menggeleng, jelas frustrasi.
"Arman, kau sadar, kan, kalau ini bisa berujung rumit? Soraya punya masa lalu yang sulit. Dia bukan tipe wanita yang akan percaya begitu saja pada pria. Kalau kau tidak serius, kau hanya akan melukai dia lebih dalam."
Arman menatap Ray, kini dengan tatapan penuh ketegasan.
"Aku tahu itu, Ray. Justru itu yang membuatku berhati-hati. Aku tidak ingin menyakiti Soraya. Tapi aku juga tidak bisa menyangkal apa yang kurasakan. Aku tidak ingin berpura-pura lagi."
Ray mendesah berat, mencoba mencerna penjelasan sahabatnya.
"Jadi, kau serius dengan pernikahan mu? Aku harap kau tidak terjebak dalam permainan mu,Man."
Arman mengangguk pelan.
"Aku yakin, Ray. Aku akan memulai hidup baru bersama Soraya. Aku mencintainya,Ray."
Ray memperhatikan Arman dengan saksama, mencari tanda-tanda ketulusan di wajahnya.
"Baiklah, Man. Kalau kau memang serius, aku akan mendukungmu. Tapi ingat satu hal—jangan pernah membuat keputusan setengah hati. Kalau kau benar-benar mencintai Soraya, pastikan dia tahu bahwa kau ada untuknya, sepenuhnya."
Arman tersenyum tipis, merasa lega mendengar dukungan Ray.
"Terima kasih, Ray. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku berjanji, aku akan melakukan yang terbaik untuk ini."
Ray hanya mengangguk, meskipun kekhawatiran masih membayangi pikirannya. Ia tahu bahwa perjalanan Arman dan Soraya tidak akan mudah, tetapi ia juga percaya pada ketulusan sahabatnya. Kini, semua tergantung pada bagaimana Arman dan Soraya menghadapi perasaan mereka masing-masing, serta rintangan yang mungkin menghadang di depan.
Setelah percakapan dengan Ray, Arman merasa sedikit lebih tenang, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan dan ketakutan akan keputusan yang ia hadapi. Ia tahu bahwa untuk melangkah lebih jauh dengan Soraya, ia harus lebih jujur—terutama dengan dirinya sendiri.
Hari demi hari berlalu, dan sorotan perhatian Arman terhadap Soraya semakin kuat. Setiap momen bersama Soraya, dari obrolan ringan di rumah, hingga keheningan saat mereka berdua terjebak dalam pikiran masing-masing, membuatnya semakin yakin bahwa Soraya adalah orang yang tepat.
Namun, Arman juga tahu bahwa ia tidak bisa memaksakan perasaannya pada Soraya begitu saja. Dia harus memastikan bahwa Soraya siap menghadapi hal itu.
Sementara itu, Soraya masih bergulat dengan perasaannya. Makan malam keluarga yang diundang Arman beberapa waktu lalu semakin mendekat, dan ia merasa semakin bimbang. Di satu sisi, ia merasa bahwa langkah itu adalah sebuah kesempatan untuk lebih mengenal Arman, tetapi di sisi lain, ketakutannya akan masa lalunya membuatnya ragu untuk benar-benar membuka hati.
Pagi itu, Soraya memutuskan untuk berbicara dengan ibunya, Sheila, tentang semua yang terjadi.
"Ibu, aku merasa bingung," kata Soraya sambil duduk di samping Sheila yang sedang menyulam di teras rumah.
Sheila menatap putrinya dengan penuh perhatian.
"Apa yang membuatmu bingung, Nak?"
"Aku tahu, Ibu, aku harus mengambil keputusan. Tapi... aku merasa seperti terjebak di antara perasaan dan ketakutan," jawab Soraya dengan suara yang sedikit bergetar.
Sheila meletakkan jarum sulamnya dan menatap Soraya dengan lembut.
"Soraya, hidup ini memang penuh dengan ketidakpastian, dan perasaan bisa membuat kita bingung. Tapi yang terpenting adalah jujur pada dirimu sendiri. Apa yang benar-benar kamu rasakan untuk Arman?"
Soraya terdiam, memikirkan kata-kata ibunya.
"Aku tidak tahu, Ibu. Kadang aku merasa bahwa Arman benar-benar peduli padaku, dan aku merasa nyaman dengannya. Tapi aku juga takut untuk lebih dekat, karena aku takut aku akan terluka lagi."
Sheila mengangguk, memahami perasaan putrinya.
"Itulah yang kadang membuat kita ragu, Nak. Ketakutan akan terluka lagi bisa menghalangi kita untuk membuka hati. Tapi kamu harus tahu, perasaan itu bisa menjadi sesuatu yang indah jika kamu berani menghadapinya. Jangan biarkan masa lalu mu mengendalikan keputusanmu."
Soraya menggenggam tangan ibunya, mencoba mencerna kata-kata tersebut.
"Tapi jika aku salah, jika aku memilih jalan yang salah, bagaimana kalau semuanya berakhir buruk?"
Sheila tersenyum bijak, matanya penuh kelembutan.
"Tidak ada yang tahu masa depan, Nak. Yang kita bisa lakukan adalah berani mengambil langkah, meskipun kita tidak tahu ke mana langkah itu akan membawa kita. Jangan hidup dengan keraguan. Apapun keputusanmu, pastikan itu adalah keputusan yang kamu buat dengan hati yang jujur."
Soraya menatap ibunya dengan penuh rasa terima kasih.
"Terima kasih, Ibu. Aku akan mencoba berpikir lebih terbuka."
Hari itu, Soraya merasa sedikit lebih tenang setelah berbicara dengan ibunya. Namun, ia tahu bahwa keputusan besar masih menanti.
Malam itu, Arman akan menjemputnya untuk makan malam di rumah ibunya, dan ia harus siap untuk menghadapi semuanya.
Saat Arman tiba untuk menjemputnya, Soraya merasa ada perasaan campur aduk dalam hatinya. Ia melihat Arman dengan sorot mata yang penuh perhatian dan harapan, dan meskipun ada rasa takut di dalam dirinya, ia juga merasa ada ketulusan yang begitu jelas di matanya.
"Sudah siap?" tanya Arman dengan senyum lembut.
Soraya mengangguk, meskipun ia bisa merasakan detak jantungnya yang cepat.
"Aku siap."
Mereka pun berangkat menuju rumah Arman, dan sepanjang perjalanan, Soraya berusaha menenangkan pikirannya. Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang penting, dan ia harus jujur dengan dirinya sendiri.
Di kediaman Arman, suasana makan malam terasa hangat, meskipun ada ketegangan yang samar di udara. Farida, ibu Arman, menyambut mereka dengan senyuman hangat, sementara Faisal, ayah Arman, terlihat lebih serius, seolah mengamati Soraya dengan seksama.
Soraya merasa sedikit canggung, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang dan menjaga sikap.
"Soraya, terima kasih sudah datang," ujar Farida sambil mempersilakan Soraya duduk.
"Kami senang bisa mengenalmu lebih dekat."
Soraya tersenyum, meskipun ia merasa sedikit tertekan oleh harapan yang jelas terlihat di mata ibu Arman.
"Terima kasih atas undangannya. Aku senang bisa bertemu dengan keluarga Arman."
Arman duduk di sampingnya, memberikan dukungan tanpa kata. Soraya tahu bahwa ini adalah saat yang tepat untuk mengenal lebih dalam tentang keluarga Arman, dan mungkin juga untuk mengenal dirinya sendiri lebih baik.
Namun, makan malam itu tidak hanya berfokus pada Soraya dan Arman. Faisal, ayah Arman, sesekali melontarkan pertanyaan tentang masa depan Arman dan kehidupannya. Soraya bisa merasakan ketegangan di balik percakapan itu, seolah ada lebih banyak yang ingin dibicarakan, namun tidak bisa diungkapkan begitu saja.
Setelah makan malam selesai, Arman mengajak Soraya berjalan-jalan di halaman belakang rumahnya, tempat yang sering mereka kunjungi ketika ingin berbicara lebih pribadi. Di sana, di bawah langit malam yang berbintang, Arman akhirnya membuka hati.
"Soraya," katanya dengan suara lembut,
"Terima kasih sudah datang malam ini. Aku tahu ini bukan hal yang mudah, dan aku benar-benar menghargai kehadiranmu."
Soraya menatap Arman dengan mata yang penuh perasaan.
"Aku juga berterima kasih, Arman. Ini kesempatan untuk lebih mengenalmu, dan aku rasa itu penting."
Arman menghela napas, menatap Soraya dengan tatapan yang penuh ketulusan.
"Aku ingin kamu tahu satu hal, Soraya. Aku serius dengan hubungan kita. Aku mencintaimu, dan aku ingin kita melangkah bersama. Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku akan ada untukmu."
Soraya terdiam, hatinya bergejolak. Kata-kata Arman begitu tulus, namun ia masih merasa takut.
"Aku... aku juga mulai merasakan hal yang sama, Arman. Tapi aku takut. Takut kalau aku salah."
Arman menggenggam tangannya, memberikan kenyamanan.
"Tidak ada yang salah dalam mencintai seseorang, Soraya. Semua ini adalah tentang berani mengambil langkah, bersama-sama."
Soraya menatap Arman dengan penuh harapan, perlahan mulai membuka hatinya.
"Aku akan mencoba, Arman. Aku akan berusaha untuk lebih terbuka."
Malam itu, meskipun penuh dengan keraguan dan ketakutan, Soraya merasa ada secercah harapan. Mungkin, ini adalah awal dari perjalanan baru mereka berdua.