Malam itu langit dihiasi bintang-bintang yang gemerlap, seolah ikut merayakan pertemuan kami. Aku, yang biasanya memilih tenggelam dalam kesendirian, tak menyangka akan bertemu seseorang yang mampu membuat waktu seolah berhenti.
Di sudut sebuah kafe kecil di pinggir kota, tatapanku bertemu dengan matanya. Ia duduk di meja dekat jendela, menatap keluar seakan sedang menunggu sesuatu—atau mungkin seseorang. Rambutnya terurai, angin malam sesekali mengacaknya lembut. Ada sesuatu dalam dirinya yang memancarkan kehangatan, seperti nyala lilin dalam kegelapan.
"Apakah kursi ini kosong?" tanyanya tiba-tiba, suaranya selembut bayu malam. Aku hanya mengangguk, terlalu terpaku pada kehadirannya. Kami mulai berbicara, pertama-tama tentang hal-hal sederhana—cuaca, kopi, dan lagu yang sedang dimainkan di kafe itu. Namun, percakapan kami segera merambat ke hal-hal yang lebih dalam, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama.
Waktu berjalan begitu cepat. Tawa, cerita, dan keheningan yang nyaman
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achaa19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jejak yang tertinggal
Bab 3: Jejak yang Tertinggal
Pagi itu, udara terasa lembab dengan sisa hujan semalam. Jalanan masih basah, memantulkan cahaya matahari yang berusaha menembus awan tipis. Arya duduk di balkon apartemennya sambil menyeruput kopi hangat. Pandangan matanya tertuju pada gedung-gedung yang berjejer di kejauhan, namun pikirannya masih melayang pada pertemuan semalam.
Ia membuka buku catatannya dan membaca ulang kalimat yang ia tulis malam sebelumnya. “Beberapa pertemuan singkat tidak perlu alasan, hanya keajaiban.” Kalimat itu terasa sederhana, tetapi entah kenapa ia terus memikirkannya. Pertemuan dengan Reina semalam terasa seperti sesuatu yang sulit dijelaskan, seperti perasaan yang tak bisa ia pahami meski ia mencoba mencari jawabannya.
Arya menghela napas. Ini bukan pertama kalinya ia merasa seperti ini—merasakan ketertarikan yang muncul tanpa rencana, tanpa penjelasan yang bisa diterima logika. Tapi ia tahu ia tak bisa terus memikirkan ini. Perasaan seperti ini hanya akan mengganggu ketenangannya yang biasa ia cari di malam hari.
“Ah, mungkin ini hanya semacam khayalan,” gumamnya pada dirinya sendiri sambil menyeruput kopi lagi.
Namun, di sudut hatinya, ia tahu bahwa ini bukan hanya khayalan semata.
Reina duduk di kursi kerjanya, menatap layar komputer sambil jemarinya dengan cekatan mengetik. Pekerjaan di kantornya selalu memerlukan konsentrasi, namun semalam terus menghantuinya. Pertemuan dengan Arya seperti menorehkan luka kecil yang tak ia pahami.
Kata-kata mereka semalam masih terngiang-ngiang di kepalanya. “Kadang kita butuh tempat seperti ini, ya. Tempat di mana kita bisa merasa sendiri, tapi tidak kesepian.”
Reina menarik napas panjang. Apa yang ia rasakan semalam bukan hanya kebetulan. Ada sesuatu tentang Arya yang ia rasakan familiar, seperti ia pernah mengenalnya sebelumnya—meskipun ia tahu itu mustahil. Perasaannya ini, perasaan yang datang tanpa sebab, membuatnya bingung dan gelisah.
“Kenapa harus semalam?” bisiknya pada diri sendiri.
Telepon berdering di mejanya, memutuskan lamunan Reina. Ia segera meraih telepon itu dan kembali tenggelam dalam tugas-tugasnya, namun perasaan semalam masih bersemayam di benaknya.
Reina tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk mengusir perasaan itu. Ia telah cukup lama menjalani hidup dengan memisahkan diri dari hal-hal yang bisa membuat hatinya terganggu. Namun, Arya seolah datang tanpa permisi, membuat segalanya menjadi kompleks.
Beberapa hari setelah malam itu, Arya kembali menghabiskan waktu di kafe yang sama. Ia mulai menulis lebih banyak, mencoba menemukan kata-kata untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan. Namun, setiap kali ia menulis, pikirannya selalu kembali kepada Reina.
Ia mulai bertanya-tanya tentang dirinya—siapa wanita itu sebenarnya? Mengapa ia merasakan ikatan yang sulit ia jelaskan? Arya mulai memeriksa ingatannya, mencoba mengingat detail-detail kecil tentang pertemuan mereka, tentang senyumnya, tatapannya, serta keheningan yang aneh namun begitu berarti.
Arya sering kali berusaha memaksa dirinya untuk tidak memikirkan hal ini. Namun, semakin ia berusaha, semakin ia merasa bahwa Reina memiliki sesuatu yang menarik perhatian hatinya.
Setiap kali ia menulis, ia selalu menulis kalimat yang sama:
"Kau seperti bayang-bayang yang tak pernah bisa kusentuh, namun selalu ada."
Dan ia menulis kalimat itu berkali-kali, seakan mencoba memahami makna dari perasaannya sendiri.
Di sebuah taman kecil dekat pusat kota, Arya sedang duduk sambil membaca buku. Udara cerah, dan anak-anak bermain riang di sekitar taman. Arya sedang menikmati ketenangan itu ketika ia melihat seseorang mendekat. Jantungnya berdebar tanpa ia pahami.
Reina muncul di hadapannya, senyum kecil menghiasi wajahnya.
“Arya?” tanyanya dengan nada lembut.
Arya mendongak, tak percaya dengan apa yang ia lihat. “Reina?”
Reina mengangguk sambil memegang secangkir kopi. “Kita bertemu lagi, ya?”
Arya tersenyum pelan, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Ternyata tak hanya semalam yang membawa kita bertemu.”
Reina duduk di sebelahnya tanpa bertanya lebih jauh, seolah memahami bahwa tak perlu penjelasan panjang. Angin berhembus lembut di sekitar mereka, membawa aroma kopi dan daun yang baru saja gugur.
“Aku pikir ini kebetulan,” kata Reina sambil menatap jauh ke taman yang berwarna hijau.
Arya menggeleng. “Atau mungkin ini takdir.”
Mereka berdua terdiam lama, saling menikmati keheningan dan udara yang sejuk. Tak ada kata-kata yang perlu diucapkan. Perasaan itu sudah cukup—ada ikatan yang muncul tanpa kata, seakan-akan mereka memang sudah ditakdirkan untuk bertemu.
Hujan semalam, perbincangan di kafe kecil, dan perasaan yang mengambang tanpa jawaban kini membawa mereka ke perjumpaan ini.
Arya tahu bahwa ini baru awal dari sesuatu yang lebih besar, dan ia siap untuk mengejar apa yang tersisa di balik senyuman dan pandangan Reina yang penuh teka-teki.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak takut untuk menjelajahi perasaannya.