"Pokoknya aku mau Mama kembali!"
"Mau dibawa kemana anakku?!"
"Karena kau sudah membohongi puteriku, maka kau harus menjadi Mamanya!"
Tiba-tiba menjadi mama dari seorang gadis kecil yang lucu.
"Tapi, mengapa aku merasa begitu dekat dengan anak ini ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linieva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05. Bab Lima
“Mba… Nisha haus.” Anisha memanggil dan membangunkan pengasuhnya, Dewi. Karena masih sakit, suaranya sangat pelan dan lemah.
“Mba… uhuk… uhuk…”
‘Pura-pura gak denger aja! Bukannya tidur, malah mengganggu orang istirahat aja.’
Anisha memegang batang lehernya yang terasa kering. Setengah badannya bergerak bangun, dan melihat pengasuhnya masih tidur pulas menundukan kepalanya di sofa. Sudah tiga kali juga, Dewi masih belum bangun. Gelas yang berisi air minum, memang terletak diatas meja, di samping ranjang pasien, tapi tetap saja Anisha belum
bisa menjangkaunya.
Anisha mengulurkan tangannya, sedikit maju sampai hampir jatuh dari ranjang, tapi tidak bisa meraih gelasnya dan malah jatuh.
Prang!
Ceklek!
“Ya ampun, Nona Anisha, ada apa?” secara bersamaan, gelas yang diambil Anisha jatuh dan pecah, dan ada seseorang yang masuk. Karena takut, Dewi pun bangun dan pura-pura khawatir pada Anisha.
“Ada apa? Anisha? Apa yang kamu lakukan, Nak?”
“Papa, uhuk… uhuk… Nisha… Nisha haus, uhuk… uhuk…”
Mendengar ada yang haus, Alisha keluar lagi, dan ingin mengambil air minum yang baru.
“Dewi! Apa yang kamu lakukan sampai tidak memberikan air minum pada puteriku?!” Sadewa memarahi dewi.
“Ma-maaf, Tuan. Saya… saya tidak tahu ka-kalau nona Anisha haus.”
“Jadi apa saja yang kau lakukan? Tidur??”
“Uhuk… uhuk… uhuk..”
“Ngapain masih diam aja? Ambilkan air minum!”
“I-iya Tuan.” Dewi setengah berlari keluar dari ruangan dan melihat Alisha membawa segelas air, “Sini, berikan padaku!” Dewi ingin merebutnya dari tangan Alisha.
“Apa? Enak aja main rampas! Ambil sendiri dong!” tapi Alisha tidak mau mengalah dan tetap membawakan air minumnya untuk Anisha.
Anisha melihat Alisha dibelakang punggung Sadewa, “Mama! Mama!” Anisha merentangkan kedua tangannya minta dipeluk.
“Iya Sayang, ini Mama. Nah, kamu minum dulu ya, katanya kamu haus.” Sempatnya dia memeluk Anisha, dan membujuknya untuk minum, “Pelan-pelan minumnya, kalau masih kurang, Mama akan ambilkan lagi.” Tangannya juga masih memegang gelas agar tidak jatuh lagi kalau Anisha yang pegang.
Dewi yang tadi di suruh ambil air minum, kembali masuk dengan wajah cemberut karena bukan dia yang memberikan air minumnya.
Segelas air minum langsung habis Anisha teguk. Sadewa yang ambil gelas kosong dari tangan Alisha, dan dia pindahkan ke atas meja.
“Mama… Mama kemana saja? Kenapa Mama peylgi ninggalin Anisha lagi?” Anisha memeluk Alisha lagi dengan erat, takut kalau mamanya pergi lagi.
“Maafkan Mama, ya Sayang. Tadi, Mama ada urusan sebentar. Tapi sekarang kan, Mama sudah ada di sini, jangan nangis lagi ya.” dengan penuh kasih sayang, Alisha mengusap kepala Anisha. Semuanya, Sadewa menyaksikannya.
‘Mama? Apa perempuan ini… mama kandungnya anak ini?’
‘Kenapa aku baru tahu ya? Ah… apa dia akan menggantikan nona Miranda?’
“Dewi, kau keluar dulu.” Suruh Sadewa.
“I-iya Tuan.” Sambil keluar, dia masih melihat hubungan antara mereka bertiga dengan penasaran.
“Ya ampun, karena Mama, kamu jadi sakit, Nak. Mama jadi merasa bersalah.” Alisha melirik Sadewa, sengaja menyindir orang itu. Dan Sadewa, buang muka, pura-pura tidak dengar.
“Awas, jangan terlalu banyak gerak, karena masih ada pecahan kaca dari gelasnya. Tunggu, aku akan membersihkannya.” Mungkin karena sudah terbiasa dekat dengan perempuan, Sadewa memegang pinggang belakang Alisha untuk menahannya agar tidak terlalu mundur dan tidak kena serpihan kaca.
Sadewa keluar, “Dewi, ambilkan sapu dan tempat sampah.”
“Baik, Tuan.” Dewi sempat menyembunyikan ponsel ditangan, dibelakang punggungnya. Dipikirnya Sadewa tidak tahu, tapi sebenarnya dia mulai curiga, tapi tidak membahasnya dulu karena masih mengutamakan puterinya.
“Papa, Anis mau pulang. Gak mau di sini lagi. Di sini bau, Anis gak suka!”
“Kamu ini, kan kamu masih sakit. Berbaring lagi di tempat tidurnya, kenapa kau manja sekali sampai mamamu harus menggendongmu.”
“Gak apa-apa Sayang, namanya juga kami saling merindu.” Ucap Alisha tersenyum padanya.
‘A-apa? Sayang?’ Sadewa terkejut dengan panggilan itu.
“Ma, jangan peylgi lagi ya Ma. Kalau Mama peylgi, Anis sakit lagi. Masuk yumah sakit, Anis gak mau, Ma.”
“Iya, Anisha. Mama gak akan pergi ke mana-mana lagi kok. Mama mau, kamu, selalu sehat, panjang umur, sampai dewasa dan tua, Mama akan ada untukmu.”
‘Kamu menggemaskan banget sih, Nak. Punya anak seimut kamu pun, rasanya aku gak menyesal.’ Ucap Alisha dalam hati.
*
Hari berikutnya, “Alis, jadi kamu pergi ke Bandung?” tanya Astrid pada Alisha yang sudah keluar dari kamarnya pagi-pagi membawa koper.
“Mmm, gak jadi Kak. Tapi, aku lagi ada kerjaan.”
“Kerjaan? Di mana?”
“Di… luar kota.” Tapi Alisha tidak berani menatap Astrid, takut ketahuan berbohong.
“Di luar kotanya di mana? Jauh?”
“Mmm, iya Kak. Aku… mau momong anak.”
“Apa? Siapa yang mau momong anak?” kakaknya, Fabian, juga keluar dari kamarnya dan sempat mendengar kalimat terakhir dari mulut adik kandungnya.
“Eh, Kakak sudah bangun?”
“Lisha, tadi aku dengar, kamu mau kerja di luar kota, dan momong anak? Kenapa kau sampai bekerja jadi pengasuh anak? Sementara di sini, kau bisa tinggal semaumu, dan ada Mira juga. Dan, pendidikanmu kan tinggi, kenapa harus kerja itu sih?”
“Ya ampun Kak, memangnya apa salahnya sih kerja jadi babysitter? Halal juga kan?”
“Tapi Lish, waktu itu, kamu kan mau buka butik di Bandung, sudah lama banget kamu pengen buka butik, kenapa tiba-tiba berubah pikiran?” tanya Astrid yang curiga juga.
“Itu… itu karena.. modalnya masih belum ada, Kakak ipar.” Alisha menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Modal kan bisa pinjam dari kami dulu. Lisha, kamu gak melakukan hal yang aneh kan? Jangan bikin Kakak khawatir, apalagi kita berdua udah gak ada orang tuanya lagi.” Kata Fabian.
“Ck, Kakak terlalu overthinking nih. Pokoknya kalian jangan khawatir. Aku gak bikin ulah macem-macem. Murni memang buat kerja.”
“Ya sudah kalau begitu, kita sarapan dulu. Sayang, gak usah di desak lagi, aku yakin Alisha punya alasan untuk memilih pekerjaan itu. Masa kamu gak percaya sama adik kamu sendiri sih?”
“Bukannya gak percaya, dia gak bisa menjaga dirinya sendiri, buktinya empat tahun yang lalu… akhh…” tiba-tiba isterinya menginjak kakinya, dan Fabian baru tersadar dengan mulutnya yang ternyata hampir membuka luka lama Alisha. Pikir mereka, Alisha tidak mendengarnya, tapi dia mengerti, “Percayalah, kali ini, aku benar-benar bisa jaga diri kok. Aku… jika aku terus di sini, pikiranku semakin banyak. Banyak hal yang berusaha ingin aku ingat dan ketahui.”
“Hah… baiklah. Terserah kamu saja. Kalau ada apa-apa, hubungi kami. Mau kamu dimarahi keras atau enggak, harus hubungi kami.” Ucap Fabian mengingatkan adik perempuannya.
“Iya Kak. Kalau begitu, aku pergi dulu ya.” Alisha menyeret kopernya.
“Kamu gak sarapan dulu bareng kita?”
“Enggak Kak, takut ketinggalan pesawat. Bye, nanti kalau sudah sampai, aku akan mengabari kalian.”
‘Ketinggalan pesawat apaan? Aku kan hanya naik taksi saja. Maaf ya kakakku dan kakak iparku.”