> "Rei Jaavu, apakah anda siap meninggalkan dunia ini dan pergi menuju negeri impian anda sekarang?"
"Jepang? Beneran aku bisa ke Jepang?"
> "Jepang? Ya, Jepang. Tentu saja."
Kata-kata itu muncul di layar laptop Rei, seperti tawaran menggiurkan yang nggak mungkin ia tolak. Sebuah sistem bernama "AniGate" menjanjikan hal yang selama ini cuma ada di dalam imajinasinya. Jepang klasik, negeri isekai, atau bahkan jadi tokoh kecil di dalam novel klasik yang selalu ia baca? Semua seperti mungkin. Ditambah lagi, ini adalah jalan agar Rei bisa mewujudkan impiannya selama ini: pergi kuliah ke Jepang.
Tapi begitu masuk, Rei segera sadar... ini bukan petualangan santai biasa. Bukan game, bukan sekadar sistem main-main. Di tiap dunia, dia bukan sekadar 'pengunjung'. Bahaya, musuh, bahkan rahasia tersembunyi menghadangnya di tiap sudut. Lebih dari itu, sistem AniGate seolah punya cara tersendiri untuk memaksa Rei menemukan "versi dirinya yang lain".
"Sistem ini... mempermainkan diriku!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RE-jaavu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Tanpa Cinta: Bagian 9
Bagian 9: Selangkah Lebih Dekat
Setelah tragedi kebakaran, semuanya terasa lebih sunyi. Kampus mulai kembali normal, tapi aku tahu sesuatu telah berubah. Tidak hanya pada lingkungan sekitar, tapi juga pada hubungan kami.
Entah mengapa, Sayuri sekarang lebih sering menghabiskan waktu di kamarku. Meskipun awalnya terasa canggung, kehadirannya menjadi sesuatu yang selalu aku nantikan. Ada rasa nyaman dalam kebersamaan kami, meskipun kami jarang berbicara tentang hal-hal penting.
Malam itu, dia duduk di sofa kecil di pojok kamar, membaca sebuah novel. Rambutnya terurai, terlihat lembut di bawah cahaya lampu meja.
“Apa yang kau baca?” tanyaku, mencoba memulai percakapan.
Dia menoleh, menunjukkan sampul buku itu. “Hanya novel ringan. Cerita tentang seseorang yang mendapati dirinya setelah melalui banyak kegagalan.”
Aku mengangguk, mencoba mencari sesuatu yang cerdas untuk dikatakan, tapi gagal. “Kedengarannya menarik.”
Dia tersenyum kecil, lalu kembali membaca.
Beberapa menit kemudian, dia menutup bukunya dan menatapku. “Takuto-kun, apa kau pernah merasa hidupmu seperti terlalu rumit?”
Aku berpikir sejenak. “Tentu. Itu normal, bukan? Hidup selalu penuh dengan hal-hal yang tidak kita pahami.”
Dia mengangguk pelan, lalu berkata, “Tapi bagaimana kalau kita merasa terjebak? Seperti tidak ada jalan keluar dari semua ini?”
Aku tahu dia tidak hanya berbicara tentang kebakaran atau misi kami. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-katanya.
“Sayuri-san,” panggilku lembut. “Aku mungkin tidak tahu banyak, tapi aku percaya bahwa setiap orang punya kekuatan untuk menemukan jalan mereka sendiri.”
Dia menatapku lama, lalu tersenyum kecil. “Kau selalu optimis, ya.”
“Nggak juga,” balasku sambil tertawa kecil. “Aku hanya mencoba melihat sisi baik dari segalanya.”
Dia tertawa pelan, tapi tawa itu terdengar tulus. “Aku senang kita bisa berbicara seperti ini, Takuto-kun.”
...****************...
Beberapa hari setelahnya, aku mengajaknya ke balkon kecil di lantai atas asrama untuk menikmati pemandangan kota di malam hari. Udara dingin menusuk, tapi suasana terasa hangat dengan kehadirannya di sampingku.
“Indah, bukan?” tanyaku sambil menunjuk lampu-lampu kota yang berkilauan.
Dia mengangguk pelan, matanya terpaku pada pemandangan di depan kami. “Ya. Rasanya seperti melihat dunia yang berbeda, jauh dari semua rutinitas sehari-hari.”
Kami berdiri dalam diam untuk beberapa saat, hanya menikmati keindahan malam. Aku mencuri pandang ke arahnya. Matanya yang berbinar-binar memantulkan cahaya lampu kota, memberikan kesan bahwa dia juga bagian dari keindahan itu.
“Sayuri,” panggilku pelan.
Dia menoleh, menatapku dengan alis sedikit terangkat.
“Aku ingin bilang… terima kasih,” kataku, merasa gugup.
Dia tampak bingung. “Terima kasih? Untuk apa?”
Aku menggaruk tengkukku, mencoba merangkai kata-kata. “Untuk semuanya. Kau membantuku melewati banyak hal, meskipun kita memulai ini sebagai sebuah misi. Entah mengapa, aku merasa seolah hubungan ini menjadi lebih dari sekadar kerjasama.”
Dia tidak langsung menjawab. Wajahnya sedikit memerah, dan dia kembali mengalihkan pandangannya ke arah lampu kota. “Kau terlalu berlebihan,” katanya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan.
“Tapi aku serius,” kataku sambil tersenyum kecil. “Aku bersyukur karena kau ada di sini, Sayuri.”
Dia terdiam cukup lama, lalu berkata pelan, “Kalau begitu, aku juga ingin berterima kasih, Takuto-kun.”
Aku menoleh, sedikit terkejut mendengar suaranya yang lebih lembut dari biasanya.
Dia melanjutkan, “Karena kau selalu membuatku merasa bahwa aku tidak sendirian. Jujur itu cukup… menenangkan. Terima kasih...”
Perkataan itu membuat dadaku terasa hangat. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan, jadi aku hanya tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa gugupku.
Hening kembali melingkupi kami, tapi kali ini terasa lebih nyaman dari sebelumnya.
...****************...
Malam itu, ketika aku sedang mempersiapkan materi untuk tugas terakhir kami, suara ketukan pintu mengalihkan perhatianku.
Aku membuka pintu dan mendapati Sayuri berdiri di sana, memeluk sebuah buku catatan kecil.
“Ada apa?” tanyaku, sedikit bingung dengan kunjungannya yang mendadak.
Dia tersenyum tipis, lalu berkata, “Aku ingin memberimu sesuatu.”
Dia menyerahkan buku catatan itu padaku tanpa banyak bicara. Aku membukanya dan melihat tulisan tangan rapi di dalamnya. Buku itu berisi catatan kecil tentang momen-momen yang telah kami lalui bersama selama sebulan terakhir.
Aku membolak-balik halaman, membaca beberapa tulisan yang sederhana namun menyentuh:
> “Hari pertama kita berbicara, aku merasa sedikit canggung. Tapi anehnya, semuanya jadi lebih mudah setelah beberapa waktu.”
> “Takuto memiliki cara yang aneh untuk memahami sesuatu. Dia sering membuat kesalahan, tapi justru dari situ dia terlihat belajar. Aku rasa itu tidak buruk.”
> “Aku tidak pernah menyangka bahwa membuat perjanjian seperti ini akan memberikan banyak pelajaran. Tapi aku rasa, di situlah letak kejutannya.”
> “Takuto-kun tidak pernah berhenti membuatku bingung. Kadang dia seperti tidak peduli, tapi di lain waktu dia terlihat sangat serius. Aku tidak tahu mana yang asli.”
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Perasaan campur aduk memenuhi dadaku.
“Apa ini?” tanyaku akhirnya, suaraku sedikit bergetar.
Dia menunduk, wajahnya terlihat malu-malu. “Hanya buku memo biasa,” jawabnya pelan. “Aku merasa kita sering melupakan hal-hal kecil yang sebenarnya penting. Jadi, aku menulisnya.”
Aku menatapnya lama, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Hei… ini luar biasa.”
Dia mengangkat bahu dengan senyum kecil. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku menghargai semua yang telah kita lalui.”
Aku tersenyum, merasa dadaku menghangat. “Terima kasih. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa.”
Dia menunduk lagi, pipinya terlihat memerah. “Kau tidak perlu berkata apa-apa, Takuto-kun.”
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diriku. “Sayuri, aku…”
Dia mengangkat tangannya, menghentikanku. “Eits! Jangan berkata lebih dari itu.”
Aku menatapnya bingung.
Dia menunduk lagi, kali ini wajahnya terlihat lebih serius. “Kalau kau terlalu serius, aku tidak tahu apakah aku bisa mengendalikan diriku. Jadi... cukup terima saja, ya?”
Kata-katanya membuatku terdiam. Tapi aku tahu itu adalah caranya untuk melindungi diri dari emosi yang mulai tumbuh di antara kami.
“Baiklah,” kataku akhirnya. “Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku juga menghargai semua ini.”
Dia mengangguk pelan, lalu berkata, “Kalau begitu, aku akan pergi. Selamat malam, Takuto-kun.”
“Selamat malam, Sayuri.”
Aku menutup pintu, lalu duduk di meja belajarku, memandangi buku catatan itu. Aku membacanya lagi, memperhatikan bagaimana setiap tulisan mencerminkan perasaannya yang perlahan-lahan berubah. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah semua ini selesai, tapi aku tahu satu hal: aku tidak ingin kehilangan Sayuri.
aku mampir ya 😁