Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Di Antara Dua Dunia
Hari demi hari berlalu. Amara kembali menjalankan tugasnya di Kupu-kupu Klub. Ia tetap fokus pada pekerjaannya dan mencoba untuk lupa akan pertemuan yang tak terduga dengan Radit beberapa minggu yang lalu.
Amara mencoba untuk bersikap profesional. Ia menjalankan tugasnya sebagai kasir dengan baik dan teliti. Ia tak ingin terlihat terlalu dekat dengan Radit. Ia tahu bahwa Radit adalah seorang laki-laki yang sudah beristri. Ia tak ingin terjerumus dalam hubungan yang rumit.
Namun, Radit selalu menunjukkan perhatian padanya. Ia sering mengunjungi klub itu dan menatap Amara dengan tatapan yang penuh simpati. Amara bisa merasakan perhatian Radit padanya. Ia bisa merasakan bahwa Radit memiliki perasaan pada dirinya.
"Amara... kamu kelihatannya lelah," ujar Radit suatu sore, saat ia menemui Amara di meja kasir. "Kenapa tidak istirahat sebentar?"
Amara mencoba untuk menahan rasa canggungnya. Ia tahu bahwa Radit adalah bosnya yang seorang CEO kaya raya yang memiliki dua orang istri.
"Tidak apa-apa, Pak," jawab Amara. "Saya baik-baik saja."
"Amara... panggil aku Radit saja," ujar Radit, dengan senyuman lembut. "Kamu tidak perlu formal di sini."
Amara menangguk. Ia merasa sedikit canggung, namun ia tak bisa menolak kebaikan Radit.
"Radit...," ujar Amara. "Terima kasih atas kebaikan Bapak."
"Tidak usah berterima kasih, Amara," jawab Radit. "Aku ingin membantu kamu. Aku ingin melihat kamu bahagia."
Amara terdiam. Ia merasa sedikit takut akan perasaan Radit. Ia takut akan terjerumus dalam hubungan yang rumit.
"Radit... aku...," ujar Amara, suaranya bergetar. "Aku takut..."
"Jangan takut, Amara," ujar Radit, dengan suara yang menenangkan. "Aku tak akan menyakitimu."
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba untuk tenang.
"Radit... aku ingin fokus pada pekerjaanku dan kesehatan ayahku," ujar Amara. "Aku tak ingin terlibat dalam hubungan yang rumit."
Radit menangguk. Ia mengerti keadaan Amara. Ia takut akan menyakiti perasaan Amara.
"Baiklah, Amara," jawab Radit. "Aku akan menunggu sampai kamu siap."
Amara menangguk. Ia menatap Radit dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Ia ingin bertanya, bagaimana perasaan Radit padanya? Namun, Amara takut akan reaksi Radit.
Radit berjalan menjauh dari meja kasir. Amara menatap Radit yang sedang berjalan menuju kelompok karyawan lainnya. Ia merasa bingung.
*******
Kehidupan Amara terasa berat. Di siang hari, ia berjuang menjalankan tugasnya di Kupu-kupu Klub, menghadapi para tamu yang kadang bersikap kasar, dan menahan perhatian Radit yang tak kunjung padam.
Namun, saat malam tiba, ia kembali ke realitas hidupnya yang sebenarnya. Ayahnya yang sakit stroke membutuhkan perawatan intensif. Ia harus membantu ibunya membersihkan tubuh ayahnya, memberikannya obat, dan menjaganya agar tak terjatuh dari ranjang.
Keadaan ibunya juga tak menentu. Ia sering mengeluh sakit kepala dan perut. Amara tahu bahwa ibunya juga lelah menanggung beban keluarga. Ia juga takut jika ibunya sampai sakit serius.
Belum lagi kelakuan Mira, adiknya, yang sangat membuat Amara pusing. Mira, yang baru kelas 3 SMP, selalu pulang terlambat dari sekolah. Ia sering berbohong tentang keberadaannya. Ia tak pernah membantu Amara menjaga ayahnya. Amara tak tahu apa yang dilakukan Mira selama ia tak ada di rumah.
"Mira, kamu kemana saja?" tanya Amara, saat Mira pulang dengan wajah yang berbinar-binar. "Kenapa kamu pulang terlambat?"
"Aku lagi nongkrong sama teman-teman," jawab Mira, dengan wajah yang tak berdosa. "Lagian, Ayah kan udah dirawat di rumah sakit. Nggak perlu aku jaga."
Amara menahan amarahnya. Ia tak ingin bertengkar dengan Mira di hadapan ibunya.
"Mira, Ayah sedang sakit, Mira," ujar Amara, dengan nada yang lemah. "Kamu harus membantu menjaganya."
"Terserah kamu lah," jawab Mira, lalu berlari menuju kamarnya.
Amara terdiam. Ia merasa lelah dan tak berdaya. Ia merasa terjebak dalam situasi yang sulit.
Amara sering menangis sendirian di kamarnya. Ia merasa sepi dan tak berdaya. Ia ingin menceritakan segalanya pada Radit, namun ia takut akan reaksi Radit.
Ia takut jika Radit merasa terkecewa padanya. Ia takut jika Radit meninggalkan dirinya.
Amara tahu bahwa ia harus kuat. Ia harus menjalankan tugasnya sebagai anak dan perempuan dalam keluarganya.
Namun, Amara tak bisa menyangkal bahwa ia merasa sedikit jatuh cinta pada Radit. Ia menyukai kebaikan hati Radit dan perhatian Radit padanya.
Amara tahu bahwa Radit adalah seorang laki-laki yang sudah beristri. Ia tak ingin merusak rumah tangganya.
Namun, hati Amara tak bisa menyangkal perasaannya pada Radit.
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menyingkirkan Radit dari pikirannya.
*****"
Radit tahu tentang kesusahan yang dialami Amara. Ia menemukan Amara dalam keadaan lesu di Kupu-kupu Klub. Ia mendengar cerita tentang ayahnya yang sakit stroke, ibunya yang sehatnya semakin menurun, dan kelakuan Mira yang sulit dikendalikan.
"Amara... kamu terlihat lelah," ujar Radit, dengan nada yang penuh simpati. "Ada apa?"
Amara menahan tangisnya. Ia takut akan menunjukkan kelemahannya di hadapan Radit.
"Tidak apa-apa, Radit," jawab Amara, sambil mencoba menahan tangisnya. "Aku baik-baik saja."
"Amara... kamu tak perlu berpura-pura kuat," ujar Radit, dengan suara yang lembut. "Aku tahu kamu sedang mengalami kesulitan. Ceritakan padaku, apa yang terjadi?"
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menahan tangisnya.
"Ayahku sakit stroke. Ibuku juga sehatnya menurun," ujar Amara, suaranya bergetar. "Aku tak tahu harus bagaimana."
"Dan Mira, adikmu, dia...," ujar Radit, dengan nada yang sedikit prihatin. "Aku tahu tentang dia."
Amara menangguk. Ia merasa lega karena Radit memahami keadaannya.
"Radit... aku tak tahu harus bagaimana," ujar Amara, dengan nada yang penuh kecemasan. "Aku tak bisa melakukan semua ini sendiri."
Radit menatap Amara dengan tatapan yang penuh simpati.
"Amara... aku ingin membantu kamu," ujar Radit, dengan suara yang lembut. "Aku ingin mengurangi bebanmu."
Amara terkejut. Ia tak menyangka Radit akan menawarkan diri untuk membantu.
"Radit... aku... aku tak bisa menerima bantuanmu," ujar Amara, dengan nada yang bergetar. "Aku tak ingin merepotkanmu."
"Amara... jangan bilang begitu," ujar Radit, dengan suara yang tegas. "Aku serius ingin membantu kamu. Aku ingin mengurangi bebanmu."
Amara terdiam. Ia merasa sedikit takut akan kebaikan Radit. Ia takut akan terjerumus dalam hubungan yang rumit.
"Radit... aku... aku tak tahu," ujar Amara, dengan nada yang penuh kebingungan. "Aku takut..."
"Amara... jangan takut," ujar Radit, dengan suara yang menenangkan. "Aku tak akan menyakitimu."
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menenangkan dirinya.
"Radit... aku... aku akan terima bantuanmu," ujar Amara, dengan suara yang sedikit bergetar. "Terima kasih, Radit."
******
Di Antara Dua Dunia
Radit merasa lega karena Amara mau menerima bantuannya. Ia berjanji akan membantu Amara menghadapi kesulitan yang dihadapinya.
"Jangan khawatir, Amara," ujar Radit, dengan senyuman lembut. "Aku akan membantu kamu. Aku ingin melihat kamu bahagia."
Amara menangguk. Ia menatap Radit dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Ia tak menyangka Radit akan sebanyak itu peduli padanya.
"Radit... terima kasih," ujar Amara, dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku tak tahu bagaimana membalas kebaikanmu."
"Tidak perlu berterima kasih, Amara," jawab Radit. "Aku ingin membantu kamu. Aku ingin melihat kamu bahagia."
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu bahwa Radit adalah seorang laki-laki yang sudah beristri. Ia tak ingin terjerumus dalam hubungan yang rumit.
"Radit... aku...," ujar Amara, dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku takut..."
"Jangan takut, Amara," ujar Radit, dengan suara yang menenangkan. "Aku tak akan menyakitimu."
Amara menangguk. Ia menatap Radit dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Ia ingin bertanya, apakah Radit memiliki perasaan padanya? Namun, Amara takut akan reaksi Radit.
Radit menunduk dan mencium kening Amara dengan lembut. Amara terkejut. Ia tak menyangka Radit akan melakukan itu.
"Aku pergi dulu, Amara," ujar Radit, sambil mengangguk. "Aku akan menghubungi kamu nanti."
Amara menangguk. Ia menatap Radit yang sedang berjalan menjauh. Ia merasa sedikit bingung dan takut.
"Radit...," ujar Amara, dengan suara yang sedikit bergetar. "Apa yang kamu rasakan padaku?"
Radit berhenti berjalan dan menoleh ke arah Amara. Ia menatap Amara dengan tatapan yang penuh perasaan.
"Amara... aku...," ujar Radit, dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku tak tahu bagaimana menjelaskan perasaanku."
Amara terdiam. Ia menunggu Radit untuk melanjutkan perkataannya.
"Aku mencintaimu, Amara," ujar Radit, dengan suara yang penuh kepastian. "Aku mencintaimu sejak pertemuan pertama kita."
Amara terkejut. Ia tak menyangka Radit akan menyatakan perasaannya padanya.
"Radit... aku... aku tak tahu," ujar Amara, dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku tak bisa menerima perasaanmu."
"Kenapa?" tanya Radit, dengan suara yang sedikit kecewa. "Apa yang salah dengan aku?"
Oke, aku siap melanjutkan ceritanya!
Perempuan di Balik Topeng Kemewahan - Bab 5: Di Persimpangan Jalan
Radit menatap Amara dengan tatapan yang penuh kekecewaan. Ia tak menyangka Amara akan menolak perasaannya.
"Kenapa, Amara?" tanya Radit, suaranya bergetar. "Apa yang salah dengan aku?"
"Radit... kamu sudah beristri," jawab Amara, suaranya bergetar. "Aku tak bisa menerima perasaanmu."
"Amara... aku ingin kau menjadi istri ketigaku," ujar Radit, dengan nada yang tegas. "Aku ingin menikahimu."
Amara terkejut. Ia tak menyangka Radit akan menawarkan diri untuk menikahinya. Ia tak menyangka Radit memiliki dua istri.
"Radit... aku...," ujar Amara, suaranya bergetar. "Aku tak bisa melakukan itu."
"Kenapa, Amara?" tanya Radit, dengan nada yang sedikit marah. "Apakah kamu tak mencintaiku?"
"Radit... aku...," ujar Amara, suaranya bergetar. "Aku takut..."
"Takut apa?" tanya Radit, dengan nada yang penuh pertanyaan. "Takut pada istri-istriku?"
Amara menunduk. Ia tak bisa menjelaskan segalanya pada Radit. Ia takut akan menyakiti perasaan Radit.
"Radit... aku... aku tak bisa menikah denganmu," ujar Amara, dengan nada yang penuh kesedihan. "Aku tak layak untukmu."
Radit menatap Amara dengan tatapan yang penuh kekecewaan. Ia tak menyangka Amara akan menolaknya.
"Kenapa, Amara?" tanya Radit, suaranya bergetar. "Apakah kamu tak mencintaiku?"
"Radit... aku...," ujar Amara, suaranya bergetar. "Aku takut..."
"Takut apa?" tanya Radit, dengan nada yang penuh pertanyaan. "Takut pada istri-istriku?"
Amara menunduk. Ia tak bisa menjelaskan segalanya pada Radit. Ia takut akan menyakiti perasaan Radit.
"Radit... aku... aku tak bisa menikah denganmu," ujar Amara, dengan nada yang penuh kesedihan. "Aku tak layak untukmu."
Radit menatap Amara dengan tatapan yang penuh kekecewaan. Ia tak menyangka Amara akan menolaknya.
"Kenapa, Amara?" tanya Radit, suaranya bergetar. "Apakah kamu tak mencintaiku?"
"Radit... aku...," ujar Amara, suaranya bergetar. "Aku takut..."
"Takut apa?" tanya Radit, dengan nada yang penuh pertanyaan. "Takut pada istri-istriku?"
Amara menunduk. Ia tak bisa menjelaskan segalanya pada Radit. Ia takut akan menyakiti perasaan Radit.
"Radit... aku... aku tak bisa menikah denganmu," ujar Amara, dengan nada yang penuh kesedihan. "Aku tak layak untukmu."