Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesan Pertama
Selesai mandi dan berpakaian Zanya mencepol rambut seadanya, asal rapih. Ia segera turun ke lantai 9, di sana lah kantor CEO berada. Zanya merasa sangat lapar, perutnya keroncongan, namun ia tak sempat makan apapun, hanya minum air putih segelas, karena ingat pesan Khaifa, jangan sampai kehabisan cairan.
Sampai di kantor CEO, ia celingukan mencari keberadaan Dwi, matanya menangkap sosok Radit sedang duduk di belakang meja panjang yang di atasnya terdapat 2 komputer, itu adalah meja untuk asisten Marlon. Zanya segera menghampiri Radit.
"Radit, Pak Marlon udah datang?" Tanya nya sambil berharap sang CEO belum datang.
"Udah dari tadi. Kamu dicariin tuh, katanya kalau Zanya datang, disuruh ke ruangan nya." Jawab Radit.
"Mati gue! Mati guee...!" Zanya terlihat putus asa.
"Lagian kamu kok bisa telat sih?" Tanya Radit.
"Semalem aku sakit perut sampai tengah malam, jadi gak bisa tidur." Jawab Zanya.
"Udah sana temui dulu Pak Marlon nya, minta maaf gih!" ujar Radit.
Zanya berjalan menuju ruangan Marlon dengan langkah berat. Sampai di depan pintu, Zanya mengetuk.
"Masuk!" Terdengar suara Dwi dari dalam ruangan.
Dengan hati-hati Zanya membuka pintu, kemudian masuk ruangan sambil menunduk.
"Ini Zanya, Pak." Ujar Dwi kepada Marlon yang sedang menatap ke luar jendela.
Zanya menegakkan kepalanya, menatap punggung kursi yang diduduki sang CEO, bersiap menerima segala konsekuensi atas keterlambatannya hari ini. Marlon memutar kursinya, sekarang ia menghadap Zanya, lalu memiringkan kepalanya sambil memicingkan matanya.
Zanya tercekat melihat wajah sang CEO, jantungnya berdegub kencang. Apakah ia salah lihat? Zanya mengerjap, memastikan matanya tidak salah lihat. Kemudian ia melihat dengan seksama. Benar! pria yang sedang duduk di balik meja CEO itu adalah Hendika, temannya semasa SMP. Zanya yakin sekali, tidak mungkin ia salah orang, karena tidak mungkin ada orang yang sangat mirip. Jika hanya mirip sekilas, mungkin saja, tapi ini tidak. Marlon adalah Hendika, Zanya sangat mengenal Hendika, ia tidak mungkin salah mengenali wajahnya.
Marlon tersenyum sinis. "Mau sampai kapan kamu mematung seperti ini? Aku kira, aku sudah memilih orang yang tepat untuk menjadi asistenku, ternyata aku salah." Ujarnya ketus.
" Datang terlambat di hari pertama bekerja sebagai asistenku. Bagaimana mungkin seorang asisten datang lebih lambat dari atasannya? Kamu sangat tidak profesional!" Lanjut Marlon dengan tatapan dingin.
"M-maaf, saya terlambat, Pak... Tapi saya punya alasan mengapa saya terlambat." Ujar Zanya. Siapa pun pria yang ada di depannya ini, dia tetaplah seorang atasan, yang pasti akan menjaga wibawanya, pikir Zanya.
"Sepertinya kamu memang tipe orang yang selalu punya alasan atas semua kesalahan yang kamu perbuat, ya?" Tanya Marlon sinis.
"Bukan begitu, Pak. Maksud saya, pasti ada alasan mendesak yang membuat saya terlambat, karena tidak pernah satu kali pun saya datang terlambat selama saya bekerja di Great Corps, padahal saya berkendara untuk sampai di kantor." Ujar Zanya.
"Pak Dwi, apakah betul dia tidak pernah terlambat selama ini?" Marlon menoleh kepada Dwi yang sejak tadi diam.
"Betul, Pak! Saya sudah periksa absensi Zanya di kantor HRD kemarin. Saya juga yakin, Zanya punya alasan kenapa dia sampai terlambat hari ini." Ujar Dwi sambil tersenyum.
"Oke! Coba kita dengar alasannya. Kenapa kamu terlambat hari ini?" Marlon bersikap acuh tak acuh.
Zanya diam sejenak, ia sangat malu untuk menceritakan bahwa ia diare dan buang air terus menerus sampai malam. Tapi, walaupun alasannya sangat memalukan, ia tetap harus mengatakannya.
"Semalam pencernaan saya terganggu, Pak. Saya tidak bisa tidur hingga hampir dini hari karena saya buang air terus menerus. Setelah itu badan saya sangat lemas, sehingga saya tertidur setelah sakit perut saya reda. Alarm yang saya pasang pun tidak terdengar karena saya terlalu lelah. Maka dari itu, saya mohon beri saya kesempatan untuk memperbaiki kesalahan saya hari ini." Ujar Zanya.
"Oke! Kali ini saya maafkan. Tapi kedepannya saya mau kamu bekerja dengan profesional. Kalau kamu melakukan hal seperti ini lagi, maka kamu akan saya pecat, dan kamu akan diblacklist dari perusahaan ini. Orang yang tidak disiplin tidak cocok bekerja dengan saya, tidak juga di Great Corps." Ujar Marlon dingin.
"Siap, Pak! Terimakasih sudah memberi saya kesempatan." Ujar Zanya.
"Silahkan kembali ke meja kamu, saya sedang ada meeting dengan Pak Dwi." Marlon bicara tanpa menatap Zanya.
Angkuh sekali orang ini, pikir Zanya. ia mengangguk, kemudian keluar dari ruangan Marlon.
"Gimana?" Tanya Radit, begitu Zanya duduk.
"Untungnya masih dimaafin." Jawab Zanya.
"Pak Dwi minta kita bagi jadwal Pak Marlon. Urusan yang berhubungan dengan Great Corps, aku yang handle, dan di luar Great Corps kamu yang handle, begitu kata Pak Dwi." Ujar Radit.
Perut Zanya berbunyi, menyuarakan kebutuhannya untuk segera diisi makanan. Zanya tersipu karena suara itu.
Radit menatap ke arah perut Zanya. "Kamu belum sarapan?" Tanya nya.
Zanya menggeleng. "Gimana mau sarapan, bangun siang banget, bisa mandi aja udah syukur..." Jawab Zanya.
"Kamu ke pantry dulu sana, aku liat tadi ada sereal dan biskuit, kamu isi dulu perut kamu. Takutnya nanti malah pingsan. Aku bisa kok kerjain ini sendiri, nanti kamu selesai dari pantry kan bisa lanjut lagi." Radit memberi saran.
"Emang boleh?" Tanya Zanya.
"Daripada kamu pingsan? Kan aku jadi ikutan ribet juga." Jawab Radit sambil terus mengetik.
Ide bagus, pikir Zanya. Ia pun segera pergi ke pantry yang ditunjukkan oleh Radit. Sampai di pantry, Zanya kembali terkagum dengan pantry kantor CEO, sungguh berbeda dengan pantry di kantor GA tempatnya bekerja kemarin. Ruangan pantry lebih besar, kursinya lebih banyak dan lebih bagus, dilengkapi mesin espresso, dan tersedia banyak camilan.
"Wah, CEO emang beda...! pantry nya kayak di drama-drama korea." Bisik Zanya sambil mengambil cangkir dan minuman sereal sachet. Ia memilih sebungkus kecil biskuit sebagai pendamping minumannya.
Sambil makan biskuit, Zanya kembali mengingat wajah Marlon yang mirip Hendika. Tidak, bukan mirip, tapi benar benar Hendika, bedanya dulu Hendika berkacamata, sekarang tidak. Untuk kacamata, bisa jadi ia sudah melakukan operasi lasik dan sejenisnya, tapi kenapa Hendika bisa menjadi CEO? Padahal dia bukan orang kaya. Dulu, saat mereka sama-sama masih SMP, keluarga Hendika hanya keluarga sederhana, sama seperti keluarga Zanya. Mengapa namanya sekarang berganti Marlon? dan anehnya, mengapa Hendika tidak mengenali Zanya? Hal yang mungkin terjadi adalah Hendika pernah kecelakaan, lalu ia hilang ingatan dan diadopsi oleh orang kaya.
Zanya memukul kepalanya karena pikiran konyolnya, di zaman modern seperti sekarang, sangat mudah menemukan orang hilang lewat media sosial, tidak mungkin Hendika tidak dicari oleh orangtuanya. artinya tersisa satu kemungkinan, Hendika hilang ingatan masa kecilnya, tapi karena itu juga ia menjadi jenius hingga bisa menjadi CEO.
Zanya menggeleng-geleng. Tidak, Hendika memang jenius sejak dulu, saat awal SMP pun ia adalah juara kelas, namun anak laki-laki yang sekelas dengannya selalu merundung Hendika, sehingga ia kehilangan kepercayaan diri dan prestasinya menurun.
Zanya mengerutkan dahi, di kepalanya penuh dengan pertanyaan- pertanyaan tentang Hendika. Namun dari semua pertanyaan itu, yang sangat ingin Zanya tahu adalah mengapa namanya berubah menjadi Marlon?
Selesai mengisi perutnya, Zanya berjalan menuju mejanya kembali. Dilihatnya Radit masih fokus dengan layar komputer. Zanya bersyukur mendapat partner kerja yang baik seperti Radit.
"Apa yang bisa aku kerjain, Dit?" Zanya bertanya begitu ia sampai di meja.
"Tolong cek lagi aja, ya. Siapa tau ada yang terlewat." Ujar pemuda berwajah manis itu.
Zanya mengambil alih layar komputer, memeriksa agenda Marlon.
"Hari ini memang kosong?" Tanya Zanya, karena melihat tidak ada jadwal apapun untuk hari ini.
Radit mengangguk. "Hari ini kita full training sama Pak Dwi, dan Pak Marlon juga full di kantor."
Dwi keluar dari ruangan Marlon.
"Radit, Zanya, Ayo masuk!" Panggilnya.
Radit dan Zanya pun segera masuk ruangan Marlon.
Dwi menyerahkan dua tablet, Zanya dan Radit masing-masing menerima satu.
"Ini, tab kalian masing-masing, nanti salin semua agenda Pak Marlon di tab kalian. Untuk hari libur, seperti yang saya jelaskan di hari sabtu, libur kalian bergantian. Masing-masing hanya punya libur hari minggu 2 kali dalam sebulannya, karena mulai sekarang, hari minggu Pak Marlon akan ditemani salah satu asisten. Sisanya kalian akan libur di hari kerja secara bergantian." ujar Dwi.
Zanya dan Radit mengangguk bersamaan.
Kemudian Dwi memberikan masing-masing satu kartu kredit kepada mereka.
"Pakai ini untuk segala kebutuhan Pak Marlon. Zanya untuk urusan di luar Great Corps dan Radit untuk Urusan yang berhubungan dengan Great Corps."
Zanya dan Radit kembali menganggukkan kepala.
"Pak Marlon tidak akan memakai supir pribadi lagi, karena itu kalian berdua akan bergantian menyetir untuk Pak Marlon. Ini, ada 2 mobil, kalian pegang kuncinya." Ujar Dwi sambil menyerahkan dua kunci mobil.
Zanya mendengarkan Dwi berbicara sambil mencuri-curi pandang kepada Marlon, ia ingin memastikan bahwa ia tidak salah orang. Rambut lebat dan hitam itu, alis yang tegas itu, Zanya masih sangat mengingatnya. Bibir tipis yang warnanya merah, hidung yang mancung dan langsing itu, tidak berubah, masih sama seperti ia remaja. Pandangan Zanya naik ke mata yang lembut dengan bulu mata panjang, yang dulu sangat Zanya kagumi saat Hendika melepas kacamatanya.
Saat Zanya menatap Marlon dengan intens, tiba-tiba Marlon menoleh ke arahnya, dan menatap tepat ke mata Zanya, membuat Zanya salah tingkah.