Trisya selama ini tinggal di Luar Negri. Dia harus kembali pulang ke Indonesia atas perintah ibunya. Ibunya khawatir dengan perusahaan yang dikuasai ibu tirinya. Hal itu membuat Trisya mau tidak mau harus bergerak cepat untuk mengambil alih Perusahaan.
Tetapi ternyata memasuki Perusahaan tidak mudah bagi Trisya. Trisya harus memulai semua dari nol dan bahkan untuk mendapatkan ahli waris perusahaan mengharuskan dia untuk menikah.
Trisya dihadapkan dengan laki-laki kepercayaan dari kakeknya yang memiliki jabatan cukup tinggi di Perusahaan. Pria yang bernama Devan yang selalu membanggakan atas pencapaian segala usaha kerja keras dari nol.
Siapa sangka mereka berdua dari latar belakang yang berbeda dan sifat yang berbeda disatukan dalam pernikahan. Devan yang percaya diri meni Trisya yang dia anggap hanya gadis biasa.
Bagaimana kehidupan Pernikahan Trisya dan Devan dengan konflik status sosial yang tidak setara? apakah itu berpengaruh dengan pernikahan mereka?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainuncepenis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 29 Suami Ada
Dia juga sebagai anak pasti dongkol dengan kelakuan Haryanto. Hanya saja dia tidak seperti Lena yang terlalu barbar kalau berbicara dan bisa mengungkapkan semua rasa kemarahan yang dia alami dan berbeda dengan Lusi yang hanya bisa diam saja menahan semua di dalam hati.
"Mama! Mama tenang saja. Perusahaan tidak akan pernah jatuh ke tangan wanita itu. Trisya akan mengendalikan semuanya," ucap Lena dengan janjinya kepada almarhum ibunya.
Devan langsung menoleh ke arah istrinya. Dia bingung dan tidak mengerti apa yang dimaksud Lena. Semakin lama Devan semakin diperlihatkan banyak teka-teki yang tidak dapat dia pecahkan. Keluarga itu memang penuh misteri.
"Nenek! Rangga akan terus mendoakan nenek di atas sana dan Rangga janji akan berjuang untuk membalas rasa sakit nenek! Rangga juga akan semakin giat bekerja agar nenek di atas sana bangga kepada Rangga," ucap Rangga yang menangis sesenggukan. Dia memang tidak peduli orang-orang melihatnya seperti apa.
"Rangga sayang dengan nenek. Nenek bahagia di atas sana ya," ucap Rangga.
"Sayang ayo kita pulang. Cuaca mendung. Nenek pasti sudah bahagia sekarang," ucap Sherly yang membantu suaminya berdiri dan Rangga mengikut saja yang masih terus saja menangis seperti anak kecil. Dia sangat berat sekali meninggalkan makam itu yang terus menoleh ke belakang.
"Ayo kita pulang!" ajak Lusi membantu Lena.
Lena juga sangat berat hati meninggalkan pusarah makam itu dan tubuhnya sangat lemah yang hampir saja pingsan.
"Mah!" Devan yang langsung peka mendekati mertuanya itu yang akhirnya tidak sadarkan diri dan untung masih bisa ditahan oleh Devan.
"Devan Rangga ayo bantu ke mobil!" ucap Lusi panik.
"Iya, Tante!" sahut Devan yang langsung menggendong Lena ala bridal style. Mereka semua panik yang buru-buru menuju mobil. Rangga juga ikut membantu Lena.
Semua orang meninggalkan makam tersebut dan hanya tinggal Trisya yang tetap ada tempatnya, berjongkok di samping makam itu. Devan menoleh ke belakang dengan jarak yang cukup jauh dari tempat istrinya yang ternyata istrinya masih tertinggal.
Trisya juga sama sekali tidak bergerak yang membuat Devan ingin memanggil. Tetapi Devan harus membawa mertuanya ke dalam mobil. Trisya mengusap pusarah makam itu dengan air matanya yang keluar.
Ternyata di saat semua orang sudah tidak ada dan barulah Trisya bisa meneteskan air mata dengan wajahnya yang sangat sedih dan sejak tadi dia memang memakai kacamata untuk menutupi rasa kesedihannya.
"Sebelum nenek koma. Nenek pernah menyuruh Trisya untuk pulang dan Trisya tidak menuruti apa yang nenek minta. Trisya merasa tidak peduli. Merasa tidak akan terjadi apa-apa. Maafkan Trisya, mungkin banyak yang ingin Nenek katakan kepada Trisya. Tetapi Trisya mengabaikan semua itu. Istirahatlah yang tenang, sekarang sudah tidak sakit lagi," batin Trisya dengan tersenyum.
Hujan yang tiba-tiba turun dan membuat Trisya bukannya pergi cepat-cepat dan malah tetap berada di sana. Trisya tidak merasakan basah lagi yang membuat dia mengangkat kepala, ternyata sudah ada payung hitam yang melindungi dirinya dari hujan.
Trisya melihat siapa yang memegang payung itu dan ternyata Devan. Setelah membawa mertuanya ke dalam mobil dan Devan kembali menyusul istrinya yang membiarkan orang-orang lain terlebih dahulu pulang.
Devan mungkin tidak ingin terjadi sesuatu pada istrinya dan apalagi saat hujan deras dan istrinya belum bergerak sama sekali dari makam itu.
Trisya dan Devan saling melihat dengan tatapan yang dalam, Trisya tidak percaya jika suaminya akan menyusulnya dan tangan memberikan perhatian padanya.
**
Devan dan Trisya yang berada di pondok di dekat pemakaman. Mereka berdua yang duduk sembari menunggu hujan reda.
"Kamu tidak terlalu dekat dengan nenekmu?" tanya Devan.
"Kenapa mengatakan seperti itu?" tanya Trisya.
"Aku memperhatikan sejak kemarin saat nenek dinyatakan meninggal. Ekspresi kamu sama terlihat datar yang tidak menunjukkan rasa kehilangan atau rasa sedih sama sekali," jawab Devan .
"Apa aku harus seperti mama yang teriak-teriak dan menyalahkan ini dan itu atau aku harus seperti Rangga menangis sesenggukan seperti anak kecil. Lalu apa ketika aku melakukan semua itu, maka nenek akan hidup kembali," ucap Trisya.
"Kamu benar! semua memang tidak akan mengembalikan orang yang sudah mati hidup kembali. Kamu berpikir terlalu logis. Tetapi apa bukankah kita harus sedih. Aku saja juga sedih," sahut Devan
"Tapi aku tidak harus menunjukkan kesedihanku kepada siapapun dan termasuk kamu. Aku berhak mengungkapkan kesedihanku kapanpun aku mau dan aku juga berhak untuk terlihat biasa saja. Aku punya cara sendiri untuk mengekspresikan kehilanganku," sahut Trisya
"Iya. Kamu benar!" sahut Devan tersenyum dan melihat ke depan.
"Sekarang nenek sudah bahagia di atas sana. Dia sudah tidak sakit lagi dan memang seharusnya aku tidak sedih," ucap Trisya.
Devan mengangguk dan merangkul bahu Trisya yang membuat kepala Trisya berada di bahu Devan yang mengusap-usap lembut bahu itu.
Mereka berdua tidak berbicara lagi dan Devan hanya ingin membuat Trisya nyaman di saat berduka seperti ini. Karena memang Trisya.
**
Suasana duka masih menyelimuti keluarga Trisya dengan kediaman mereka yang tidak berhentinya pelayat datang dari rekan-rekan bisnis Haryanto dan pasti juga sangat mengenal siapa Liana yang lebih berpengaruh di perusahaan.
Papan bunga juga sejak tadi berdatangan yang memberikan ucapan bela sungkawa.
Devan yang berada di dalam kamar yang sedang menelpon berdiri di pinggir jendela.
"Iya Bu, semua terjadi begitu cepat," ucap Devan.
Ceklek.
Trisya keluar dari kamar mandi yang membuat Devan menoleh.
"Trisya baik-baik saja," jawab Devan yang masih berbicara ditelepon. Karena namanya di sebut. Trisya melihat ke arah suaminya dengan dahi mengkerut.
"Ibu ingin bicara dengan kamu," ucap Devan.
Trisya mengangguk dan mengambil ponsel yang diberikan suaminya itu.
"Assalamualaikum, Bu!" sapa Trisya.
"Walaikum salam Trisya. Trisya. Ibu dan keluarga besar berduka cita atas kepergian nenek kamu. Maaf ya, Trisya ibu tidak bisa datang," ucap Ibu.
"Terima kasih Ibu untuk ucapannya dan tidak apa-apa. Lagi pula Nenek sudah dimakamkan," jawab Trisya.
"Kamu jangan sedih ya. Kamu harus sabar," ucap Ibu.
"Terima kasih Ibu untuk perhatiannya," ucap Trisya.
"Ibu mengirimkan papan bunga untuk keluarga kamu. Kamu bilang sama Devan, apa papan bunga yang Ibu pesan sudah sampai dan kalau sudah sampai tolong di fotokan," ucap Ibu.
"Oh. Iya baik, nanti Trisya sampaikan," sahut Trisya dengan tersenyum getir.
"Ya. Sudah kalau begitu Ibu tetap teleponnya dulu. Assalamualaikum," ucap Ibu.
"Walaikum salam," sahut Trisya.
"Ibu mengatakan apa kepada kamu?" tanya Devan.
"Mengucapkan belasungkawan saja dan ya ibu kamu juga berpesan untuk kamu mencari papan bunga dari keluarga kamu dan fotokan kepada ibu kamu. Dia memesannya di Jakarta. Jadi kamu harus memberikan informasi jika papan bunga itu sudah sampai," jawab Trisya.
"Ibu mengatakan seperti itu?" tanya Devan.
"Iya. Hanya itu dan kalau kamu ingin lebih jelas lagi. Kamu bisa telepon kembali," jawab Trisya.
"Apa-apaan sih Ibu. Kenapa juga di harus mengirim papan bunga dan pakai bilang-bilang segala. Apa dia pikir Trisya akan terhenyu," batin Devan yang menahan rasa malu.
"Kamu kenapa?" tanya Trisya.
"Tidak apa-apa," sahut Devan dengan tersenyum. Trisya menganggukkan kepala dan memberikan ponsel suaminya kembali.
Bersambung......
mungkin nenek sudah tenang karena perusahaan itu sudah di pegang oleh Trisya, karena itu dia tenang meninggalkan dunia ini
sama² punya tingkat kepedean yg sangat luar biasa tinggi